MOJOK.CO – Norwegia bakal menerapkan peraturan bahwa influencer harus jujur soal foto editan. Influencer Indonesia juga perlu nih biar nggak manipulasi visual terooos.
Beberapa hari yang lalu, otoritas Norwegia dikabarkan akan membuat peraturan bagi influencer di sana agar memberikan label edit atau retouch pada konten unggahan. Peraturan ini dibuat menyusul standar kecantikan yang sudah makin aneh dan membuat banyak remaja jadi insecure. Sebenarnya influencer Indonesia juga perlu aturan ini sih. Masalahnya apa yang kelihatan di media sosial memang lebih banyak manipulasinya.
Aturan yang bakal berlaku buat influencer Norwegia itu bahkan mengharuskan mereka secara spesifik menyebut bagian tubuh mana yang telah disunting. Misalnya kalau ketika berfoto pipi kelihatan tembem lalu mereka mengeditnya, si influencer juga harus jujur perihal hal tersebut. Oleh karena peraturan ini dibuat oleh otoritas berwenang, jelas pelaksanaannya punya landasan hukum yang kuat. Kalau ada yang nggak disiplin, konsekuensinya jelas ada.
Netizen di Indonesia juga, saya yakin, sudah cukup muak dengan tipu-tipu rekayasa visual yang diunggah oleh influencer. Sungai yang warnanya kayak susu cokelat saja bisa dibuat bening kebiruan, seolah-olah masyarakat sudah nggak pernah buang sampah sembarangan. Belum lagi soal kecantikan, duh, banyak yang bilang influencer A aslinya biasa aja, influencer X makeup-nya tebel banget, dan berbagai cerita membagongkan lainnya. Sebenarnya hal ini nggak akan jadi masalah besar, sampai si influencer mulai mengiklankan produk.
Influencer Indonesia itu baik hati, mereka kalau di-endorse skin care atau makeup tentu saja pengin benar-benar membantu penjualan brand. Nggak heran mereka juga sering banget ngeluarin kata-kata dengan level persuasi luar biasa. Netizen biasa menyebutnya dengan “racun”. Tapi, kalau ketika melakukan endorse, memperagakan penggunaan skincare, bahkan menunjukkan hasil pemakaian skincare saja pakai filter dan edit sana-sini, bagaimana audiens bakal menilai produk secara objektif?
“Serum wajah ini enak banget, Guys, adem dipakai. Wah aku pakai ini seminggu aja, lihat tuh bekas jerawatnya memudar. Ini beneran aku honest review ya, aku suka banget.”
Kebanyakan orang yang menyaksikan konten iklan dengan dialog begitu, tentu akan percaya dan memutuskan untuk beli produk tersebut. Masalahnya kalau ternyata influencer pakai pencahayaan bagus, editing biar kulit kelihatan merona, dan nggak lupa filter demi memperlihatkan bahwa si produk benar-benar bekerja, gimana dong? Padahal mungkin nggak sebagus itu efeknya.
Sebenarnya selain biar nggak manipulatif, aturan kayak di Norwegia juga membantu banget buat menekan standar kecantikan yang semakin nggak realistis. Nggak semua cewek harus putih, nggak semua cewek harus langsing, dan nggak semuanya terlahir mancung. Influencer Indonesia mungkin saja bisa mengusahakan itu semua karena punya cukup akses buat perawatan kecantikan, tanam-tanam benang, botox, dan operasi wajah sana-sini. Sedangkan realitanya, standar kecantikan memang nggak bisa dipatok begitu. Nggak semua orang Indonesia bisa punya kulit putih karena kita berbeda-beda suku juga.
Standar kecantikan memang nggak diciptakan secara sengaja oleh influencer-influencer di Indonesia. Tapi, hal ini terbentuk karena kultur yang nggak tepat dan orang saling berlomba-lomba buat keliatan menarik. Filter dan editing pun membuat semuanya jadi makin runyam. Kita semakin nggak tahu nih mana yang sesuai kenyataan mana yang rekayasa visual.
Nggak perlu muluk-muluk membayangkan aturan hukum tentang memberi keterangan “edita” pada influencer Indonesia. Minimal di level moralitas kita seharusnya sudah tahu mana yang manipulatif ana yang nggak. Mentang-mentang dibayar mahal, influencer nggak bisa seenaknya mengiklankan produk seolah-olah mereka cinta mati sama produknya sampai follower-nya harus beli. Duh.
BACA JUGA Jika Anda Bukan Bapack Teuku Wisnu, Jangan Sembarangan Melempar Jokes Abi-abi ya! atau artikel AJENG RIZKA lainnya.