MOJOK.CO – Sebab kreativitas Fadli Zon dalam dunia perpuisian semakin cemerlang, ijinkan saya sebagai penikmat sastra mengapresiasi karya terbarunya–puisi petruk jadi raja–lewat analisis berikut ini.
Fadli Zon merupakan politisi yang sedang naik daun (lagi) belakangan ini, meski begitu hal tersebut diraih bukan karena kapasitasnya sebagai seorang politisi, melainkan profesi terbarunya, yaitu penyair. Sudah sejak lama politisi ini menghasilkan puisi yang jika diunggah di media sosial jadi viral
Hari ini, Fadli Zon seolah ingin menyaingi Fiersa Bestari atau Benzbara si selebtwit melalui kata-kata puitisnya. Setelah puisi Sontoloyo dan Ada Genderuwo di Istana yang viral beberapa hari yang lalu, kali ini Fadli merilis puisi terbarunya, yaitu Petruk Jadi Raja.
FYI aja nih, Fadli Zon sebenarnya sudah sejak bertahun-tahun yang lalu produktif dalam menciptakan puisi. Bahkan sudah ada beberapa yang dijadikan lagu loh. Itu, puisi Sontoloyo yang paling baru dilagukan oleh Ahmad Dhani dan Sang Alang.
Melihat sepak terjang Fadli Zon yang sudah cukup cemerlang di dunia perpuisian, saya rasa sudah tiba masanya puisi beliau diperhatikan secara serius. Demi kemajuan dunia kesusastraan Indonesia, maka saya ingin coba membedah salah satu puisi terbarunya yaitu Petruk Jadi Raja. Mari kita simak puisinya.
PETRUK JADI RAJA
suatu hari di Astina
petruk iseng jalan blusukan
tak disangka nasib suratan
tiba kesempatan berkuasa
petruk bersolek penuh citra
mencuri perhatian warga
program abal-abal dijual
seratus janji diobral
akhirnya dilantik jadi raja
petruk bertahta di singgasana
mimpi perbaiki keadaan
tak tahu apa mau dilakukan
merusak aturan tatanan
semua jadi dagelan
petruk biang kekacauan
ekonomi carut marut tak karuan
politik gonjang ganjing kegaduhan
budaya tercecer berantakan
agama mudah dinistakan
harapan pupus berserakan
petruk plonga plongo kebingungan
itulah hikayat negeri Astina
ketika petruk jadi raja
Fadli Zon, London, 18 Nopember 2018
Setelah membaca puisi di atas, ada tiga hal yang mencolok dan menarik perhatian saya. Tiga hal tersebut yang akan menjadi bahasan saya kali ini.
Yang pertama adalah bentuk puisinya. Puisi yang satu ini berbentuk balada. Membaca puisi ini mengingatkan saya terhadap puisi-puisi WS Rendra yang terbungkus dalam buku Balada Orang-orang Tercinta. Bukan bermaksud menyama-nyamakan, tapi akan menarik jika Fadli Zon bisa menjadi penyair yang konsisten dengan satu bentuk puisi.
Seperti WS Rendra, selain menjadi penulis, Fadli Zon sepertinya juga akan lebih keren jika membacakan puisi-puisinya di tempat-tempat umum secara rutin. Banyak kok yang akan ikut melingkar turut membacakan puisinya. Itu rekan-rekan politik beliau yang sekarang sudah produktif nulis puisi. Misalnya, Inas Nasrullah dari Hanura, Irma Suryani Chaniago dari Nasdem, Asrul Sani dari PPP, dan silakan cari sendiri daftar politisi berpuisi yang lain.
Nah, WS Rendra punya julukan si Burung Merak karena mungkin, jika dilihat, Rendra memang seindah Merak yang sedang mengembangkan ekornya di Gembiraloka. Selanjutnya, ini tugas kita bersama untuk memikirkan julukan burung apa yang tepat untuk penyair kita Fadli Zon.
Si Burung Bebek Angsa, mungkin? Om Fadli kan ikut andil dalam memopulerkan irama lagu itu. Ya walaupun dengan lirik yang beda sih. Fadli Zon memang pantas, sekali dijuluki dapat dua nama unggas sekaligus. Keren kan? WS Rendra saja cuma satu.
