Pertanyaan
Untuk Mojokku sayang,
Kali ini izinkan saya seorang wanita dengan hati yang sudah lemah layaknya hati para lelaki yang melihat senyum Mbak Dian Sastro, tapi tentu jika dibanding Mbak Dian saya hanyalah bagian dari ketombenya saja.
Beberapa bulan belakangan ini hati saya sedang sedih, gundah gulana dan tak jarang merana, hal tersebut dikarenakan mas pacar saya ternyata lebih mencintai tim sepakbola ketimbang saya, pacarnya. Saya yang setiap kali dia datang ke rumah selalu saya buatkan nasi goreng dan es teh manis ini kerap tidak dianggap.
Jika diberikan saran untuk coba suka dengan sepakbola agar membuat dia sayang lagi dengan saya, mungkin saran tersebut sangatlah basi bagi saya, tentu saja basi, wong saya sudah mencoba untuk suka dengan tim sepakbola yang ada di Jogja ini, namun hasilnya saya malah jatuh cinta dengan tim sepakbola yang lain, dan hal ini semakin membuat dia tidak lagi sayang pada saya, hancur lah hati ini.
Bayangkan, setiap hari Sabtu saya tidak pernah diajak keluar untuk sekedar jalan-jalan di Malioboro atau nongkrong di lapangan Alkid sambil nontonin pasangan lain ndusel-nduselan bahagia karena dia selalu nonton pertandingan sepakbola dan pulang dengan lusuh, kusam, dan berantakan.
Sekalinya kencan, yang diobrolin sepakbola, PSSI yang jadi sarang mafia, beli jersey dan cerita tentang rivalitas tim sepakbolanya.
Belum lagi kalau tim sepakbolanya main ke luar kota Jogjakarta, uang tabungan bisa habis dibuat beli tiket, buat beliin tiket si A, si B dan si C. Uang yang harusnya bisa untuk makan berdua di cafe atau beli nasi goreng kambing akhirnya ludes dan tinggal lah saya yang harus terima diajak makan di angkringan dengan lauk gorengan yang sudah dingin dan alot, sedih? Ya ho oh!
Dan sialnya, hal itu belum seberapa dibandingkan saat dia pamit nonton sepakbola di stadion dan ternyata di dalam stadion ada tawuran, hati rasanya sudah ndlosor dan kluget-kluget mau mati, tapi dia malah cuma bilang: “Luka ya gak apa-apa namanya juga suporter”.
Gak apa-apa matamu maaazzz
Saya pengennya dia itu bisa membagi cintanya sama rata antara saya dan tim sepakbolanya. Sudah itu saja. Lha menurut Mb Prim dan Mz Agus, saya sebagai seorang wanita yang gemar masakin dia, gemar menyayangi dan selalu tak lupa ngisi kaleng jimpitan apa yang harus saya lakukan?
Salam hangat saya, Trivena di sudut kota Jogja.
Jawab
Dear Trivena yang tabahnya luar biasa…
Saya paham situasi yang sedang sampeyan alami. Situasi yang sangat rumit lagi pelik. Kabar buruknya, hal yang sampeyan alami ini sebenarnya adalah hal yang biasa. Banyak wanita di luaran sana yang juga mengalami apa yang sampeyan rasakan. Sehingga, untuk yang satu ini, saya merasa tak perlu untuk prihatin. Cukuplah “prihatin” menjadi monopoli Pak Beye dan Mas Agus.
Begini, Trivena. Seorang lelaki lumrahnya memang punya sesuatu yang mampu memancing jiwa militansinya. Bisa hobi, koleksi, aktivitas, atau apapun itu. Dan ndilalah, pancingan militansi yang dipunyai oleh kekasih sampeyan (untuk lebih mudahnya, saya sebut saja: Mas Liyud) adalah sepak bola —sampeyan sebenarnya cukup beruntung, sebab di luar sana, banyak lelaki yang pancingan militansinya adalah mencari undur-undur, mengoleksi bendera partai, atau menyanyi jinggle-nya Susu Murni Nasional.
Apakah salah mencintai sepakbola? tentu saja tidak. Cinta sepakbola silakan, yang penting jangan Mo limo.
Di kampung saya, di Magelang, banyak kawan saya yang suka setengah mati sama sepakbola —tim sepakbola yang didukung adalah PPSM Magelang—, namanya juga sudah suka, militansinya tinggi, jadi ya pas tim kesayangannya tanding, hampir semua hal dikesampingkan, tak terkecuali, pacar. Bahkan sampai ada kelakar di kalangan mereka: “99% PPSM, 1% bojoku”. Militansi mereka saya kira tak jauh berbeda dengan Mas Liyud.
