Tak terasa, sampai pertengahan bulan Ramadan ini, sudah enam kiai yang sudah disowani untuk program Sowan Kiai yang digagas oleh Mojok dan Gusdurian Jogja.
Enam kiai yang sudah kami sowani kok ya ndilalah NU semua. Dari mulai Gus Irwan Masduqi, Gus Ulil Abshar, Gus Karim, Kiai Dian Nafi, Gus Muwafiq, juga Gus Yusuf Chudori.
Tentu rasanya akan sangat mengganjal bagi banyak orang jika Kiai yang kami sowani NU semua (walau memang tradisi sowan kiai sendiri memang lebih lekat dengan kultur NU). Itu pula yang menjadi pertimbangan kami untuk juga sowan ke Kiai Muhammadiyah.
Dan sosok Kiai Muhammadiyah yang kami pilih untuk kami sowani tentu saja adalah the one and only: Ahmad Syafii Maarif atau yang lebih akrab dikenal dengan panggilan Buya Syafii. Legenda besar Muhammadiyah yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum Muhammadiyah dari tahun 1998 sampai tahun 2005.
Kami sungguh tak menyangka, bahwa sowan ke Buya Syafii itu ternyata sangat mudah. Padahal sebelumnya, Dafi (yang bertugas menjadi petugas koresponden) sempat berpikir, kalau sama Kiai NU saja kadang sulit buat ketemu, apalagi sama tokoh dari Muhammadiyah, ormas yang banyak dikenal punya birokrasi yang ketat.
Adalah Mas Alfi Limbak, kawan kami yang membuat urusan korespondensi dengan Buya Syafii menjadi sangat mudah. Seniman lukis yang namanya sangat kondang dalam blantika seni rupa itu ternyata kenal baik dengan Buya dan bersedia untuk membantu kami untuk memintakan waktu untuk kami agar bisa sowan dan wawancara dengan Buya Syafii.
Maka, ketika Mas Alfi memberitahu kami Bahwa Buya bisa dan bersedia untuk disowani, kami langsung bergerak cepat.
“Kalau mau sowan, bisa habis tarawih nanti, langsung ke Masjid Nogotirto saja,” kata Mas Alfi mengabari kami. Masjid Nogotirto merupakan masjid di lingkungan tempat tinggal Buya Syafii. Di masjid inilah Buya biasanya menemui orang-orang yang ingin sowan padanya.
Mendapatkan lampu hijau, kami pun segera mempersiapkan diri. Kami rombongan Mojok dan Gusdurian langsung berangkat sehabis maghrib.
Sampai masjid Nogotirto, salat tarawih masih berlangsung. Dari mobil, kami bisa melihat jelas posisi Buya Syafii yang salat di beranda luar bersebelahan dengan Mas Alfi.
Mobil kemudian kami parkirkan di depan gedung balai RW yang lokasinya bersebelahan persis dengan masjid.
Lima belas menit kemudian, salat tarawih selesai. Mas Alfi yang sudah kami hubungi kemudian mendatangi kami di area parkiran.
“Ayo, sudah ditunggu sama Buya,” ujarnya.
Kami kemudian diajak ke beranda masjid sebelah kiri. Di sana, Buya tampak duduk santai sambil ngobrol dengan seseorang yang kami duga adalah kawan lamanya.
“Buya, ini anak-anak Mojok dan Gusdurian,” kata Mas Alfi memperkenalkan kami.
Kami kemudian salim satu per satu. Wajah Buya tampak sumringah. Rautnya begitu ramah.
“Ini tadi ikut tarawih di sini?” tanya Buya pada kami.
Kami tentu saja jadi kikuk, sebab kami memang tidak ikut tarawih. Jangankan salah tarawih, salah isya saja belum.
“Oh, ini anak-anak kelompok 23 rakaat, Buya,” terang Mas Alfi berusaha memecah kekikukan suasana.
Buya terkekeh. “Hayaaa nggak apa-apa. Sama-sama sah ini kok.”
Setelah kawan Buya pamit, kami kemudian menjelaskan maksud kedatangan kami. Beliau tampak mendengarkan kami dengan penuh perhatian.
“Jadi begini, Buya, kami ini sedang mengadakan program sowan kiai,” Dafi membuka omongan.
