Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Liburan ke Pulau Nusakambangan, Melihat Wajah Lain ‘Pulau Penjara’

Aprilia Kumala oleh Aprilia Kumala
16 September 2019
A A
negara maritim

ilustrasi laut mojok.co

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Pulau Nusakambangan punya kesan seram dan mengerikan. Kayaknya gila aja kalau ada orang yang berniat liburan ke sana. Ngapain, ya kan???

Saya hampir mati di Nusakambangan. Kalau saja sepeda motor yang saya naiki kala itu oleng ke kanan, kayaknya bahkan tulisan ini nggak akan pernah saya mulai karena saya sudah keburu lari-lari di bawah batu nisan.

Ceritanya panjang, tapi nggak panjang-panjang banget. Waktu SMA, seorang teman—sebut saja namanya Merah—mengajak saya dan kawan-kawan pergi ke Pulau Nusakambangan. Sebagai makhluk hidup asli cetakan Cilacap, saya langsung excited, dong. Masa orang Cilacap nggak pernah ke Nusakambangan??? Apa kata dunia???

Omong-omong soal Nusakambangan, harus diakui bahwa sebagian orang memang lebih familier dengan Nusakambangan ketimbang Cilacap itu sendiri. Dikiranya, Cilacap adalah bagian dari Nusakambangan, padahal yang benar adalah Nusakambangan milik Kementerian Hukum dan HAM.

Setiap kali ada berita pemasukan narapidana (napi) baru ke Nusakambangan, ada saja orang yang heboh: “Gimana, di tempatmu banyak polisi, ya?”

Maksud saya, kenapa harus heboh banget, sih, kalau ada banyak polisi??? Noh, tilangan tiap pagi ke arah jalan kantor Mojok juga banyak keleus polisinya!

Tapi, yah, mari kita kembali ke cerita soal ajakan si Merah. Saya setuju untuk pergi ke Pulau Nusakambangan, begitu pula dengan dua teman saya yang lain, Kuning dan Hijau. Kami berempat—tiga cewek dan satu cowok—sepakat untuk membawa dua buah sepeda motor: saya membonceng Hijau, Kuning membonceng Merah.

Tentu saja, “kesongongan” kami membawa sepeda motor menunjukkan sebuah hal berbeda: kami tidak pergi ke Pulau Nusakambangan menggunakan perahu biasa yang ditawarkan nelayan. Paman si Merah adalah salah seorang sipir di Nusakambangan, dan kala itu tidak ada penjagaan ketat untuk masuk ke pulau. Itulah sebabnya, Kawan-kawan sekalian, kami berempat bisa menyeberang “dengan normal”, naik kapal dari dermaga penyeberangan.

Wajah Lain Pulau Nusakambangan

Pulau penjara—ini nama alias dari Nusakambangan yang mungkin paling terkenal. Gara-gara napi kelas berat dikirim ke sini, dan tempat ini juga menjadi area eksekusi narapidana tertentu, Pulau Nusakambangan jadi punya kesam seram dan mengerikan. Kayaknya gila aja kalau ada orang yang berniat liburan ke Nusakambangan. Ngapain, ya kan???

Tapi ya gimana, nyatanya saya (dan banyak orang) memang pernah kok (((liburan))) ke Pulau Nusakambangan.

Jangan tanya saya berhenti di mana di Nusakambangan—saya lupa namanya. Yang jelas, begitu turun, kami langsung naik motor dan berdecak kagum sendiri karena jalanannya sudah aspal. Mulus, kayak kisah cintamu dengannya. Amin!

“Nusakambangan itu kayak apa? Apakah di tengah-tengah ada Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang dikelilingi gembok?” tanya seseorang.

Ternyata nggak gitu bentuknya, Malih. Sepanjang jalan di atas jalan aspal, kanan dan kiri kami adalah hutan. Tanamannya tinggi-tinggi dan terlihat padat oleh banyak tanaman. Kalau melihat ke atas sedikit, kamu bisa menemukan banyak burung dan kupu-kupu yang terbang—hal yang sekarang nggak kamu temui gara-gara kamu sedang terjebak deadline sampai ingin meledak.

Hutan juga kelihatan jelas kalau kamu mendarat di Nusakambangan naik perahu dari Pantai Teluk Penyu. Ya, kalau pamanmu bukan sipir kayak pamannya si Merah, kamu tetap bisa ke Pulau Nusakambangan naik perahu biasa selama 15 menit, kok. Bayarnya 15 ribu—artinya, setiap menit perjalananmu ke Nusakambangan harganya seribu rupiah. Wkwk.

