Hingga kemarin, rasanya sudah cukup lama netizen tidak membahas soal tangis dan air mata. Tangis terakhir yang banyak kita perbincangkan ialah tersedu-sedunya Awkarin saat putus dari Gaga. Ketika Ahok yang biasanya tampil garang dengan bacotnya yang luar biasa itu menangis ketika curhat di persidangan perdananya kemarin, air mata kembali menjadi buah bibir.
Menangisnya Pak Ahok dalam persidangan perdana kasus penistaan Al-Quran ibarat sebuah plot twist drama berkelas dunia yang sayangnya tidak kita jumpai di mayoritas sinetron yang beredar di Indonesia. Episode ini mampu mengubah persepsi banyak orang atas kasus yang cukup lama mengalihkan perhatian kita semua ini, termasuk gebetan saya yang hingga kini amat jarang menunjukkan perhatian lebihnya kepada saya, membuat saya ragu untuk tetap berharap atau menyerah begitu saja.
Cukup curhatnya, kembali kepada curhatnya Pak Ahok yang mampu membuat air mata lain memenuhi jagad media sosial kita.
Tangis merupakan suatu ekspresi dari berbagai emosi yang manusia rasakan. Bahagia juga bisa menghasilkan air mata, saat pengorbanan masa pendekatan berujung dengan jadian misalnya. Menangis adalah hal wajar, sewajar penolakan gadis cantik kepada lelaki buruk rupa.
Menangis bahkan menjadi aktivitas perdana bagi setiap bayi yang terlahir ke dunia. Tenaga medis dan sang ibu yang baru brojol akan cenderung khawatir jika si jabang bayi malah bernyanyi dan tertawa. Tangis juga menjadi bumbu ritual yang wajib ada saat agenda doa dan istighosah bersama anak sekolah yang merasa perlu disucikan terlebih dahulu sebelum melaksanakan dosa berjamaah saat ujian nasional.
Tangis dan air mata bahkan menjadi pembeda antara robot dan manusia. Indonesia punya lagu memilukan soal air mata dan dijuduli “Air Mata”, gubahan Ahmad Dhani bersama Dewa. Ya, Ahmad Dhani yang pernah begitu hebatnya menjadi musisi dengan band dan lagu-lagu sejuta umat yang sayangnya belakangan berupaya dianggap menjadi lebih hebat dengan menjadi pejabat.
Lagu ini berisikan betapa kita sebagai manusia sangatlah normal untuk menangis. “Menangislah, bila harus menangis, karena kita semua manusia…,” begitu petikan lirik yang disuguhkan dengan aransemen dari personil brilian Dewa lainnya, Andra Ramadhan.
Menjadikan tangis dan air mata sajian untuk kita bisa nikmati juga pernah begitu marak diadopsi televisi kita. Reality-reality show yang sayangnya tidak realistis-realistis amat. Mulai dari Bedah Rumah, Tolong, Uang Kaget, hingga Tukar Nasib pasti menyisipkan banyak adegan tangis dalam proses pembuatannya.
Juga jangan lupakan begitu banyak aktor dan aktris kita yang menjadi pemeran utama atau sebagai ibu dari pemeran utama yang dituntut untuk berakting menangis di tiga perempat durasi tayang sinetron. Kebahagiaan justru menjadi pertanda bahwa sinetron yang dimainkan akan segera berakhir.
Mengklasifikasi tangisan menjadi beberapa bagian adalah perkara gampang-gampang sulit. Klasifikasi ini menjadi awal yang penting bagi kita sebelum menunjukkan analisis mendalam ala ahli di media sosial kita semua. Ini juga menjadi penting untuk memilih nyinyir atau empati sebagai sikap suci kita, para netizen di dunia maya.
Indikator klasifikasi ini lekat dengan pemilahan soal dibuat-buat atau tidaknya tangis dan kesedihan yang hadir, tulus nggaknya seseorang menangisi kesedihan, tulus nggaknya perasaan kita ke gebetan *duh curhat mulu*. Indikator ini yang dengan jelas membuat kita bisa membedakan kualitas akting peraih Piala Oscar dan sekadar pengisi episode pengejar rating.
Menujukkan kesedihan dengan tangis memang bukan hal populer. Siap-siaplah pada lebih banyak hujatan ketimbang perhatian yang muncul ketika kita menangis di depan orang lain, apalagi di depan orang yang nggak kita kenal. Siap-siaplah disebut cengeng, lemah, cemen, dan berbagai ejakan lainnya jika ada air keluar menetes dari mata ke pipi yang berharap bisa diusap oleh Nadya Hutagalung orang lain.
Begitu pun pandangan kita akan kriteria pemimpin. Kita pasti akan mendahulukan sosok paras penuh senyuman ketimbang sosok yang disinyalir menyimpan banyak kesedihan. Wong saya sendiri nyoblos Pak Jokowi jadi presiden karena senyumnya kelihatan lebih tulus. Padahal kalau saya ingat-ingat, negara kita pernah 32 tahun ada di bawah rezim yang dipimpin sosok dengan julukan The Smiling General. Dan kita tahu sama tahu aja apa saja yang telah terjadi selama periode itu.
Menyadari bahwa tangis kesedihan dan air mata pernah mengalami penurunan makna dan derajat sebegitunya di masyarakat Indonesia, tangisan Pak Ahok saat membacakan eksepsinya perlu dijadikan momentum normalisasi makna tangis di negara kita. Tangisan yang menjadi hit dan perbincangan banyak orang ini berpotensi mengembalikan marwah tangisan sebagai ekspresi yang normal murni muncul dari manusia, setelah sekian lama dinistakan keberadaannya oleh AwKarin.
Pak Ahok yang memang lekat dengan kata normalisasi (di kalangan buzzer-nya) atau penggusuran (bagi kalangan yang waras) pernah juga mengklasifikasikan tangis dari warga korban penggusuran sebagai tangis berlebihan layaknya di sinetron. Sesuatu yang nampaknya akan ia sesali jika ia tahu bahwa ia juga akan menangis dalam upayanya mendapat keadilan.
Bagi kamu yang merasa perlu menilai tangisan Ahok sebagai tangisan yang tulus atau dibuat-buat, silakan jika mau berdebat atau bahkan mau mengangkatnya sebagai Bapak Air Mata DKI Jakarta. Dan bagi kamu yang lagi aku gebet, nggak perlu aku bikin vlog cengeng sambil nangis kan biar kamu jadi sayang aku?
Ralat: mulanya tertulis “Ahok membacakan nota pembelaan dirinya”. Yang benar ialah “Ahok membacakan eksepsinya”. Terima kasih atas koreksi dari pembaca 🙂