Sebagai keluarga baru, Rambat dan Prawesti begitu merindukan kehadiran seorang anak di dalam rumah tangga mereka. Maklum, sejak menikah beberapa tahun yang lalu, keduanya memang sudah berkomitmen untuk tidak menunda-nunda punya momongan. Setiap kali melihat pasangan suami istri berjalan bersama anak mereka, Rambat ataupun Prawesti selalu berdoa agar Tuhan berkenan juga menitipkan anak kepada mereka.
Gusti Allah maha kuasa. Alhamdulillah, Tuhan mengabulkan doa mereka. Mereka berdua akhirnya dikaruniai anak di usia pernikahan yang kelima. Anak itu laki-laki dan diberi nama Panca, sesuai usia pernikahan bapak ibunya ketika ia lahir.
Seiring bertambahnya waktu, Panca tumbuh menjadi anak lelaki yang menyenangkan. Tak hanya lucu dan periang, ia juga penurut dan tidak cengeng. Selain itu, tubuhnya sehat, montok, jauh berbeda dengan bapaknya yang kurus, yang seakan bisa tumbang hanya oleh angin yang bahkan tak cukup kuat menggoyang batang padi.
Rambat dan Prawesti tentu saja bahagia dengan kehadiran Panca. Mereka sangat menyayangi anak lelakinya ini.
Semua tampak akan berjalan normal hingga akhirnya Prawesti menyadari satu hal yang janggal pada Panca, anak lelaki kesayangannya.
Usut punya usut, Prawesti ternyata sadar bahwa ukuran penis anaknya yang sudah berusia empat tahun itu terlalu kecil. Sangat-sangat kecil. Ia menyadarinya ketika secara tak sengaja melihat beberapa anak sepantaran usia Panca kencing bersama-sama di parit tak jauh dari rumah Prawesti.
“Yah, namanya juga anak-anak, wajar kalau tititnya kecil.” Kata Rambat cuek.
“Iya, aku tadinya juga berpikiran begitu, Mas. Tapi kalau lihat ukuran titit anak-anak tetangga yang usianya sepantaran sama Panca, kelihatan sekali kalau ukurannya Panca itu terlalu mini.”
“Wis, kita lihat besok kalau sudah mulai masuk SD saja, pasti nanti besar sendiri,” kata Rambat seakan tak peduli dengan masalah ukuran penis anaknya.
Merasa tak mendapatkan penyelesaian yang memuaskan dari suaminya, Prawesti memutuskan untuk mengonsultasikan masalah tersebut kepada Dokter Widagdo, salah satu dokter spesialis anak yang kebetulan membuka praktik tak jauh dari tempat Prawesti bekerja. Tak lupa ia membawa serta Panca, si calon pasien,
“Dokter Widagdo, Saya tahu mungkin ini lucu bagi dokter, tapi bagi saya tidak,” ujar Prawesti mengawali pembicarannya dengan dokter. Si dokter tampak tenang. Seolah sudah terbiasa dengan pembukaan percakapan seperti itu.
“Jika bagi pasien tidak lucu, bagi saya itu jauh lebih tidak lucu lagi, Mbak,” balas sang dokter. “Jadi apa keluhan Anda?”
“Begini, Dok … ehm ….” Prawesti kelihatan ragu untuk melanjutkan konsultasinya.
“Tak usah khawatir, katakan saja.”
“Begini, Panca, anak saya ini, sekarang usianya empat tahun, dan … maaf, ukuran tititnya itu lo, Dok, kecil sekali.”
“Lho, lalu di mana masalahnya? Namanya juga anak kecil, pastilah kecil. Kalau umur empat tahun ukurannya sudah besar, malah Anda nanti yang repot.”
“Bukan begitu, Dok. Saya tadinya juga menganggapnya normal-normal saja. Namun, begitu saya bandingkan dengan titit anak-anak tetangga saya yang usianya sepantaran, Saya merasa ukuran titit anak saya ini terlalu kecil, terlalu tidak wajar.”
“Baiklah kalau begitu, boleh saya lihat? Biar saya bisa tahu, seberapa kecil tititnya anak Ibu.”
Prawesti kemudian menyuruh Panca berdiri, lalu memelorotkan celana kolor bergambar Captain America kesayangannya.
“Ya Tuhan …!!!” Dokter Widagdo terkesiap seakan tak percaya dengan ukuran kemaluan anak di depannya itu. Rupanya memang benar-benar kecil. Dokter Widagdo bahkan sampai sempat mengira Panca adalah anak perempuan saking tidak terlihatnya penis si Panca.
“Wah, kalau ini memang di luar normal, Bu.”
“Apa saya bilang.”
“Untuk kasus yang satu ini, saya tidak berani mengambil tindakan yang lebih lanjut sebelum ada pemeriksaan yang lebih jauh. Walau begitu, saya menyarankan Ibu untuk selama seminggu penuh ini memberikan telur ayam kampung rebus kepada, ehm … siapa nama anak Ibu ini?”
“Panca.”
“Ya, Panca. Beri dia telur ayam kampung rebus sehari dua butir, nggak harus dimakan sama nasi, cukup telur rebusnya saja.”
“Itu bergantian, Dok? Pagi, sekali. Sore, sekali. Atau bagaimana?”
“Langsung berikan dua butir di pagi hari, sedangkan siang atau sore harinya bisa makan sayur atau makanan lainnya seperti biasa.”
“Apakah itu akan menormalkan ukuran titit anak saya, Dok?”
“Saya tidak bisa memastikan itu, sebab masih belum jelas apa penyebab kecilnya penis anak Ibu. Tapi, jika kondisinya normal, setelah makan telur rebus secara rutin, penisnya akan membesar dengan maksimal, sebab telur rebus mengandung protein yang merangsang pertumbuhan otot dan syaraf di sekitar penis.”
“Wah, terima kasih, Dok,” ujar Prawesti semringah Ia pun pamit pulang.
Sesampainya di rumah, Prawesti langsung menceritakan hasil konsultasinya dengan Dokter Widagdo kepada Rambat.
“Rahasianya telur rebus, Mas. Telur rebus,” kata Prawesti kepada suaminya tercinta. “Dua butir setiap pagi,” lanjutnya.
Rambat semringah mendengar penjelasan Prawesti, sebab walau terkesan cuek perihal ukuran penis anak lelakinya itu, di dalam hati kecilnya yang terdalam Rambat sebetulnya menyimpan kekhawatiran juga, bahkan pernah tebersit pikiran bagaimana seandainya ukuran penis Panca tidak mengalami pertumbuhan bahkan setelah dewasa.
Esok harinya, sesuai dengan instruksi Dokter, Prawesti menyajikan telur ayam kampung rebus sebagai menu sarapan.
“Panca, hari ini nggak usah makan roti sama nasi ya, makan telur saja, biar sehat,” kata Prawesti sembari membawa piring berisi beberapa butir telur ayam kampung rebus.
“Lho, kok enam butir? Bukannya kata dokter cuma dua butir setiap pagi?” kata Rambat penasaran karena istrinya membawa enam butir telur rebus di atas piringnya.
“Iya, enam.”
“La, yang empat buat siapa?”
“Kok masih nanya. La ya buat kamu to, Mas.”
Rambat tergeragap. “Memangnya punyaku ini kecil? Perasaan normal-normal saja kok.”
“Iya, tadinya aku juga bepikir begitu, Mas. Tapi ….”
“Tapi apa?”
“Kemarin aku nggak sengaja melihat para pekerja bangunan yang nggarap rumahnya Pak Yanto itu kencing bareng-bareng di kebonan dekat rumah kita.”