MOJOK.CO – Bagaimana rasanya kuliah di kampus Islam padahal kamu bukan orang Islam?
Sebagai seorang pemeluk agama Kristen, Rani nyaris tak pernah berpikir bahwa kelak akan mengenyam pendidikan di sebuah kampus Islam. Karena, sejak dulu hanya ada dua pilihan sekolah dalam hidupnya; umum atau yang di bawah Yayasan Kristen. Maka ketika memasuki jenjang kuliah, Rani memilih jurusan Sastra Inggris di salah satu universitas kristen di Yogyakarta.
Namun, pada pertengahan masa kuliah, tiba-tiba orangtua Rani memintanya pindah jurusan.
“Mereka ingin aku mengambil Pendidikan Bahasa Inggris,” ujar Rani.
“Awalnya aku mencoba transfer ke beberapa universitas di bawah Yayasan Katolik dan Kristen, tetapi ada hal yang nggak bisa membuat aku transfer karena peraturan kampus. Aku mencari universitas umum yang enggak di bawah yayasan agama apapun, tapi tetap enggak menemukan yang cocok.”
Setelah menghabiskan waktu dalam pencarian, akhirnya Rani menjatuhkan pilihannya pada Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta. Pertimbangan dia saat itu ialah jurusan pendidikan bahasa inggris dan universitasnya sama-sama sudah memiliki akreditasi yang bagus. Maka, mantaplah dia memasuki universitas tersebut meski bukan dalam naungan yayasan seagamanya.
Saya kemudian tetarik untuk mengulik pengalamannya di UII. Bagaimanapun, sebagai sebuah universitas berlabel Islam, UII punya standar nilai-nilai kultur yang disesuaikan dengan Agama Islam pada umumnya. Seperti kewajiban bagi setiap mahasiswinya supaya mengenakan jilbab dan berpakaian syar’i untuk menutup aurat di lingkungan kampus.
Hal tersebut berlaku pula untuk non-muslim yang kuliah di UII, tanpa terkecuali. Maka, mau tak mau Rani akhirnya berjilbab dan mengenakan pakaian sebagaimana standar UII saban masuk kuliah.
“Memang secara manusiawi aku agak shock karena harus menutup kepala. Sementara pakaianku kan jarang ada yang panjang,” tuturnya. “Tapi, kan aku tujuannya belajar, jadi enggak masalah. Dari kacamata agama yang kuanut, kami percaya Tuhan itu tahu isi hati kita jadi even kita pakai hijab atau pake apa lah Tuhan tetap mengasihi kita kok.”
Pada saat awal masuk UII, dia merasa jadi sorotan banyak orang. Terlebih, saat memperkenalkan diri sebagai penganut Kristen, tak sedikit mahasiswa yang memandangnya aneh dan terkesan merendahkan. “Sampai ada yang bilangin aku seperti kalo orang Islam ketemu sesuatu yang menimbulkan dosa, kalo tidak salah nyebut naudzubilah minzaliq,” ujar dia.
Penasaran, saya lalu bertanya, “Apa mereka mengatakan itu sambil berbisik?”
“Loudly (keras),” jawab dia. Saya terhenyak. Meski demikian, Rani menganggapnya wajar.
“Yang namanya orang pasti ada yang siap dan belum siap sama heterogenity (keanekaragaman) dari masyarakat kita. Ada beberapa yang respect dan ada beberapa yang seakan menganggapku rendah. Aku sih nothing to loose.”
“Aku merasa jadi sorotan, sampai lulus,” kata dia. Namun, bukan berarti dia tak memiliki banyak teman. Sebab, sepanjang kuliah di UII dia menemukan banyak mahasiswa muslim yang baik dan selalu mendukungnya. Hanya saja saat berkumpul dengan mereka, dia beberapa kali harus googling supaya paham apa arti kata ta’aruf, ghibah, dan lain sebagainya.
Selain soal kultur, dalam pendidikannya, UII juga memiliki sejumlah aktivitas studi Islam seperti Orientasi Nilai Dasar Islam dan Pesantrenisasi (yang semuanya diwajibkan sebagai syarat untuk bisa lulus). Dalam setiap kegiatan tersebut, mahasiswa diajari membaca Al-Quran, menulis huruf hijaiyah, fikih, sampai tauhid. Itu belum termasuk ujian hafalan juz amma dan doa sehari-hari.
