MOJOK.CO – Mensyukuri kehadiran kucing sebagai teman saat mengkarantina diri di rumah
Entah ini sudah hari ke berapa saya dan istri saya mengarantina diri berkegiatan di rumah sejak wabah corona menyebar semakin hebat dan kolosal.
Hanya Indomaret di dekat rumah yang menjadi tempat yang paling sering saya datangi. Selebihnya nihil. Saya sampai merasa punya semacan chemistri yang mendalam dengan rak, label harga, dan kasir di sana.
Sebagai seorang penulis yang memang punya gaya hidup rumahan, saya membayangkan bakal betah berlama-lama bekerja dari rumah. Siapa juga yang nggak betah duduk di rumah sambil menulis dan sesekali ngadmin akun sosial media toko buku online saya sembari sesekali menonton video-video pertandingan sepak bola atau gol-gol ala-ala acara One Stop Football itu.
Namun pada kenyataannya, kejenuhan itu memang nyata adanya.
Saya pikir, bukan saya saja yang merasakan hal ini. Kita semua yang sudah berdiam diri berhari-hari di rumah demi mengurangi efek penyebaran corona pasti juga merasakan hal yang sama.
Kita barangkali sudah mulai melakukan hal-hal aneh dan tak wajar untuk mengisi hari-hari membosankan kita di rumah.
Saya misalnya, beberapa waktu yang lewat, nekat membeli ketipung dangdut di marketplace. Ada semacam hasrat dalam diri saya untuk mengisi waktu-waktu membosankan ini dengan belajar bermain ketipung, sehingga nanti ketika masa darurat corona ini selesai, setidaknya saya sudah punya satu keahlian di bidang musik. Sebuah hal yang saya pikir tidak pernah akan saya lakukan jika tidak dalam masa karantina di rumah.
Bukan tak mungkin jika masa karantina ini bertambah panjang, saya bisa bisa kalap untuk membeli seruling, icik-icik, sampai membeli file video tutorial ngemsi orkes melayu panturanan.
Istri saya tak jauh berbeda. Ia mulai sering membeli bahan makanan yang aneh-aneh, dari mulai terasi, sambal, kecombrang, dan lain sebangsanya.
Kebutuhan saya akan bincang-bincang bersama kawan semakin hari semakin tinggi. Padahal, kami hampir tidak bisa berkumpul-kumpul nongki-nongki cantik seperti dulu saat sebelum corona.
Dalam kondisi yang demikian, entah bagaimana, saya baru menyadari betapa keberadaan kucing-kucing yang ada di rumah saya menjadi sangat berharga.
Di rumah saya, setidaknya ada delapan ekor kucing yang sering sering menjadikan teras rumah saya sebagai tempat nongkrong dan mungkin berdialektika.
Saya adalah sosok yang begitu memuliakan tamu. Jadi, kendati mereka tak pernah secara langsung memperkenalkan diri sebagai tamu, tetap saja saya suguhi mereka dengan makanan kucing yang harganya tentu tiada murah.
Beberapa kali saya dibikin kesal oleh tamu-tamu yang lucu namun kadang tak tahu diuntung ini.
Walau sudah diberi makan, tetap saja mereka sering menggarong makanan saya. Bukan sekali dua kali pindang di rumah saya sudah berpindah kepemilikan secara ilegal.
Tak hanya itu, mereka juga sering kali membuang hajat tak tahu tempat.
Salah satu kucing, yang saya beri nama Garfield Singa (sebab warnanya orange dan bulunya lebat, kucing lain yang juga berwarna orange tapi bulunya tidak terlalu lebat saya namai Garfield saja, nggak pakai embel-embel singa) sering kali kencing di sembarang tempat.
Ia saya pergoki berkali-kali sedang asyik kencing di pintu, di kardus, bahkan sesekali di karpet.
Kalau sudah begitu, mau tak mau, saya juga yang harus mencuci atau mengepel permukaan benda yang sudah ia kencingi.
Kendati demikian, saya rasanya tak terlalu tega untuk mengusirnya. Ia tetap saja kucing lucu yang sebenarnya nggak salah-salah amat. Namanya juga kucing.
Setiap sore, saya merasa begitu ayem dan tenang saat melihat mereka kumpul guyup rukun makan bareng di teras rumah.
Pemandangan indah yang kemudian mengingatkan saya dengan kegiatan makan bersama satu tampah di beranda masjid yang dulu sering saya lakukan saat saya masih sering ikut jamaah tabligh.
Begitu menyenangkan melihat makhluk-makhluk berkumis dan lucu ini bermain saling tubruk satu sama lain tanpa menyimpan dendam kesumat yang berkepanjangan.
Saya juga bakal merasa tenang dan ayem saat melihat mereka tertidur pulas di sembarang tempat di dalam rumah saya.
Tentu saja mereka tak paham dan tak tahu menahu bahwa negara kita tercinta ini sedang dilanda virus corona. Mereka juga tak mungkin mudeng kalau saya ajak ngobrol tentang betapa menyebalkannya stafsus milenial yang belakangan sering bikin blunder itu. Tapi yang jelas, mereka memberikan saya ketenangan. Hal yang konon secara tidak langsung bisa imun tubuh kita semakin menguat.
Saya tak tahu kapan pandemi ini akan berakhir. Satu hal yang pasti, jika kelak pandemi ini berakhir, saya harus berterima kasih pada kucing-kucing manis tapi menipu ini.
Merekalah yang ikut menguatkan saya untuk terus bertahan.