MOJOK.CO – Urusan melakukan pembangkangan sipil, masyarakat Indonesia ini sudah punya bekal yang amat bagus.
Upaya penanganan pandemi yang dilakukan oleh pemerintah dianggap tidak efektif dalam memutus rantai penyebaran Covid-19. Hal tersebut pun berimbas pada tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam upaya penanganan pandemi yang memang terus turun dengan teratur.
Bukan hanya gagal, pemerintah pun dianggap ceroboh dan sembrono. Banyak kebijakan yang dianggap tidak konsekuen dengan semangat penanganan pandemi.
Pemerintah misalnya, bukannya menutup akses masuk bagi wisatawan di masa awal pandemi seperti yang dilakukan oleh banyak negara lain, mereka justru memberikan insentif dan diskon tiket pesawat serta membayar banyak influencer untuk mempromosikan pariwisata Indonesia. Pemerintah melarang keras mudik dan bahkan melakukan usaha-usaha penyekatan namun di sisi lain mereka justru tetap menggelar pilkada serentak. Pemerintah juga meminta masyarakat untuk berdiam diri di rumah dan menjaga protokol kesehatan namun mereka sendiri justru mengeluarkan rancangan undang-undang kontroversial yang tentu bakal memancing banyak orang untuk berdemo dan menolaknya beramai-ramai.
Yang paling menyebalkan, pemerintah terus melakukan usaha-usaha semi karantina atau pengetanan dari PSBB sampai PPKM untuk membatasi aktivitas masyarakat namun di sisi lain mereka tak mau menjamin kebutuhan pokok masyarakat sesuai dengan undang-undang.
Kondisi yang semakin sulit bagi masyarakat itu bukan hanya melahirkan solidaritas kolektif rakyat bantu rakyat atau warga bantu warga. lebih dari itu, kondisi sulit ini juga melahirkan seruan untuk melakukan pembangkangan sipil.
Entah butuh waktu berapa lama lagi sampai pembangkangan sipil dalam skala besar bisa terjadi. Namun yang jelas, jika memang hal tersebut terjadi, maka masyarakat kita tentu bakal bisa membangkang dengan elegan, sebab sedari awal, masyarakat Indonesia memang sudah dibekali dengan seni membangkang. Bukan hanya terhadap pemerintah, namun juga terhadap norma, tatanan, dan aturan apa pun.
Kreativitas masyarakat Indonesia dalam membangkang terhadap berbagai aturan yang ada adalah legacy besar dari leluhur yang senantiasa punya kalimat pegangan hidup berupa “Mbuh piye carane”.
Tak perlu susah-susah untuk bisa mencari contoh pembangkangan-pembangkangan ini. Yang paling mudah, amati saya ulah para pemabuk alternatif yang doyan sekali menemukan resep-resep ajaib hanya untuk bisa nge-fly.
Bagi para pemabuk di Indonesia ini, membangkang terhadap tatanan-tananan dunia permabukan sudah menjadi sebuah seni.
Lha gimana, untuk mabuk, orang Indonesia tak harus minum minuman alkohol. Mereka bisa menggunakan banyak subtitusi lain yang tak kalah dahsyat efeknya dalam memberikan sensasi “liyut”.
Kalau mau yang berbau nabati, ada jamur tletong dan kecubung. Dua materi yang lebih dari cukup untuk bikin orang liyut dan tinggi.
Kalau mau level yang anak-anak, ada lem aibon. Bayangkan, hanya dengan menghisap lem aibon, orang-orang bisa mengubah fungsi lem yang tadinya sebagai perekat melamin, fiber, atau logam, menjadi perekat antara kesadaran dan ketidaksadaran.
Yang lebih ekstrem lagi, ada orang yang sengaja mencari sensasi liyut dengan minum obat antimabuk namun dengan dosis yang berlebihan.
Bayangkan, ada orang mabuk justru dengan obat antimabuk. Ini bukan hanya bentuk pembangkangan terhadap tatanan, namun juga pembangkangan terhadap konsep-konsep farmasi.
Yang paling dahsyat tentu saja adalah kreativitas orang-orang Indonesia yang mencoba mabuk dengan minum air rebusan pembalut. Bayangkan, betapa mabuk bisa menjadi perkara yang bukan hanya sentimentil, tapi juga intim. Ini tentu pembangkangan yang jauh lebih goks. Sebab ia bukan hanya bentuk pembangkangan, namun juga bentuk gocekan terhadap aturan hukum yang berlaku.
Lha gimana, tren mabuk menggunakan air rebusan pembalut yang sempat heboh beberapa tahun yang lalu ini memang cukup bikin pusing pihak kepolisian. Maklum, pihak kepolisian sampai saat ini belum bisa memberikan tindakan hukum untuk menjerat para pemabuk pembalut karena berdasarkan undang-undang narkotika, pembalut bukanlah narkoba.
“Kami tidak bisa menindak mereka, tindakan hukum tidak bisa karena barang yang digunakan legal dan bukan narkotika atau psikotropika,” ujar Kepala Bidang Pemberantasan BNN Provinsi Jateng Ajun Komisaris Besar Suprinarto ketika dimintai komentar terkait fenomena mabuk dengan rebusan air pembalut.
Skor sementara, Pemabuk 1 – 0 Aparat.
Itu kan pemabuk. Pemabuk memang harus banyak akal untuk bisa tetap “liyut” dan bisa bersiasat dengan kondisi. Jadi wajar. Kalau masyarakat biasa gimana?
Alah, Bung. Di Indoesia ini nggak ada masyarakat biasa. Semuanya luar biasa. Urusan pembangkangan terhadap nilai dan tatanan, mereka juga dahsyat.
Wis tho. Paling simpel. Itu pabrik-pabrik minyak goreng besar yang mereknya multinasional itu sok-sokan bikin minyak goreng murni lah, minyak goreng bisa diminum lah, minyak goreng tiga kali penyaringan lah. Toh ketika sampai di tangan pedagang gorengan, itu minyak goreng juga dipakai berkali-kali sampai warnanya item kayak oli.
Kurang membangkang gimana, coba?
Nah, dengan aneka rekam jejak tersebut, maka sudah bisa dibayangkan, pembangkangan-pembangkangan apa saja yang bisa dilakukan oleh masyarakat Indonesia ketika kondisi ekonomi dan sosial semakin kacau.
Pemerintah harus mulai mewaspadai potensi ini.
BACA JUGA Ketimbang Sinetron Ikatan Cinta, Pak Mahfud MD Seharusnya Menonton Tayangan-Tayangan Televisi Ini dan artikel AGUS MULYADI lainnya.