Saya jadi penasaran, bagaimana cara Rani melewati semua kegiatan yang kental dengan keislamannya tersebut.
“Waktu pesantrenisasi aku mencoba lobi DPPAI (pengurus bagian keislaman UII) untuk dapat perlakuan yang meringankan aku agar tidak ikut prosesi mengaji. Sempet keki sama petugas yang di DPPAI karena mereka shock dan enggak percaya sampe minta bukti KTP segala,” kata dia.
Beruntung, dia akhirnya bertemu dengan Kepala DPPAI (Direktorat Pendidikan dan Pengembanga Agama Islam) yang kemudian memberinya hak istimewa: tetap ikut pesantrenisasi tetapi sebagai formalitas saja. “Puji Tuhan, pokoknya say thanks banget buat UII yang sudah memfasilitasi studiku,” tutup dia.
Di lain obrolan, pengalaman berbeda didapatkan oleh Tara, mahasiswa Fakultas Kedokteran di universitas yang sama. Tara adalah seorang penganut Hindu dan asli Yogyakarta.
Jika Rani di atas merasa jadi sorotan banyak mahasiswa karena non muslim, Tara bisa mengatasi hal itu dengan cara guyonan.
“Aku biasa ngafir-ngafirin diri sendiri malah, hahahaha,” gurau Tara.
Sejak remaja Tara mengaku terbiasa hidup dalam kemajemukan. Ia bahkan bersekolah di Yayasan Katolik sejak TK hingga SMA. Teman-temannya pun berasal dari lintas agama. Jadi, tak heran bila soal lingkungan yang beda agama sudah biasa bagi Tara.
Cuma ada satu hal yang sempat membuat Tara bingung: bagaimana caranya supaya dia bisa melalui ONDI dan Pesantrenisasi UII?
Tara lalu berkonsultasi dengan pihak Fakultas Kedokteran (FK) UII dan hasilnya dia tetap diwajibkan mengikuti semua kegiatan tersebut. Hanya saja tidak dipaksa untuk menguasai bacaan Al-Quran atau hafalan surat-surat pendek. “Tetap ikut saja, tapi nanti enggak usah mendalam, sebisanya biar nambah pengetahuan, kata dosenku,” tutur Tara.
Selama sebulan mengikuti pesantrenisasi, Tara hadir dalam setiap kegiatan, kecuali ketika salat. Jika waktu salat tiba, ia biasanya memilih ngobrol dengan temannya yang sesama non-muslim. “Ya, paling ngobrolin kuliah sama ngobrolin cewek, kadang,” ujarnya.
Menurut Tara, selain ONDI dan pesantrenisasi, di FK UII juga ada semacam kegiatan mentoring. Kegiatan ini masih termasuk kategori pendalaman keislaman, meliputi hafalan, mengaji, dan lain sebagainya. Melalui perjuangan hafalan, dalam kegiatan ini Tara mengaku berhasil mengafal sejumlah surat pendek Juz Amma. Sampai-sampai, pada saat tes hafalan, pengujinya saja tidak menyangka kalau sebenarnya Tara adalah penganut Hindu.
“Terus, aku dapat pertanyaan seputar salat dan itu kayaknya cuma bisa dijwab orang muslim, aku enggak tahu. Terus aku bilang kalau aku Hindu,” kata Tara. “Beliau sempat heran karena hafalanku lumayan bagus katanya.”
Bagi Tara, UII merupakan kampus di Yogyakarta yang cukup toleran. Walau program pendalaman Islam cukup banyak, namun para pengajar di UII tidak pernah memaksanya untuk mengikuti setiap kegiatan yang berkaitan dengan ke-Islaman. Selain itu, Tara juga mengaku senang bisa belajar hal-hal baru di luar agamanya.
“Aku paling suka peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhammad, yang beliau bisa naik ke langit ketujuh terus ketemu nabi-nabi terdahulu. Itu berkesan banget buatku,” tutupnya.