Afi Nihaya Faradisa, siswi SMA asal Banyuwangi yang sering menulis soal toleransi dan keberagaman boleh jadi sekarang adalah salah satu siswi SMA paling terpopuler di Indonesia. Siapa yang tak kenal dia sekarang? Tulisannya yang berjudul Warisan, yang membuat banyak orang memuji sekaligus mencaci itu, sukses menjadi “roket” paling ampuh untuk mengerek namanya.
Kemarin, 29 Mei 2017, Afi diundang menjadi pembicara di acara bertajuk Talkshow Kebangsaan yang digelar oleh FISIPOL UGM.
Dan sama seperti tulisannya yang mengundang perdebatan, acara talkshow-nya di UGM ini pun tak kalah mengundang perdebatan. Talkshow-nya dikritik oleh banyak orang, dan sebagian kritikannya sempat mampir juga di temlen sehingga saya bisa ikutan baca.
Katanya, Afi belum pantas mengisi forum di perguruan tinggi apalagi sekelas UGM. Katanya, keilmuan Afi belum matang. Katanya, dunia sudah terbalik karena harusnya mahasiswa-mahasiswa UGM yang justru jadi pembicara di SMA. Katanya, ini bukan Talkshow Kebangsaan, tapi Talkshow Kebangsa(t)an, katanya, katanya, dan masih banyak lagi katanya.
Jujur, saya hampir tidak pernah peduli dengan tulisan-tulisan Afi, sebab saya memang hampir tak pernah membaca tulisan-tulisan Afi. Tapi saat membaca komentar-komentar bernada merendahkan Afi yang berbicara di UGM, hanya karena dia anak SMA (eh, sudah lulus ding), rasanya saya kok ya kesel juga. Soalnya, saya jadi merasa seperti ada ruang-ruang keilmuan yang dibatasi oleh jenjang-jenjang pendidikan. Bahwa yang boleh memberi materi untuk mahasiswa harus yang lebih tinggi dari mahasiswa.
Lha kan bedebah.
Saya beberapa kali menjadi pemateri di UGM, baik secara personal maupun sebagai perwakilan dari Mojok. Dan saya selalu merasa mampu, walaupun saya hanya lulusan SMA. Saya tidak segan menonjok atau bahkan menggigit mereka yang sampai berani bilang kalau saya tidak layak dan tidak pantas bicara di depan mahasiswa hanya karena saya cuma lulusan SMA.
Enak saja. Memangnya yang mahasiswa selalu lebih pintar dan lebih mampu dari yang SMA, apa? Hambok plis…
Wong ya banyak kok mahasiswa yang kalau turun KKN di desa itu blas tidak bisa apa-apa. Jangankan memberdayakan masyarakat, atau membikin program-program pembangunan desa, mereka mentok cuma bisa bikin plang dan papan penunjuk balai desa atau papan 10 program pokok PKK. Itupun kadang masih sering bayar orang.
Eh, btw, Menteri Kelautan dan Perikanan kita itu lulusan SMP lho. Dan kelihatannya belum pernah ikut KKN.