MOJOK.CO – Mendekati Pilpres 2019, hobi menjilat ini tampaknya sedang gencar-gencarnya. Namun, tak selamanya lidah mampu menjilat tepat sasaran.
Orang Indonesia punya satu ciri khas yang kadang tak diakui: gemar menjilat. Ciri khas ini ada, nyata, bahkan sudah menjadi tradisi, meski tidak semua orang memilikinya. Uniknya, banyak orang yang menjadikan kegemaran ini sebagai mata pencaharian atau sekadar cara untuk mempertahankan jabatan atau pekerjaannya.
Di dalam birokrasi pemerintahan, misalnya, sudah biasa kita lihat menteri menjilat presiden, gubernur menjilat menteri, bupati/wali kota menjilat gubernur, camat menjilat bupati/wali kota, lurah atau kepala desa menjilat camat, Pak RT menjilat lurah/kepala desa, dan seterusnya, dan seterusnya.
Hierarki jilat-menjilat ini masih bisa dipecah lagi menjadi beberapa bagian. Misalnya, dalam satu pemerintahan provinsi, para asisten dan kepala dinas akan menjilat gubernur, kepala bidang menjilat kepala dinas, kepala seksi menjilat kepala bidang, dan seterusnya—sampai ke level pegawai-pegawai kroco.
Tidak hanya di lingkaran politik atau pemerintahan, jilat-menjilat juga sering kita dengar di lingkungan akademik, seperti kampus dan sekolah. Sudah lazim kita temui guru menjilat kepala sekolah, dosen menjilat kepala prodi, kepala prodi menjilat dekan, dan dekan menjilat rektor.
Mendekati Pilpres 2019, hobi yang satu ini tampaknya sedang gencar-gencarnya. Ia hadir di tengah-tengah musim durian, rambutan, dan duku. Banyak lidah orang yang saat ini tengah orgasme, basah, dan licin. Namun, layaknya kemaluan, tak selamanya lidah yang licin itu mampu menjilat tepat sasaran. Sebaliknya, malah banyak yang kebablasan.
Contohnya, lidah punya Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi. Baru-baru ini, beliau meminta masyarakat untuk tidak lewat jalan tol kalau tidak mau memilih pasangan nomor urut 01, Jokowi-Ma’ruf Amin, pada Pilpres 2019 nanti.
“Disampaikan ke saudaranya di luar sana. Kalau tidak mau dukung Jokowi, jangan pakai jalan tol,” kata Hendrar saat hadir dalam acara silaturahmi Jokowi dengan pengusaha Jawa Tengah di Semarang Town Square, Sabtu (2/2/2019).
“Pastikan di keluarga panjenengan pilih 01, Pak Jokowi-Ma’ruf Amin. Yang punya pekerja-pekerja, arahkan untuk pilih 01 Pak Jokowi-Ma’ruf Amin. Kalau punya pacar, pilih 01,” tambah Hendrar.
Contoh lain adalah seorang pembawa acara bernama Djadi Galajapo. Saking semangatnya, sang MC sampai memberi gelar ‘Cak-Jancuk’ kepada Presiden Jokowi. Jancuk yang dimaksud Djadi adalah singkatan dari ‘Jantan, Cakep, Ulet, dan Komitmen’.
Alhasil, atas lidah licin yang tak terkendali itu, dua orang ini habis menjadi bulan-bulanan, dirundung ramai-ramai. Inilah bukti betapa aktivitas penjilatan memang bukan perkara mudah, meski sudah digemari sejak lama. Apalagi jika hendak dilakukan di depan orang ramai.
Karena itu, mereka yang gagal melakukannya dengan baik, perlu belajar dan berlatih lebih keras lagi. Sebagai orang yang punya sedikit pengalaman berhadapan dengan pendekar-pendekar penjilat selama bertugas liputan di lapangan, terutama di Kota Medan, saya ingin membagikan beberapa tips menjilat yang baik dan benar. Tips ini tentu saja tidak saya rumuskan sendirian, melainkan sudah saya diskusikan dengan beberapa teman yang setiap hari juga bersinggungan dengan suhu-suhu penjilat.
1. Hindari Menjilat Sampai Basah
Menjilat sampai basah itu sudah kuno. Dari dulu, sejak dari zaman kerajaan dan zaman kolonial, orang-orang sudah bisa menguasainya. Caranya pun sangat simpel.
