MOJOK.CO – Kadang pengalaman biasa seperti kena tilang bisa menggambarkan beda mentalitas antara polisi Australia dengan polisi Indonesia.
Ini kejadian lama, yang saya alami saat sedang studi pascasarjana di Adelaide, South Australia.
Usai menghadiri resepsi menyambut hari kemerdekaan RI di pusat kota, lewat tengah malam tanggal 16 Agustus saya bersama istri yang sedang hamil tua pulang ke rumah di St. Marys, mengendarai Mitsubishi Sigma yang sudah berumur 6 tahunan.
Ke arah rumah, kami mampir sebentar mengantar seorang teman ke rumahnya di sekitaran South Road, lalu lanjut pulang.
Baru saja berjalan beberapa ratus meter dari rumah teman ini, tiba-tiba terdengar suara sirine mobil polisi di belakang. Mobil patroli itu memberi isyarat agar saya menepi. Saya segera memelankan monil, lalu berhenti di pinggir jalan.
Seorang petugas polisi berjalan mendekat. Jendela kanan depan saya turunkan.
“Good morning, Sir [Selamat pagi, Pak],” sapanya.
Wah iya, ini sudah morning ya. Sudah hampir jam dua pagi.
“Good morning, Officer. You asked me to pull over? [Selamat pagi, Pak Polisi. Anda meminta saya menepi?]”
“Yes, Sir… [Iya, Pak],” dia menjawab cepat.
“Oh madam, you are expecting? [Oh, Bu, Anda lagi hamil?]” tiba-tiba dia mengalihkan pembicaraan melihat istri saya sedang duduk di kursi kiri depan, dengan perut membelendung.
“Yes I am [Iya, saya lagi hamil],” jawab istri saya.
“It’s due next month [bulan depan lahiran],” saya menambahkan, meski tak ditanya.
“Oh I’m sorry to interrupt your journey. Are you going home from somewhere? [Oh maaf sudah mengganggu perjalanannya. Baru mau pulang ini?],” tanya si polisi ramah.
“Yes, it’s Indonesian independence day, and we had a reception this evening. I mean last night, i mean… [Iya, ini hari kemerdekaan Indonesia, dan kami ada acara malam ini. Maksud saya tadi malam. Eh…].” Saya rada belepotan karena nggak begitu nyadar bahwa ini sudah 17 Agustus pagi.
“Congratulations on your independence day, Sir [Selamat merayakan hari kemerdekaan, Pak].”
“Thank you [terima kasih].”
“However [Akan tetapi],” dia mengajak kembali ke laptop, “it seemed that you forgot to turn the headlamps on [sepertinya Anda lupa menghidupkan lampu depan mobil].”
Subhanallah, iya. Saya baru nyadar bahwa sejak dari kota tadi saya lupa menyalakan lampu. South Road yang terang benderang membuat tak beda antara menyalakan lampu dan tidak.
“So sorry about that [Wah, maaf banget].” Langsung saya nyalakan lampu untuk membuktikan bahwa semua berfungsi, “they work. I just forgot to turn them on. [Hidup semua. Saya cuma lupa menyalakan tadi].”
“That’s fine, Sir. Can I have a look at you driving license, please? [Nggak apa-apa, Pak. Bisa lihat SUM-nya?].”
Saya ambil SIM di dompet dan sodorkan ke polisi itu. Dia lalu memeriksa stiker registrasi dan pajak mobil di kaca depan.
Sama seperti di beberapa negara, di Australia tidak ada STNK. Bukti registrasi dan pembayaran pajak mobil berbentuk stiker yang harus ditempel di kaca depan. Itulah yang dicek oleh polisi itu. Usai memeriksanya, dia mengambil buku tilang.
Masih dengan raut wajah dan intonasi sangat ramah, dia sodorkan selembar surat tilang kepada saya. “Looks like you are in trouble, Sir [Bapak rada kerepotan ini].”
“I’ll take care of it [Beres, nanti saya urus].”
Saya menjawab berlagak cool, sambil melirik angka tilang yang puluhan dolar itu. Tidak terlalu banyak, sebab hanya pelanggaran ringan.
“All the best with the baby, Madam [semoga urusan bayinya semua lancar, Bu ].” Dia masih sempat menyapa lagi istri saya, sebelum mempersilakan kami lanjut jalan.
Polisi itu ramah, tapi hukum di genggaman tangannya tak bisa ditawar. Dia tak mengajak damai. Kami tetap diberi surat tilang sambil diajaknya berbincang santai.
Beberapa bulan sebelumnya, di Jogja saya jalan berboncengan naik motor dengan istri (iyaa… perempuan yang sama dengan yang saya ceritakan di atas) di Jalan Bhayangkara. Kami sedang mencari sebuah toko. Tapi toko itu kelewat sedikit. Motor kami mbablas terlalu ke utara. Jadi saya pun memutar kembali ke selatan.
Masalahnya, saya tak sadar bahwa ruas jalan itu sudah searah, sebab dulu-dulunya dua arah. Jadi menurut aturan baru itu, saya tak boleh memutar ke selatan. Saya baru menyadari itu ketika sudah terlambat. Seorang polisi keburu datang menghampiri kami dengan motornya.
Dia langsung menghalangi motor saya, menjangkau kunci kontak, mematikan mesin dan mau mencabut kuncinya. Tindakannya sangat agresif terhadap aset pribadi orang.
Lalu dengan semangat revolusioner dia bertanya pakai nada tinggi, “Tahu apa kesalahannya?”
“Iya, Pak, ini jalan searah,” jawab saya, “tapi saya tidak tahu tadi.”
“Apanya tidak tahu, orang sudah jelas tandanya. Mana SIM dan STNK?”
Dia masih berbicara dengan nada tinggi, seolah-olah saya baru saja menculik adiknya.
Saya serahkan SIM dan STNK.
“Ikut saya ke pos,” kata si polisi sambil menjalankan motornya.
Saya jalankan motor mengikutnya.
Di pos polisi (kalau tak salah di Jl. KS Tubun), saya menemui dia di sebuah ruangan. Masih dengan wajah dibuat galak, dia menekankan kesalahan yang telah saya buat. Dia menegaskan bahwa karena kesalahan itu saya bisa ditilang dengan nilai tinggi.
Saya manggut-manggut sambil menahan dongkol.
Tapi kemudian dia menawarkan untuk membantu saya menyelesaikan urusan tilang itu. Dia menekankan bahwa proses tilang bisa rumit dan lama. Itu sebabnya, dia bisa membantu dengan biaya total 50 ribu saja.
Saya menolak, dan tetap memilih melanjutkan tilang resmi dengan nilai sebesar 25 ribu. SIM saya ditahan, tapi STNK dikembalikan. SIM baru kembali setelah saya membayar tilang. Benar kata polisi itu, saya rada wira-wiri ngurus pembayaran tilang dan menambil SIM itu.
Tapi yang saya ingat hingga hari ini adalah: betapa galaknya polisi itu, tapi betapa mudahnya dia menawarkan “diskon” terhadap hukum dalam genggaman tangannya. Dia berbeda dari polisi di Australia yang ramah tapi hukum tak dijadikan bahan negosiasi.
Sangat boleh jadi, masih begitulah wajah hukum negeri kita sampai sekarang. Sebuah pengalaman yang beberapa tahun kemudian ternyata masih saja mengkonfirmasi hal itu. Untuk itu, biar lain kali saya ceritakan.
BACA JUGA Menjadi Institusi yang Paling Banyak Dilaporkan, Kepolisian Kerap Abaikan Masukan Komnas HAM dan tulisan Abdul Gaffar Karim lainnya.