MOJOK.CO – KKN sering dianggap sebagai biang kerok runtuhnya mahligai perpacaran mahasiswa. Tapi jangan salah, putus pacaran karena KKN itu masih mendingan daripada jadi orang yang dibenci oleh semua teman satu posko karena sikap-sikap berikut ini.
Putus dengan pacar gara-gara KKN memang menyakitkan dan bisa mengganggu kejiwaan.
Saya jadi ingat salah satu teman satu kampus pernah mengalami hal demikian. Gara-garanya teman saya memergoki ceweknya kepergok selingkuh dengan teman satu posko KKN-nya. Teman saya itu langsung linglung mendadak.
Ada juga teman saya yang lain jadi trauma kalau pacaran. Lha, gimana enggak? Ia dan ceweknya sudah berkomitmen untuk maju ke pelaminan dua tahun setelah lulus. Akan tetapi, pada saat KKN, si cewek malah kesengsem sama cowok yang hafal Al-Quran dan bisa ceramah pas Jumatan. Apa yang selanjutnya terjadi bisa ditebak. Komitmen yang mereka bangun itu kandas dalam tempo singkat karena kalah kemampuan untuk jadi imam.
Yah, begitulah cinta, penderitaannya tiada akhir. Akan tetapi, percayalah, rasa menyakitkannya putus dengan pacar saat KKN itu masih mending daripada menjadi “musuh bersama” teman-teman satu posko.
Kalau kita hanya sekadar putus sama pacar, teman-teman KKN satu posko masih ada untuk menghibur kita sebagai sesama manusia. Paling enggak, mereka bisa kita ajak curhat atau ngajak jalan-jalan ke pegunungan.
Tapi kalau kita sudah dianggap sebagai musuh bersama oleh teman satu posko KKN? Kita akan terkucil dari pergaulan. Didiamkan, diabaikan dan yang paling parah, enggak pernah dianggap pernah KKN.
Nah, supaya kalian yang sedang atau akan menjalani program KKN enggak menjadi mahluk sebagaimana saya sebut di atas. Berikut ini Mojok Institue menghadirkan ciri-ciri sikap orang yang berpotensi menjadi musuh bersama dalam satu posko KKN.
- Mau Menang Sendiri dan Enggak Peka
Berangkat dari pengalaman pribadi serta beberapa curhatan teman-teman seusai KKN, saya menetapkan bahwa sikap ini berada di urutan teratas. Kenapa? Karena selain menyebalkan, sikap semacam ini juga berpotensi menciptakan lahirnya ujaran kebencian di antara masyarakat yang damai dan sentosa. Bahkan potens bahaya ini nggak hanya bisa muncul di antara rekan satu posko, tapi juga di tengah masyarakat tempat kita menjalani KKN.
Mereka yang egois, mau menang sendiri, atau enggak peka ini biasanya ditandai dengan ciri-cir sebagai sosok yang pemalas. Enggak suka terlibat kegiatan masyarakat, kurang membaur dengan teman satu posko, dan maunya dipahami tanpa mau memahami orang lain.
Saya ingat, salah satu cerita teman saya, sebut saja Maryam (bukan nama asli). Ia punya teman satu posko bernama Siti (bukan nama asli juga dong). Nah, Siti ini orangnya klemar-klemer, enggak mau kerja, dan hobinya tidur di posko.
Ketika Maryam dan teman-teman ceweknya yang lain masak bersama, Siti lebih senang berdendang di depan kaca, kadang sambil moleskan krim pemutih ke wajahnya. Tapi, begitu makanan sudah siap, Siti akan ikut nimbrung tanpa ekspresi berdosa sedikitpun.
“Mending kalau cuma ikut makan, lha dia ini kadang berkomentar enggak enaklah, keasinanlah. Padahal, kita yang repot di dapur dianya kayak tuan putri,” ujar Maryam dengan nada penuh kekesalan.
Namun, soal makanan bukan hal paling menyebalkan dari Siti. Bagi Maryam, hal paling menyebalkan yang membuat dirinya jadi pingin punya rencana mengubur hidup-hidup Siti lalu melakukan rajam dengan batu lemparan jumrah adalah perihal pakaian.
Karena dasarnya Siti ini kemayu, pemalas, dan enggak terbiasa mencuci sendiri, maka ia senantiasa nitip cucian pada teman-temannya. Posko mereka memang terletak di pelosok desa. Jadi boro-boro laundry, bisa menyuci tanpa harus pergi ke sungai saja sudah syukur.
Begitulah, setiap hari teman-teman satu posko, dengan berat hati, bergantian mencuci pakaian milik Siti. Tapi, Siti bukannya membalas mereka dengan baik, ia malah sering memberi komentar yang enggak enak didengar. Misalnya, “Kok gamisku masih kusam?” atau “Kalian itu ikhlas enggak sih nyuciin bajuku?” Ebuset.
