MOJOK.CO – Sekolah TK dan PAUD Jogja mendadak jadi topik hangat gara-gara dianggap mahal berkat label Montessori. Eh, tapi, emangnya kamu ngerti?
Sebagai perempuan yang bercita-cita punya anak—terserah Tuhan mau ngasih anak biologis atau malah anak adopsi—saya suka excited sendiri setiap menemukan informasi soal kebutuhan anak, mulai dari anak usia dini hingga tumbuh kembang selanjutnya. Makanya, waktu beberapa hari yang lalu saya menemukan thread di Twitter perihal biaya TK dan PAUD Jogja, saya langsung kepo…
…lalu berakhir terbengong-bengong.
Ya gimana nggak—lah wong ternyata biaya TK dan PAUD Jogja itu mahal beneran, kok. Biaya SPP sebulannya aja bisa setara dengan biaya kuliah satu semester. Padahal, pas lulus TK dan PAUD nanti anak-anak kecil itu belum bakal bergelar sarjana. Hmm~
Biaya TK di Jogja:
1. Bambini (Jogja Montessori School)
Montessori, full English
Joining fee: 13.000.000 (3 tahun ajaran / sampai lulus TK)
Annual fee: 3.900.000
Monthly fee: 1.050.000 pic.twitter.com/1OAHLymfXC— rindaag (@rindaag) June 20, 2019
Banyak orang bertanya-tanya—kok bisa mahal, sih? Emang itu nanti TK sama PAUD Jogja bakal nyediain kurikulum yang kayak gimana??? Nanti begitu lulus, anaknya bisa langsung SMP, gitu??? Kenapa harus mahal, padahal kita aja kadang suka mikir-mikir 372 kali hanya untuk beli lipstik baru yang shade warnanya mirip sama yang kita beli bulan lalu, walaupun sebenernya shade-nya beda???
Kalau dilihat-lihat, dari daftar TK dan PAUD Jogja tadi, yang menempati posisi biaya termahal adalah mereka yang menggunakan label “Montessori”.
Apa? Kamu nggak tahu Montessori? Sama, saya juga, nih, malah baru tahu.
Baiklah, baiklah, agar sesekali tulisan di Mojok berfaedah, kali ini mari kita bersama-sama mencegah penyesalan bakal mengubah label Montessori menjadi sesuatu yang kita menyedihkan (“Money, sorry…”) di kemudian hari hanya karena kita males mencari tahu dan cuma berpikir “Montessori sepertinya keren dan menjanjikan”.
Hadeeeeh, itu pemikiran instan hasil gampang ketipu sama pasangan di masa muda ya, Pak, Bu???
Pertama, agar otak kita sama-sama tercerahkan seperti diberi lampu teplok saat mati lampu, mari ketahui informasi ini: Montessori adalah metode sekolah yang dibuat oleh Mari Montessori, seorang dokter sekaligus ahli pendidikan asal Italia.
Sampai di sini, saya yakin kamu malah membayangkan spaghetti gara-gara saya menyebut Italia.
Nggak apa-apa, saya juga. Laper, soalnya.
Lanjut!
Secara umum, metode Montessori ini memungkinkan semua anak untuk turut dalam pembelajaran, bahkan termasuk anak-anak difabel dan keterbelakangan mental. Ia didasari oleh aktivitas kesadaran diri sendiri, pembelajaran langsung, dan permainan kolaboratif, sementara guru bersifat “menawarkan kegiatan” dan “memandu prosesnya”.
Seorang guru PAUD Jogja berlabel Montessori menambahkan, sekolah dengan label ini memang cenderung lebih mahal dibanding sekolah yang menggunakan metode lain, karena biaya alat-alat penunjangnya yang cukup mahal.
Setidaknya di sini, kita jadi tahu kenapa harga SPP sebulannya bisa nyaingin biaya kuliah satu semester di UNY, eh di kampus-kampus lain, pokoknya.
Dengan janji-janji manis yang bikin orang tua ngiler karena Montessori bakal berfokus pada pembelajaran kemampuan bahasa, budaya, konsep matematika, hingga sensorik, PAUD Jogja (dan kota lain) berlabel Montessori pun cenderung mengalami tren positif. Pokoknya, kayaknya bakal keren kalau anak kita masuk ke Montessori. Kan, jaminan menjanjikan!