Iklan

Kalau kamu memilih ke Nusakambangan naik perahu, kamu harus siap jalan kaki. Biasanya, orang-orang bakal mengunjungi salah satu pantai: Pantai Kalipat atau Pantai Karang Bolong. Jarak pantai dengan tempat pemberhentian perahu ini lumayan. Kamu harus jalan kaki selama 30 menit sebelum sampai di Pantai Karang Bolong, atau 45 menit hingga 2 jam untuk sampai di Pantai Kalipat.

“Jalannya terjal dan nggak ada rumah penduduk. Kanan-kiri hutan,” jelas seorang teman saya yang pernah mengunjungi Pantai Kalipat. Wow, ternyata beda dengan bagian Nusakambangan yang saya rasakan, yang sudah berjalan aspal. Bahkan sampai sini saja, kita sudah melihat dua wajah Nusakambangan, ya?

Pantai Pasir Putih dan Lapas

Setelah barisan hutan yang cantik, saya melewati beberapa Lapas. Iya, bukan cuma satu lapas, tapi ada dua, tiga, dan seterusnya. Ternyata, mulanya memang ada sembilan lapas di sana, namun kini yang beroperasi tinggal beberapa saja, seperti Lapas Batu, Lapas Besi, Lapas Kembang Kuning, dan Lapas Permisan.

Tidak ada kompleks perumahan di sana. Tempat tinggal paman si Merah pun ada di barisan rumah dinas sipir yang hanya beberapa, tepat di depan sebuah lapas yang ukurannya agak lebih besar—kalau tidak salah, namanya Lapas Batu.

Kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Permisan. Setelah “selesai” dengan lapas di kanan-kiri, kali ini perjalanan kami berhiaskan jurang (di sebelah kanan) dan dinding tebing (di sebelah kiri). Si Hijau yang mengendarai motor kegirangan karena bisa menyalurkan hasratnya untuk ngebut-ngebutan, sampai tahu-tahu motornya oleng dan lepas kendali.

“Bruuuk!!!”

Kalau ada satu hal yang saya syukuri, itu adalah kesigapan si Hijau membanting kendali ke sebelah kiri. Saya nggak tahu apa yang bakal terjadi kalau dia belok ke kanan—mungkin kami nggak akan pernah bisa melihat Pantai Permisan.

Untungnya, saya dan Hijau masih disayang Tuhan dan nggak mati mendadak setelah kepentok dinding tebing. Kami sampai di Pantai Permisan setelah itu. Nggak ada penyewaan banana boat, tapi, harus diakui, pantainya bersih luar biasa.

Ini mengingatkan saya pada kisah teman saya yang lain soal Pantai Kalipat dan Pantai Karang Bolong. Ketiganya sama-sama berpasir putih dan bersih sekali. Di Pantai Permisan, misalnya, airnya terlampau jernih, bahkan kamu bisa melihat ikan-ikan berenang—dan saya nggak bercanda!

Ombaknya kadang besar, kadang juga sedikit tidak terlalu besar. Yang jelas, kalau kamu berharap kamu akan selalu bisa bermain air sambil haha-hihi kayak orang lagi foto prewedding, kamu salah. Kadang-kadang, yang bisa kamu lakukan cuma duduk di pasir putih sambil menikmati pantai yang cantik ini, alih-alih maju ke depan dan membiarkan tubuhmu disapu ombak.

Oh, saya nggak bercanda. Soalnya, sehari setelah saya mengunjungi Pantai Permisan, Merah memberi tahu saya,

“Ada perempuan terseret ombak di Pantai Permisan. Lokasinya tepat di tempat kita kemarin ngelihat ikan.”

Saya sedikit bergidik. Ternyata saya sudah dua kali hampir mati (dan selamat) di Pulau Nusakambangan.

BACA JUGA Liburan Itu Penting dan Harus Jadi Budaya Kita atau artikel Aprilia Kumala lainnya.

Terakhir diperbarui pada 16 September 2019 oleh

Tags: KalipatKarang BolongLapas BatuPantai PermisanPulau Nusakambangan
Aprilia Kumala

Aprilia Kumala

Penulis lepas. Pemain tebak-tebakan. Tinggal di Cilegon, jiwa Banyumasan.

Artikel Terkait

No Content Available
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

1 Desember 2025
Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

2 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.