Bayangkan, kerja seminggu penuh, dan gaji akhir pekan nantinya habis hanya untuk beli tiket dan akomodasi buat nonton tim kesayangan bertanding di luar kota.
Bagi sampeyan, hal itu mungkin hal yang goblok dan sia-sia, namun bagi mereka, itu adalah kebanggaan, kebahagiaan, pengabdian, dan sederet ungkapan patriotik lainnya. Dan sampeyan harus menghormatinya.
Begitu pula dengan yang terjadi dengan sampeyan dan mas Liyud. Bagaimanapun juga, menonton tim kesayangan adalah salah satu sumber kebahagiaan bagi mas Liyud. So, sampeyan harus menghargainya, menghormatinya. Biarkan ia menikmati kebahagiannya. Bukankah titik puncak cinta adalah saat melihat sang terkasih bahagia?
Nah, sebagai kekasih, sampeyan hanya butuh penyesuaian.
Sampeyan tidak perlu memaksakan diri untuk menyukai tim sepakbola yang diidolai mas Liyud, yang perlu sampeyan lakukan hanyalah mencoba mengerti lebih dalam tentang militansi.
Saya selalu percaya, bahwa kekasih yang baik bukanlah ia yang mampu mengalihkan dunia pasangannya, melainkan ia yang mampu mengerti dan memahami dunia pasangannya.
Saya contohkan begini, dalam satu minggu, tim kesayangan mas Liyud bertanding satu kali, hari sabtu, misalnya. Maka cobalah untuk membebaskan mas Liyud menikmati sabtunya dengan tim kesayangan. Jangan ganggu dia.
Barulah di enam hari lainnya, sampeyan bisa mencoba untuk meminta mas Liyud menyisihkan waktu untuk quality time berdua. Pacaran kan nggak harus hari sabtu tho? Ingat mbak, Bioskop itu buka setiap hari, nggak cuma hari sabtu thok.
Tentu ada banyak penyesuaian-penyesuaian lain yang mungkin bisa sampeyan lakukan, sampeyan pasti lebih mengerti.
Nah, jika sampeyan sudah berusaha mengerti namun mas Liyud masih tetap saja lebih mementingkan sepakbola, cobalah untuk mulai rajin menyindirnya. Tak usah terlalu sarkas, yang penting ngena.
Misal, suatu saat, mas Liyud datang ke rumah. Karena sudah biasa dibuatkan makanan, maka kemungkinan, mas Liyud bakal tanya begini, “Dek, masak apa?”
Nah, saat itulah sampeyan bisa mulai melancarkan sindiran. Jawab saja begini: “Mas, maaf, tukang sayurnya hari ini libur, jadi hari ini, aku cuma masak sop jaring gawang sama oseng-oseng suket Mandala Krida? Semoga doyan ya, mas,”
Sekali lagi, tentu banyak sindiran-sindiran lain yang mungkin bisa sampeyan berikan, sampeyan pasti lebih mengerti.
Jika sudah diberi pengertian, sampai sindiran, dan mas Liyud masih saja lebih mementingkan sepakbola. Maka langkah terakhir yang mungkin harus sampeyan lakukan adalah satu: Pegat saja.
Ini serius. Dalam sebuah hubungan, ketegasan akan selalu diperlukan. Sampeyan harus tahu, dimana batas keseriusan seorang lelaki dalam menjalin hubungan dengan sampeyan. Ketika kekasih sampeyan terus dan terus saja menomorsekiankan sampeyan, maka sampeyan tak perlu lagi untuk menomorsatukan dia. Dan pegat alias putus adalah opsi yang cukup masuk akal.
Menyakitkan memang, tapi memang begitulah perasaan.
Mengutip salah satu nasihat dari guru saya: “Kalau kau berani jatuh cinta, kau juga harus berani cintamu jatuh.”
Disclaimer: #CurhatMojok menerima kiriman curhat asmara pembaca yang akan dijawab oleh dua redaktur Mojok, Agus Mulyadi dan Cik Prim. Tayang tiap malam Minggu pukul 19.00, setiap curhat yang dimuat akan mendapat bingkisan menarik. Kirimkan curhatmu ke [email protected] dengan subject “Curhat Mojok”.