MOJOK.CO – Pemerintah menaikkan tarif iuran BPJS yang beberapa waktu yang lalu sempat turun. Masyarakat bakal semakin mobat-mabit.
Di Indonesia ini, rasanya tak banyak sinetron yang bagus. Hampir semuanya buruk, atau minimal, dari penilaian 1-10, jarang yang bisa menyentuh angka 6,5.
Kendati demikian, dari serangkaian sinetron yang buruk itu, akan selalu ada standar baku yang membuat sebuah sinetron setidaknya menjadi layak tonton dan kemudian laris.
Salah satu standar yang sering dipakai tentu saja adalah adanya alur yang naik turun. Penonton selalu suka suspensi. Penonton tak pernah suka dengan kedataran. Tak suka dengan kisah yang mulus-mulus saja. Penonton akan lebih suka dengan kisah seorang wanita yang dicampakkan oleh suaminya yang miskin, kemudian bercerai, kemudian bertemu dengan lelaki lain yang ternyata kaya, baik hati, dan pengertian. Akan sangat tidak menarik jika si wanita adalah anak seorang terpandang, dari keluarga yang mapan, kemudian menikah dengan lelaki yang juga kaya, yang kebetulan kok ya baik hati dan pengertian.
Pada kenyataannya, ini berlaku bukan hanya pada sinetron, melainkan juga banyak hal, termasuk film bokep sekalipun. Penonton tidak pernah menyukai kisah hubungan seksual yang terjadi antara suami-istri di kamar yang mewah. Penonton film bokep akan lebih menyukai kisah seorang istri yang ditinggal oleh suaminya, lalu rumahnya dirampok, kemudian ia melawan, saat melawan itu, roknya tersingkap, rampoknya kemudian tertarik dengan si wanita dan mulai bernafsu, dan tak diduga sentuhan-sentuhan dari si rampok itu mampu membangitkan hasrat su wanita, ia pun kemudian mengabaikan kejahatan yang sudah dilakukan oleh si perampok, keduanya lantas mulai memadu kasih di atas sofa di samping barang-barang curian yang sedang akan diangkut oleh si perampok.
Naik turun itu penting. Ia mampu mengaduk emosi.
Drama yang bagus adalah drama yang mampu membuat emosi penontonnya naik sampai ke ubun-ubun, kemudian meredakannya sampai pada titik yang paling kalem, kemudian naik lagi, kemudian turun lagi, begitu seterusnya.
Masyarakat selalu menyukai konsep “naik turun” itu. Semakin naik-turun, semakin bagus.
Nah, tampaknya konsep naik turun inilah yang sedang digunakan oleh Pemerintah saat beberapa waktu yang lalu memutuskan untuk menaikkan kembali tarif iuran BPJS yang beberapa bulan sebelumnya sempat naik dan sempat turun.
Keputusan menaikkan tarif iuran tersebut tertuan dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang baru saja diteken oleh Jokowi. Perpres yang baru itu praktis membuat tarif iuran BPJS dalam dua tahun terakhir mengalami naik turun setidaknya dua kali.
Tarif turan BPJS yang ditetapkan tahun 2018 sempat naik dua kali lipat karena ditekennya Perpres Nomor 75 Tahun 2019. Tarif yang baru ini kemudian turun lagi karena Perpres Nomor 75 itu dianulis oleh MA setelah digugat oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia. Tarif Iuran pun turun kembali sesuai Perpres yang sebelumnya sudah ada. Sekarang, tarif yang sudah turun itu akan kembali naik dengan adanya Perpres Nomor 64 Tahun 2020.
Perpres tersebut berisi ketetapan aturan tarif iuran BPJS yang baru, yakni kelas III sebesar Rp35 ribu rupiah (mulai berlaku awal tahun mendatang), kelas II sebesar Rp100 ribu, dan kelas I sebesar Rp150 ribu.
Jika dibandingkan dengan Perpres yang ada sebelumnya, artinya ada kenaikan sebesar Rp9 ribu pada iuran peserta kelas III, Rp49 ribu untuk peserta kelas II, dan Rp70 untuk peserta kelas I.
Tentu saja kebijakan (entah layak disebut sebagai kebijakan atau tidak, sebab terlihat sangat tidak bijak) ini menjadi hantaman yang telak bagi warga yang sedang begitu terpukul karena ekonominya mobat-mabit akibat pandemi corona.
Keputusan naiknya kembali tarif iuran BPJS ini menambah daftar keputusan pemerintah yang dianggap tak becus di masa pandemi corona ini.
Dari mulai kebijakan memberikan subsidi insentif pariwisata di saat banyak negara lain justru sibuk menutup akses masuk ke negaranya, program pelatihan kartu prakerja yang harganya terlalu mahal, pembelian alat rapid test yang belakangan terbukti hasilnya banyak yang tak akurat, sampai yang terkini, mengizinkan warga berusia 45 tahun ke bawah padahal justru warga usia tersebut yang sangat berpotensi bisa menyebarkan virus corona.
Satu per satu keputusan ganjil tersebut tentu saja membikin kepercayaan masyarakat semakin tipis. Tak heran jika kemudian masyarakat mudah saja mengabaikan instruksi-instruksi dari pemerintah.
Melihat gelagat yang sedang terjadi ini, tampaknya pola tersebut masih dan akan terus terjadi. Masyarakat memang harus mulai bersiap dengan berbagai kemungkinan yang menyebalkan sebab pemerintah sekarang memang sedang sangat hobi seenaknya sendiri.
Kita harus sadar bahwa sekarang kita tidak menghadapi satu pandemi. Kita, saat ini, menghadapi tiga pandemi yang ketiga-tiganya sama berbahayanya: corona, warga yang sembrono, dan pemerintah yang terlalu hobi atraksi.
Tampaknya, ketika kita bicara tentang “The new normal”, maka inilah yang sedang kita hadapi. Dikerjain pemerintah adalah the new normal.
Tapi tentu saja itu bukan salah pemerintah. Ingat, tugas pemerintah memang membikin aturan dan menerapkannya. Sedangkan untuk membikin agar rakyat bisa ikhlas dalam menerima aturan tersebut, itu adalah tugas Tuhan.