Yang kedua adalah tema puisi. Tumben Fadli Zon menggunakan tema puisi pewayangan. Dalam puisi ini Fadli mengambil tokoh Petruk (salah satu dari Punakawan) dan latar tempat Astina. Tumben sekali seorang Fadli Zon tidak mengambil tema humor (sontoloyo) juga tema mistis (genderuwo).
Sependek pengetahuan saya tentang puisi-puisi Fadli Zon, puisi ini yang paling “Indonesia”. Walaupun puisi ini ditulis ketika di London, beliau tidak mengambil tokoh Raja William dan berlatar di Kerajaan Inggris. Beliau tetap ingat terhadap budaya Indonesia.
Tetapi, sayangnya, dalam puisi ini citra Petruk begitu buruk. Padahal, citra Petruk yang berkembang di Jawa adalah abdi yang baik, bahkan, dia adalah penasihat raja. Jadi, kalaupun Petruk jadi raja, saya rasa dia bisa, wong jika raja sedang bingung, Petruk kok yang mencarikan solusi.
Saya rasa, sebelum tergesa-gesa mengambil sosok Petruk untuk dijadikan tokoh puisinya, akan lebih baik jika Fadli Zon menyeleksi tokoh-tokoh lain dulu. Saran aja nih Om, jika dilihat dari sikap tokoh yang banyak pencitraan, blusukan, bikin kekacauan, seperti yang ada di puisi Petruk Jadi Raja, saya rasa tokoh punakawan yang lain lebih pantas deh.
Yakin, tidak susah cari tokoh yang pencitraan, blusukan, dan bikin kekacauan. Coba deh Om Fad tingkatkan pengetahuan literasi kebudayaan Indonesia. Soalnya, ini penting untuk karier perpuisian Om Fadli kedepannya. Coba cari tahu tentang Togog dan Bilung. Punakawan yang suka menantang Petruk dan sering berada di pihak musuh, sepertinya mereka lebih cocok menjadi tokoh di puisi ini. Supaya pembaca tidak gagal paham sebab analogi tokoh yang dipilih kurang tepat. Kasihan Petruk, jatuhnya seperti difitnah kan?
Yang ketiga adalah diksi yang mengakibatkan rima puisi menjadi enak didengar. Menurut saya, hal yang paling diperhatikan oleh Fadli Zon dalam pembuatan puisi adalah rima atau akhiran setiap barisnya. Bisa dicek sendiri, dalam puisi Petruk Jadi Raja, Fadli Zon begitu konsisten dengan akhiran vocal (a) di setiap barisnya.
Ini nih, puisi-puisi yang begini berpotensi jika dibuat lagu. Saya dukung bikin album lagu puisi, Om!
Tetapi, tidak selalu puisi yang rimanya enak didengar kemudian menjadi puisi yang bernada atau bersuasana enak juga. Menurut saya, puisi Om Fad ini jika dibaca bikin orang ngos-ngosan. Secara rima memang oke tapi nada asli puisi itu sendiri terlalu memburu. Umpatan meluncur terus-menerus. Obral janji, merusak aturan, biang kekacauan, penistaan agama, dan kata-kata lain yang saya rasa, bernada negatif, terlalu berkuasa di puisi ini.
Atau, jangan-jangan puisi Petruk Jadi Raja ini adalah satire Om? Tapi kok diksinya lugas gitu sih? Kan jadi mudah ditebak puisi ini untuk siapa. hehe
FYI aja nih Om, lain kali kalau bikin puisi jangan terlalu mudah ditebak. Ini permintaan dari saya saja sih, orang yang mendukung karier Om Fadli di dunia perpuisian. Setahu saya, sastra itu (dalam hal ini puisi) ditulis sebagai alat untuk menyampaikan maksud yang disembunyikan. Pertimbangkan diksi lagi ya Om, biar suasananya enak. Jangan cuma ngejar bunyi rima aja. Hehe.
Semangat ya Om Fadli Zon, saya tunggu karya-karya selanjutnya.