Pertama-tama, jangan lupa untuk selalu mengucapkan kata ‘Bapak’ atau ‘Ibu’ sebelum menyebut nama orang yang dijilat, lalu sebutkan kebaikan-kebaikannya. Dan jangan sesekali pakai kata ‘negara’ untuk fasilitas atau bantuan yang pernah diberikan, melainkan tentu saja sebut nama bapak/ibu yang baik tersebut. Ya, kurang lebih seperti yang dilakukan Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi.
Karena itu, sekali lagi, agar tak sampai mengalami nasib seperti Hendrar dalam sikapnya menyambut Pilpres 2019, jangan menjilat sampai basah.
2. Pakai Jurus Jilat Kering
Jurus menjilat secara garis besar terbagi dua: jilat basah dan jilat kering. Nah, karena saat ini situasi sedang panas, di mana-mana banyak kamera dan perekam yang mengintai, jangan sesekali pakai jurus jilat basah. Gunakanlah jurus jilat kering. Tetaplah elegan dalam bicara dan berkomentar. Tak perlu mengumbar puji-pujian, apalagi dengan vulgar membeberkan kebaikan-kebaikan junjungan yang dijilat.
Cukup utarakan kenikmatan-kenikmatan yang dirasakan selama beberapa tahun belakangan. Bila perlu, sebut itu semua dari Tuhan, bukan dari Bapak/Ibu Anu yang baik. Begitu saja cukup. Dengan demikian, niscaya orang tidak akan mengendus jilatan yang Anda lakukan.
Namun, perlu diingat bahwa jurus jilat kering ini tidaklah mudah. Perlu latihan yang tekun dan intens untuk bisa menguasainya.
3. Menjilat dengan Mengkritik
Tidak selamanya dilakukan dengan mengumbar pujian dan sanjungan, menjilat juga bisa dilakukan dengan mengkritik. Namun, tentu saja ini berat dan berisiko. Jika tak menguasai betul jejak-jejak kelemahan orang yang hendak dijilat, bisa-bisa berujung blunder.
Tips ini juga tidak disarankan bagi orang yang tidak punya hubungan dekat dengan orang yang dijilat. Sebaiknya, tips ini hanya dilakukan untuk orang yang memang kenal baik dengan orang yang dijilat. Tentu saja, sebelum penjilatan dengan kritik ini dilakukan di depan umum, perlu dikondisikan terlebih dahulu dengan orang yang hendak dijilat, apakah yang bersangkutan setuju atau tidak.
Dan perlu diingat, ketika menyampaikan jilatan kritis, termasuk perkara Pilpres 2019, kontrol ucapan sebaik mungkin. Jangan sampai terlalu berlebihan dalam bermanuver.
4. Belajar dari Ahlinya
Guru yang paling baik adalah pengalaman. Karena itu, jika ingin berguru pada seseorang, bergurulah pada orang yang punya banyak pengalaman. Carilah sosok-sosok yang ahli dalam perjilatan. Tidak harus bertemu langsung layaknya berguru silat atau karake, Anda bisa cukup dengan menonton video atau membaca rekam sosok-sosok yang layak jadi panutan. Jika Anda rajin mengikuti berita-berita politik, Anda tidak akan kesulitan mencari sosok-sosok yang saya maksud.
Sebetulnya saya mau saja menyuguhkan beberapa nama sebagai rekomendasi, tapi nanti jadi tak enak. Syukur-syukur kalau saya cuma dianggap menjilat—yang ada malah nanti saya dilaporkan. Apalagi sekarang lagi musim lapor.
Di luar tips yang saya bagikan di atas, saya juga ingin menganjurkan agar diadakan Diklat Menjilat bagi pegawai-pegawai secara rutin, agar mereka tidak sampai kebablasan ketika harus menjilat atasan. Diklat Menjilat ini bila perlu terbuka untuk umum, supaya siapa saja bisa ikut belajar, termasuk pegawai swasta, calon politisi, calon menteri, dan calon-calon lainnya.
Dan, hey, calon menantu pun saya kira juga perlu ikut supaya—paling tidak—bisa dapat jatah proyek atau warisan bila kebetulan calon mertua orang tajir!