“Wah, ini program sowan kiai tho? padahal saya bukan kiai,” ujar Buya sambil tertawa.
Kami ikut tertawa, tentu sembari ingat dengan guyonan lawas bahwa Muhammadiyah memang nggak pernah punya kiai, mereka punyanya profesor.
“Jadi gini, Buya, anak-anak Mojok sama Gusdurian ini nanti bikin semacam video dengan wawancarai, Buya,” kata Mas Alfi.
“Boleh, boleh…” jawab Buya. “Mau di mana wawancaranya?”
Beberapa pilihan tempat kemudian coba kami pilih, dari rumah Buya, beranda masjid, sampai balai RW. Namun pada akhirnya, lokasi yang kami pilih untuk wawancara adalah sebuah gardu poskamling di depan balai, tak jauh dari tempat kami parkir. Buya sendiri yang menyarankan tempat tersebut.
Ali, videografer Mojok yang kondang kaloka itu kemudian langsung merangsek ke arena untuk mengeset tempat.
“Mari…” kata Buya menuntun kami ke arah gardu.
Buya Syafii ini benar-benar sosok yang bikin rikuh. Lha gimana, selain rendah hati, beliau juga ramahnya kebangetan.
Buya bahkan tak sungkan untuk ikut membantu kami mempersiapkan set untuk syuting. Saat kami menawari untuk memindahkan sapu dan beberapa perkakas yang tampak tergeletak di dekat area gardu yang akan kami gunakan sebagai tempat syuting, beliau menolak dan memaksa untuk memindahkannya sendiri.
“Nah, di sini saja, enak,” ujar Buya.
Kami lantas mulai mempersiapkan diri. Yang nanti bakal inframe adalah Dafi dan Fairuz.
“Kita mulai, ya, Buya…”
“Ya…”
Sesi wawancara pun berlangsung. Saya, Ali, Fatin, juga Mas Alfi memantau di belakang kamera.
“Begini, Buya. Buya Syafii ini kan usianya sudah cukup sepuh,” kata Fairuz.
“Lapan puluh empat,” sahut Buya.
“Iya, dan tampaknya Buya masih aktif mengisi forum, kajian, seminar, dan diskusi di mana-mana. Nah, yang ingin kami tanyakan adalah, pernahkah Buya punya pikiran untuk istirahat dan meluangkan waktu dengan keluarga?”
“Kalau saya ini ya membiarkan itu berjalan bersamaan, semua dijalankan,” jawab Buya sambil terkekeh.
“Nah, apa rahasianya biar bisa tetap aktif, Buya?” Tanya Dafi.
“Nggak ada rahasianya,” buya terkekeh.
“Kalau ini, Buya, menurut Buya, kira-kira, siapa sih tokoh-tokoh muda yang bisa mewarisi pemikiran-pemikiran Buya, atau istilahnya, The next Buya Syafii Maarif, gitu?”
“Banyak. Dari semua kalangan, baik Muhammadiyah, atau NU. Juga kalangan Hindu, Buddha, itu banyak. Bahkan di kalangan pengusaha,” terangnya, “Lagian saya ini kan sebenarnya tidak dalam-dalam amat, biasa saja.
“Kalau menyebut beberapa nama tokoh, gimana, Buya?” tanya Fairuz.
“Ya, ada Zuhairi Misrawi, ada Ahmad Najib Burhani… Banyak.”
Wawancara berjalan dengan santai. Buya yang mengenakan kemeja batik dengan peci hitam tampak sangat NU.
Fairuz kemudian bertanya tentang masa muda Buya. Tentang julukan tiga pendekar dari Chicago yang dulu disematkan Gus Dur kepada Buya Syafii, Nurcholis Madjid, dan Amien Rais.
Buya kemudian menceritakan secara singkat kisah mereka bertiga kuliah di negeri Paman Sam.
“Yang lebih senior itu Amien Rais. Dia ngambil ilmu politik. Nurcholis juga ngambil ilmu politik, tapi rupanya nggak betah di sana, kemudian pindah ke kajian Islam. Nurcholis datang dengan S1, saya datang dengan S2, saya lebih cepat selesai karena S2,” terangnya. “Saya selesai 82 akhir, Nurcholis selesai 84 kalau nggak salah, kalau Amien lebih duluan karena dia juga datang lebih duluan.”
