MOJOK.CO – Sekarang ini, ada banyak orang yang disebut Social Justice Warrior alias SJW, tapi sambil dihina-dina. Sebenernya, awal mula “profesi” ini tuh gimana, sih?
Akun Twitter saya nganggur bertahun-tahun . Terakhir kali, saya aktif sampai tahun 2014, sebelum akhirnya kembali di tahun 2018—itu pun gara-gara masuk ke Mojok dan di-mention. Berturut-turut, saya “mempelajari” Twitter kembali.
Selain menyadari bahwa cara retweet lama sudah terlampau jadul (itu, loh, yang pakai nulis “RT” segala), saya menangkap ada julukan baru yang populer, yang sama sekali nggak saya pahami: Social Justice Warrior alias SJW.
Beberapa orang bermain Twitter dengan lebih serius dibandingkan yang lain. Adu argumen tak terhindarkan. Topik yang diperbincangkan berat dan serius.
Teman saya bilang, itu para SJW yang sedang beraksi. Saya cuma manggut-manggut, padahal nggak tahu SJW itu apa. Saya tahunya tuh di dunia KPop, SJ adalah Super Junior. Tapi, kalau ditambah W, saya benar-benar nggak ngerti!
“Social Justice Warrior,” terang teman saya akhirnya. Pada sebuah sesi ngobrol, ia menjawab semua rasa penasaran saya.
“Itu… baik atau buruk?” tanya saya. Pertanyaan ini sebenarnya cukup absurd karena, nyatanya, istilah SJW sendiri mengalami perjalanan yang cukup panjang.
Seperti namanya, Justice, SJW merujuk pada konsep keadilan, khususnya keadilan sosial. Para SJW adalah mereka-mereka yang memperjuangkan sikap adil dan sama rata bagi setiap orang untuk diperlakukan dengan manusiawi. Sampai di sini, sepakat kan kalau saya bilang betapa mulianya para SJW?
Awal Mula Istilah Social Justice Warrior
Penggunaan istilah SJW mulai berkembang pesat di tahun 2015. Ia bahkan masuk ke dalam Oxford Dictionary. Mula-mula, Social Justice Warrior itu sendiri dipakai pada tahun 1991 dengan tujuan apresiatif pada aktivis Kanada, Michel Chartrand, yang menentang ketidakadilan dalam masyarakat.
Selain itu, tujuh tahun setelah 1991, istilah Social Justice Warrior pun kembali digunakan, kali ini merujuk pada anggota gerakan Homeless Action Coalition yang bergerak memperjuangkan kepentingan tunawisma.
Sayangnya, istilah Social Justice Warrior ini lantas berubah makna yang tak lagi jadi pujian, alias menjadi kata peyoratif.
Dikuti dari Fee.org, Social Justice Warrior mendadak tak lagi jadi “seksi” karena kepositifannya. Malah, bagi banyak orang sekarang ini, ungkapan SJW bisa bermakna sebagai hinaan atau insult. Loh, loh, kok bisa?
Jawaban dari problematika ini hanya satu: konotasi. Masih menurut Oxford Dictionar, SJW ternyata juga diberi makna “a person who expresses or promotes socially progressive views”. Wikipedia bahkan menjelaskan lebih spesifik. Di sana, tertulis bahwa SJW adalah sebuah istilah peyoratif bagi seseorang dengan pandangan progresivisme sosial, termasuk feminisme, hak sipil, multikulturalisme, dan politik identitas.
Know Your Meme konon pernah menjelaskan istilah Social Justice Warrior sebagai berikut:
“A pejorative label applied to bloggers, activists and commentators who are prone to engage in lengthy and hostile debates against others on a range of issues concerning social injustice, identity politics and political correctness. In contrast to the social justice blogosphere at large, the stereotype of a social justice warrior is distinguished by the use of overzealous and self-righteous rhetorics [sic], as well as appealing to emotions over logic and reason.”
Atau, dengan kata lain, SJW adalah…
…istilah yang diberikan pada orang dianggap selalu merasa sok benar dan berupaya “memikat” emosi melalui teori logika dan alasan-alasan yang dipunyainya.
Bagaimana SJW Menjadi Konotasi
Dari penjelasan makna Social Justice Warrior di atas, apa artinya, Saudara-saudara?
Seperti yang dipercaya oleh para peneliti bahasa, “efek” peyoratif ini ibarat “senjata” bagi sekolompok orang untuk menjatuhkan semangat dan motivasi orang yang memang bergerak di bidang keadilan sosial.
Artinya, dengan ngata-ngatain menggunakan istilah SJW seolah-olah itu adalah hinaan yang kotor, orang-orang yang sebenarnya sedang berjuang demi keadilan sosial beneran pun dianggap “mencari pembenaran diri, bukan karena benar-benar yakin dengan pandangan mereka”.
Di situlah, Teman-teman sekalian, makna peyoratif itu muncul—semua karena konotasi.
Tapi, meski berangkat dari konotasi, istilah SJW nyatanya bisa dimanfaatkan dengan baik pula sebagai peluang bisnis. KFC, misalnya—dengan cerdik, ia menjual sedotan stainless steel.
Nggak tanggung-tanggung, nama produknya pun ditulis dengan mantap: Sedotan SJW.
Daebak.