Dipikirnya, asal anak sudah masuk TK dan PAUD tadi, anak pun bakal secara otomatis jadi cerdas, bisa diajak ngobrol dan diskusi secara sehat dan hebat, setidaknya bisa meningkatkan engagement di media sosial orang tuanya kalau direkam dan diunggah. Hadeh~
Gini, ya, Bapak dan Ibu sekalian, pertanyaan baru saya lempar lagi: walaupun labelnya Montessori, memang Bapak dan Ibu sudah tahu kompetensi gurunya? Sudah yakin? Hmmmm???
Menjadi guru PAUD itu nggak gampang. Tidak sedikit kasus muncul di mana orang tua kecewa pada guru di sekolah anak-anaknya, termasuk TK dan PAUD Jogja. Pasalnya, alih-alih menjdi panutan yang jempolan, beberapa guru tampak memperlakukan anak sebagai pekerjaan biasa yang “asal selesai” saja.
Tentu, sekolah juga berpengaruh. Ada beberapa TK dan PAUD yang membebankan seorang guru untuk meng-handle terlalu banyak murid, padahal tugasnya cukup berat dan banyak.
Ngomong-ngomong soal guru TK dan PAUD, saya punya sedikit pengalaman.
Dua tahunan yang lalu, saya hampir menjadi guru PAUD Jogja—tanpa label Montessori. Saya diberitahu gajinya—tentu sebatas UMR Jogja dalam tahun pertama, meskipun nama sekolahnya cukup besar—sekaligus pekerjaan yang akan saya kerjakan di sana.
Selain, meng-handle anak kecil, membimbing, memandu, dan apalah itu namanya, saya juga punya tugas untuk menemani mereka tidur saat tiba waktunya tidur siang.
“Tapi, kamu nggak boleh ikut tidur karena harus menjaga mereka,” kata salah seorang guru pada saya. Saya ngangguk-ngangguk, meski dalam hati berdebar-debar: lah wong kalau kepala saya nempel meja aja sayanya udah ngantuk, apalagi kalau harus sambil rebahan dan ngelonin anak kecil???
Menjadi guru TK dan PAUD Jogja (serta kota lain) juga membutuhkan kesabaran dan strategi yang baik. Itu sebabnya, guru TK dan PAUD ini umumnya minimal S-1, meski sesungguhnya tak semua lulusan S-1 sanggup menjalankan tugas mahaberat ini.
Saya, contohnya. Saya pernah menjadi guru untuk anak kelas 1 SD—jelas sudah lebih tua daripada anak TK dan PAUD. Meski begitu, saya kelelahan juga karena harus pandai menjaga mood mereka yang dikit-dikit maunya main perosotan di luar kelas, padahal saya lagi nerangin soal anggota tubuh dalam bahasa Inggris.
Pada satu waktu, saya bahkan sempat emosi dan berkata, “Kalau kamu nggak mau duduk anteng, Miss pulang sekarang,” pada salah satu murid yang bandelnya naudzubillah.
Tahu jawabannya? “Ya udah, nggak papa kalau Miss mau pulang.”
[!!!!!!!11!!!!!1!!!!!!!]
Menjadi guru TK, PAUD, atau bahkan SD, nyatanya memang nggak semudah itu, Ferguso—termasuk juga guru di sekolah-sekolah yang ada di daftar TK dan PAUD Jogja berbiaya selangit itu. Karena nggak mudah, sekolah pun ingin memastikan pihaknya mendapat guru yang benar-benar kompeten agar sesuai dengan apa yang mereka janjikan lewat biaya sekolah yang menjulang itu.
Tapiii, tetap saja: sebagai orang tua, kita (hah, kita???) kelak juga harus memastikan kompetensi guru ini real. Asli. Karena, bagaimanapun, hubungan murid dengan guru adalah yang terpenting dalam pembelajaran.
Yaaah, yang penting—sekali lagi—jangan sampai label Montessori itu berubah jadi ratapan penyesalan “Money, sorry”, ya, Pak, Bu!