Dari Chicago, kami kemudian lanjut ke sosial media.
Dalam obrolan ini, Buya menceritakan tentang pengalamannya dibully di sosial media karena pemikiran-pemikirannya yang dianggap vokal tentang keberagaman.
“Saya memang dibully banyak sekali,” terang Buya, “Ujaran kebencian pada saya luar biasa, ada yang mengharapkan saya mati cepat, ada yang bilang sudah bau tanah. Apalagi saat isu Ahok. Saya dianggap pro-Ahok, padahal saya nggak pro-Ahok, saya hanya mengatakan Ahok itu tidak menghina Quran dan tidak menghina ulama, bukan membela Ahok. Jadi harusnya dibaca baik-baik, jangan dengar MUI” lanjutnya sambil tertawa.
Kami ikut tertawa mendengar jawaban Buya.
“Waktu itu kan ketua MUI-nya Pak Ma’ruf Amin, yang sekarang jadi calon wakil presiden.”
“Tapi sekarang hubungannya masih tetap baik dengan Yai Ma’ruf?” tanya Fairuz.
“O baik, kampanye kemarin dia mampir ke rumah. Saya nasihati. Ini murni karena umur. Dia kan kiai, sedangkan saya bukan kiai. Tapi umur saya lebih tua. Dia kan 76, saya sudah 84. Jadi kalau dia minta nasihat ya wajar.”
“Itu kalau Ma’ruf Amin, kalau dengan Pak Amien Rais gimana?” Tanya Dafi.
“Oke lah, saya dan dia kan bergaul puluhan tahun. Dia ketua PP Muhammadiyah, saya wakilnya. Tahun 85 itu kita sama-sama menjadi pengurus, tapi sejak 2004, dia kan nggak berhasil jadi presiden, sejak itu hubungan agak nggak begitu hangat lagi. Secara pribadi masih oke.”
Tema bahasan yang kemudian dibahas, sekaligus menjadi tema yang sebenarnya sudah menjadi perdebatan yang sengit adalah tema tentang perbedaan kultur guyon NU dan Muhammadiyah.
Seperti diketahui, orang-orang Muhammadiyah selama ini dipersepsikan kaku, sedangkan NU dianggap lebih cair dan banyak guyon.
“Itu karena Gus Dur itu. Tapi sama kok sebenarnya. Gus Dur kalau guyon kan dia nggak tertawa, Pak AR (AR Fachruddin, mantan ketua umum Muhammadiyah) juga begitu.”
Buya kemudian menceritakan salah satu guyon yang pernah dibuat Pak AR.
“Pak AR itu kan perokok, ‘Pak AR’ saya katakan, ‘Bapak ini kok banyak merokok’, ‘Ooo, tidak’ katanya. ‘Saya kalau merokok satu-satu, tidak banyak, masak masuk mulut langsung banyak,’ katanya.”
Kami tentu saja tertawa terbahak. Sungguh guyonan yang kami tak menyangka bakal keluar dari mulut seorang tokoh Muhammadiyah.
Sebelum wawancara berakhir, Buya bercerita singkat tentang peran dan pengaruh Gus Dur selama menjabar sebagai presiden.
Menurut Buya, Gus Dur memang tidak terlalu cocok di politik, melainkan harusnya di bidang kemanusiaan.
Setelah wawancara selesai, kami memberikan semacam parcel berisi berbagai makanan kemasan untuk Buya. Hasilnya sudah bisa ditebak, Buya menolak.
“Sudah, dimakan kalian saja, kalau di tempat saya nanti nggak ada yang makan.”
Parcel tersebut kemudian kami buka di rumah Mas Alim, kawan kami yang rumahnya dekat dengan rumah Buya.
Saya semangat sekali membuka parcel tersebut. Maklum, itu parcel yang istimewa. Sebab, parcel itu adalah hadiah dari Buya.
“Jangan main-main, walau parcel ini kita sendiri yang beli, tapi ini statusnya adalah hadiah dari Buya.”
Panjang umur, Buya. Semoga senantiasa sehat dan terus menjadi panutan bagi banyak orang, baik yang Muhammadiyah, yang NU, maupun yang bukan keduanya.