Niat baik akan selalu membuahkan kebaikan. Namun penerimaannya kadang tak melulu beriringan dengan kebaikan pula. Dan kemarin sore, saya membuktikannya.
Kemarin saya mengisi semacam acara lokakarya mahasiswa di salah satu kampus. Acara berlangsung dari pukul tiga sore dan berakhir sekitar lima belas menit menjelang maghrib.
Begitu acara selesai, saya buru-buru pamit ke panitia sebab saya keburu ingin berbuka di salah satu rumah makan langganan saya di Jakal atas.
“Nggak nunggu buka sekalian, Mas?” tanya salah satu panitia.
“Nggak, Mbak. Habis ini saya ada acara,” terang saya.
Panitia kemudian langsung memberi saya bungkusan, lengkap dengan amplopnya. Saya terima bungkusan dan amplop tersebut dan kemudian langsung ngacir keluar.
Saat sampai di tangga, seorang panitia tergopoh-gopoh mengejar saya sembari membawa nasi kotak.
“Mas, ini, ada jatah makan dari panitia. Harusnya buat buka puasa, tapi karena Mas Agus sudah pulang duluan, jadi saya kasihkan saja, siapa tahu nanti di jalan bisa dimakan,” ujarnya sembari memberikan kotak tersebut beserta tas kresek sebagai wadahnya.
“Oh, suwun, Mbak.”
Di parkiran, saya buka nasi kotak yang tadi dikasih panitia. Isinya nasi, tempe, sayur buncis, dan telur balado. Saya tutup kembali kotak tersebut dan saya gantungkan di gantungan motor.
Di jalan, saya memikirkan kepada siapa nasi kotak ini harus saya berikan. Nasi kotak ini tak mungkin saya makan sebab saya sudah ngebet ingin makan di warung makan langganan saya yang menyediakan menu ayam panggang sambal bawang yang legit dan bumbunya kolosal itu.
Dasar nasib mujur. Setelah sekitar setengah kilo saya melaju, saya melewati pemulung yang sedang mendorong gerobaknya. Pas betul. Mungkin inilah yang dinamakan berkah. Mau nyumbang makanan, ealah kok ya dimudahkan.
Motor saya hentikan. Saya datangi si bapak pemulung.
“Pak, ini saya ada nasi kotak,” ujar saya sembari menyerahkan nasi kotak saya pada si bapak yang wajahnya tampak kusut dan begitu kotor.
Saya mengira, si bapak akan langsung menerima. Tapi ternyata tidak. Ia menggeleng. “Nggak, Mas.”
Wah, tengsin ini saya. Saya curiga, dia tersinggung sebab saya menganggapnya berkekurangan.
Saya lantas mencoba membujuknya.
“Pak, ini buat njenengan. Saya dikasih sama orang, daripada saya buang, daripada nggak saya makan.”
Kali ini, ia menerima dengan sukacita.
“Oalah, Mas. Gratis tho. Saya kira tadi sampeyan itu sedang jual nasi sama saya,” ujarnya sambil prengas-prenges.
Bajigur. Apakah sudah sedemikian susah wajah saya sampai-sampai mau ngasih nasi gratis saja saya nggak dipercaya?
Jangan-jangan tampang saya memanglah tampang melarat, tampang yang tak selayaknya membagi-bagikan makanan gratis pada orang-orang.
Sepanjang perjalanan pulang, saya terus saja merenung. “Kelihatannya saya lebih pemulung ketimbang pemulung itu sendiri. Saya lebih gelandang ketimbang gelandangan itu sendiri.”
Bodhol wuk, bodhol… semplok wuk, semplok…