MOJOK.CO – Mohamed Salah akan tampil di Piala Dunia 2018 dengan rasa sakit di bahu. Apakah kebintangan dan performa terbaiknya lesap bersama rasa sakit yang terasa?
Tanggal 8 Oktober 2017, gol penyama kedudukan dari pemain Kongo, Arnold Bouka Moutou, memaksa Mesir yang membutuhkan kemenangan untuk terus menyerang hingga akhir laga.
Menit 90+3, bek Mesir, Ahmad Hegazi, memutuskan untuk membantu kawan-kawannya di lini serang. Memenangkan duel bola udara, ia melambungkan bola ke kotak penalti menggunakan bagian kaki luar. Mahmoud “Trezeguet” Hassan yang berlari dengan maksud menyambut bola dari Hegazi dijatuhkan secara paksa oleh pemain belakang Kongo, Beranger Itoua.
Wasit menunjuk titik putih. Sontak Trezeguet terbangun dan berlari ke arah kanan gawang Kongo merayakan “hadiah” tersebut. Ia yang kemudian dipeluk oleh Tarek Hamed, berada di tengah-tengah sorak-sorai kegembiraan publik Stadion Borg El Arab. Kini beban berpindah kepada Mohamed Salah.
Ia maju sebagai algojo, dipisahkan jarak sekitar 11 meter dengan Barel Mouko, penjaga gawang Kongo. Dibalut Bahasa Arab, komentator di televisi berkali-kali mengucapkan bismillahirrahmanirrahim. Komentator itu menyuarakan ketegangan, sementara Salah berdiri di samping bola bersiap menyelesaikan tugasnya.
Dan sesaat kemudian, bola bersarang di sisi kiri gawang Kongo. Ketegangan pecah menjadi tak terkendali. Mohamed Salah berlari tak tentu arah, tak tahu bagaimana mengungkapkan perasaannya. Ia berakhir di sisi kanan tiang gawang disambut pelukan pemain lain yang juga sedang merasakan puncak kebahagian. Official timnas Mesir bersama beberapa wartawan yang menenteng kamera masuk ke lapangan, melompat-lompat sembari meneteskan air mata kebahagiaan.
Seisi stadion merayakan gol dari titik putih itu. Setelah penantian selama 28 tahun, akhirnya Mesir kembali ke Piala Dunia. Pencapaian yang layak dirayakan. Histeria warga Mesir meluber ke jalan-jalan. Mereka mengagung-agungkan momen kembalinya Mesir ke ajang sepak bola terbesar itu. Dan tak lupa, Mohamed Salah ditahbiska sebagai pahlawan mereka.
Setali tiga uang dengan penampilannya bersama timnas Mesir, Mohamed Salah juga menggila bersama Liverpool. Torehan 44 gol dalam satu musim di semua ajang bersama klub asal pinggiran Sungai Merseyside tersebut membuatnya diganjar gelar pencetak gol terbanyak sekaligus pemain terbaik Liga Primer Inggris musim ini. Di kancah Eropa, bersama kompatriotnya, ia mampu menggapai partai final Liga Champions.
Untuk musim ini, tak ada pemain lain melampaui sensasinya. Pantas saja apabila Salah diramal akan menjadi bintang di Piala Dunia 2018. Usia matang, berperan sebagai ujung tombak, permainannya yang makin efektif, serta sedang berada dalam performa terbaik.
Selebritas Salah tumbuh secara eksponensial merambah lingkup internasional. Ia menjadi media darling, baik lokal Inggris maupun di dunia. Sepatunya diabadikan di British Museum sebagai salah satu koleksi benda legendaris asal Mesir.
Di pusat pemujaannya, pendukung Liverpool berseloroh “If he scores another few, then I’ll be muslim too”. Sebuah chant yang kemudian ditanggapi serius oleh beberapa orang di sebuah negara kepulauan di Asia Tenggara yang berjarak ribuan kilometer dari negeri Ratu Elizabeth.
Tak lupa kehebatannya mengundang banyak orang untuk berbondong-bondong melakukan klaim bahwa Mohamed Salah berasal dari golongan mereka. Sosoknya, bahkan klub yang dibelanya, mulai diasosiasikan dengan agama tertentu. Seolah-olah memagari keindahan permainan Salah dengan sekat antargolongan bertuliskan “milik kami”. Pemujaan terhadapnya menjadi berlebihan, ia diagungkan bagai “dewa”.
Namun, meski gaung pemujaannya begitu keras, Mohamed Salah bukan “dewa”. Kenyataan berbicara. Seorang matador asal Madrid, bernama Sergio Ramos, mematahkan pandangan semua orang di final Liga Champions. Ketika terjadi kontak fisik, kedua petarung terjauh bersamaan. Malang bagi Salah, bahu kirinya membentur tanah terlebih dahulu. Ia meringis kesakitan.
Beberapa menit kemudian, Salah menyerah. Jürgen Klopp menggantinya dengan pemain lain. Air matanya mengucur tak tertahankan ketika ia meninggalkan lapangan. “Cederanya serius, benar-benar serius,” ucap Klopp dalam konferensi pers selepas laga. Waktu yang tersisa kurang dari tiga minggu sebelum Piala Dunia 2018 dimulai dan kondisi Salah mulai diragukan.
Mohamed Salah memang bisa pulih tepat waktu, sebelum Mesir melawan Uruguay. Namun, kesembuhannya terasa dipaksakan. Padahal, sesuatu yang dipaksakan itu tiada berfaedah.
Pemujaan yang salah arah mulai memperlihatkan bobroknya. Banyak dari pemujanya mulai menyalahkan Sergio Ramos. Real Madrid pun tak luput dari hujatan. Mereka tak terima “dewa”-nya disakiti. Bahkan di Indonesia sempat muncul “ Aksi Bela Salah” dengan mendesak UEFA untuk mencabut gelar juara Real Madrid. Sebuah tuntutan yang konyol.
Mereka orang-orang yang lepas dari konteks. Lupa bahwa sepak bola sejatinya adalah permainan fisik. Cedera adalah sebuah risiko bagi para pemainnya. Mereka lupa bahwa Mohamed Salah sebenarnya hanyalah pesepakbola yang sama dengan pemain lainnya. Ia bukan dewa seperti yang diagungkan sebagian pemujanya.
Bahkan Salah sendiri sedari awal sadar ia hanyalah manusia. “Aku juga manusia, aku juga merasakan sakit.” Ia adalah manusia yang bisa dicintai, milik seluruh publik sepak bola. Dan sejatinya, sepak bola itu sendiri tak mempunyai sekat-sekat antargolongan.
Selamat Idulfitri, Mohamed Salah. Mohon maaf apabila Mojok membuat banyak kesalahan kepada antum. Semoga tetap sehat lahir dan batin. Seperti pesepakbola lain, di ajang Piala Dunia, takdirmu tetap di ambang ketidakpastian bergulirnya si kulit bulat.