Ketidakpekaan Siti terhadap perasaan orang bahkan tanpa malu ditunjukkannya pada Ibu pemilik rumah tempat mereka numpang. Misalnya, ketika si Ibu Posko memberikan kue atau nasi bungkus hasil hajatan kepada anak-anak KKN, Siti asal jeplak saja bilang enggak suka makan ini, enggak selera makan itu. Yawla.
Karena enggak tahan dengan sikap Siti, Maryam dan teman-teman satu posko akhirnya mengucilkannya. Walhasil, Siti enggak pernah diajak kalau mereka pergi jalan-jalan. Pun sering digunjing dan selalu dijadikan bahan lelucon secara diam-diam.
- Ogah Membaur
Tujuan utama KKN adalah agar kita belajar hidup dalam lingkungan masyarakat. Jadi, ya membaur itu suatu kewajiban. Baik dengan teman-teman satu posko, pemuda-pemudi kampung, dan para tokoh masyarakat.
Namun realitasnya, banyak mahasiswa yang ketika KKN kurang menyatu dengan masyarakat. Parahnya kadang mencibir dan menolak tradisi yang ada di kampung tempat KKN dilaksanakan.
Contohnya saat saya KKN dulu. Ada salah satu rekan yang benar-benar nggak mau ikut tahlilan pada malam Jumat. “Lho itu bid’ah!” katanya.
Padahal, kalaupun nggak mau ikut doa waktu tahlilan kan nggak apa-apa. Paling nggak acara ini bisa jadi kesempatan yang besar supaya dikenal masyarakat dan mendapat pandangan positif dari mereka. Kalau ditanya kenapa nggak ikut baca doa waktu tahlilan, kan bisa alasan lagi datang bulan atau ngaku non-muslim.
Yah, paling tidak waktu ada Dewan Pendamping Lapangan (DPL) yang melakukan sidak, citra kita jadi baik di mata masyarakat. Lagipula, masalah bid’ah kan soal perspektif. Kalau memang tidak mau tahlilan dan menganggap tahlilan atau tradisi di masyarakat menjadikan kita enggan berbaur dengan masyarakat. Sebaiknya juga jangan ditunjukkan sebegitu banalnya.
Apalagi kalau karena mentang-mentang kita mahasiswa, merasa paling pintar, berpendidkan, kemudian kita enggak mau bergaul dengan pemuda atau warga kampung yang pegangannya sabit dan cangkul saban hari.
Membaur, bermasyarakat, bersosial, itu kan memang tujuan KKN. Tidak perlu sampai warga kampung, membaur ke teman-teman satu posko pun tak kalah penting. Mereka adalah orang-orang pertama yang akan kita mintai bantuan kalau ada apa-apa. Jadi berusahalah menyukai mereka, sejorok apapun teman-teman posko kita, semanja apapun mereka. Toh, kita butuh satu sama lain untuk memanipulasi laporan sebelum menghadapi sidak DPL bukan?
- Tukang Perintah
Kalau ini, saya kira di manapun orang-orang yang berlagak layaknya bos selalu dibenci sebenci-bencinya. Ya jelas dong, sikap seseorang yang suka menyuruh-nyuruh seenak perutnya sendiri padahal kenal juga baru beberapa bulan tentu nggak menyenangkan sama sekali. Orang semacam ini mungkin terpelanting dari masa lalu zaman perbudakan ke masa depan sehingga memerlakukan teman-teman poskonya bak hamba sahaya.
Teman saya, sebut saja Mirsah (bukan nama asli) punya pengalaman dengan koordinator desa (kordes) tempat KKN-nya. Kata Mirsah, koordesnya ini pemarah dan suka memerintah. Padahal orangnya malas berbaur dengan unit-unit posko lain di desanya, apalagi dengan masyarakatnya.
Perintah-perintah dari kordesnya kadang juga kurang manusiawi. Seperti menyuruh cewek mengantar undangan malam-malam ke desa yang pelosok nan menyeramkan. Padahal, jangankan keluar malam, sama kolong kasur yang gelap aja takut. Duh, duh, curiga saya jangan-jangan dulunya kordes ini Fir’aun apa ya?
Selain berlagak bos, koordes ini juga enggak mau diajak kompromi. Bahkan, ia enggak segan-segan memberi Surat Peringatan (SP) untuk teman-temannya yang hanya keluar kota barang sebentar. Yaelah, dikira lagi mimpin Freeport kali ya?
Melihat pemimpin yang zalimnya naudzubillah ini, Mirsah mengoordinir teman-teman seluruh posko di desanya untuk melakukan kudeta. Dalam sebuah sidang yang cukup dramatik, kata Mirsah, koordesnya diturunkan. Bahkan, ia dilengserkan tanpa diberi waktu untuk melakukan pembelaan.
Begitu kekuasaanya dilucuti, si koordes pun langsung jadi musuh bersama. Enggak hanya satu posko saja, melainkan seluruh unit se-desa. Edyan. Sudah KKN nggak enak dijalanin, nggak punya teman untuk manipulasi bikin laporan KKN lagi. Ya siap-siap aja kalau nilai akhirnya yang keluar paling mentok cuma B.