Penggemar Game of Thrones (GoT) sedang menahan napas. Setelah menunggu selama lima belas bulan, per 16 Juli nanti episode pertama musim 7-nya akan mengudara di HBO. Seminggu lagi!
Kalau Anda belum pernah menonton GoT, tontonlah. Terutama jika Anda menyukai sejarah abad pertengahan. Berhubung hanya tersisa waktu sepekan, Anda bisa mengkhatamkan musim 1-6 dengan metode ODOS (one day one season).
Kecuali musim 7, tiap musim terdiri dari 10 episode yang masing-masingnya berdurasi lebih kurang satu jam. Jadi, sediakan sepuluh jam per hari buat nonton film ini. Ngomong-ngomong, nganggur banget nih, bang?
Kemudian, ada dua peringatan jaga-jaga sebelum memutuskan untuk menonton GoT atau tidak. Pertama, banyak bagian yang menampilkan kekerasan. Brutal, bahkan. Kedua, bagi Anda yang lelaki, terutama yang imannya cenderung turun dan “imin” cenderung naik, jangan nonton sambil tengkurap di lantai tak beralas. Dingin.
Saya pribadi menganggap serial ini punya cerita yang bagus. Ceritanya merepresentasikan imajinasi saya tentang dunia yang disebut “Abad Pertengahan” (khususnya Eropa, tapi saya pikir juga berlaku di mana-mana): aliansi antarklan penguasa, pergundikan, perbudakan, cara penghukuman yang sadis, dan bagaimana wujud sistem sosial politik yang disebut pra-modern itu. Pembuat cerita GoT memang terinspirasi dari perang antarklan penguasa, yakni perang yang disebut Wars of the Roses di Inggris pada abad ke-15.
Yang lebih menarik, cerita GoT tidak hitam putih. Tidak ada pahlawan pembela-kebenaran-pembasmi-kejahatan. Di dunia GoT, tokoh moralis-idealis cepat mati. Eddard “Ned” Stark adalah contohnya.
Dunia GoT adalah dunia Hobbesian dan Machiavellian. Hobbesian: watak dasar manusia adalah jahat. Machiavellian: penguasa yang sukses adalah yang mampu mempertahankan kekuasaannya. Ucapan Cersei Lannister kepada Ned Stark di satu taman di King’s Landing itu merangkum nuansa Machiavellian ini: “When you play the game of thrones, you win or you die. There is no middle ground.”
Orang-orang sering tak suka pada pikiran Hobbes dan Machiavelli itu. Tapi, jangan-jangan justru yang begitulah yang aktual berlaku di dunia politik. Orang bisa punya klaim-klaim tinggi tentang moralitas, tapi yang riil terjadi dalam politik praktis sebenarnya ialah “siapa dapat apa”. Istilah Arab yang diserap ke dalam bahasa Indonesia cukup menangkap esensinya: politik dalam bahasa Arab adalah “siyasah”, yang di Indonesia menjadi “siasat”. Dalam politik yang riil yang Hobbesian-Machiavellian, asumsikan bahwa setiap orang lain pada dasarnya cemburu ingin merebut kedudukan Anda.
Amma ba’du. Saya mau kasih tahu apa saja yang akan terjadi di musim 7. Jika Anda belum menonton musim-musim sebelumnya, jangan teruskan membaca tulisan ini. Nanti hilang unsur kejutannya. Ini serius.
Eh, sudah dibilang jangan terusin, masih saja nerusin.
Eeeh, udah dibilangin jangan.
Oh, jadi tetap mau lanjut baca? Oke, fine. Jangan salahkan saya jika sesuatu yang buruk terjadi kelak.
Jadi begini. Ada satu hal yang bikin penonton kurang sreg pada musim 7 ini, yaitu kontras hitam putih karakter-karakter GoT mulai terasa. Sebelumnya, blur dan chaos total: semua melawan semua.
Kini, setelah satu per satu tokoh kunci dibunuh pembuat ceritanya, tinggal empat front besar tersisa, yang akan menjadi poros aliansi untuk klan-klan lain: (1) Jon Snow alias Jon Targaryen yang sudah dinobatkan sebagai raja di Utara; (2) Daenerys Targaryen yang akan segera tiba di Westeros bersama tiga naganya; (3) keluarga Lannister yang menduduki ibu kota Seven Kingdoms; dan (4) Night’s King beserta pasukan White Walker-nya yang merayap dari utara The Wall. Karena mungkin Daenerys dan Jon akan berkoalisi, maka hanya tersisa tiga front.
Dengan komposisi yang minim ini, kontras protagonis dan antagonis mulai kentara. Orang-orang mulai menunjuk Jon sebagai tokoh protagonis. Apalagi dia sudah bangkit dari mati. Yang sudah bangkit seharusnya tak akan mati. Masak sudah mati dibunuh lagi. Jelas, orang-orang berekspektasi Jon akan keluar sebagai pemenang.
Kecenderungan cerita yang mudah ditebak begini kurang baik untuk GoT. Watak GoT di musim-musim sebelumnya, yang membuat penonton kecewa tapi terus menonton, ialah ia tidak mudah ditebak. Cara biar tak tertebak ialah dengan menjalankan cerita yang melawan ekspektasi penonton. Begitu penonton mulai berharap satu tokoh adalah tokoh “baik”, bunuh dia. Ini yang terjadi pada keluarga Stark: setelah Ned, anak sulungnya, Robb, dibunuh.
Sebagian besar harapan penonton dilawan di GoT, kecuali satu yang signifikan, yaitu terkonfirmasinya teori “R+L=J” (Rhaegar Targaryen + Lyanna Stark = Jon Snow) di akhir musim 6. (Btw yang jadi Lyanna ayu tenan.)
Yang suka googling tentang teori-teori mayor di GoT tapi nggak mau baca novelnya (seperti saya) tentu tahu teori Azor Ahai, semacam ratu adil yang kedatangannya ditunggu-tunggu untuk merestorasi Seven Kingdoms dan telah dinubuatkan dalam kitab para penyembah api dari Essos.
Mulanya, Melisandre si Wanita Merah menafsirkan nubuat itu mengacu kepada Stannis Baratheon, dan terbukti salah. Belakangan, indikasi-indikasi yang termaktub dalam nubuat mulai merujuk kepada Jon Snow. Makin yakinlah penonton Jon adalah tokoh protagonis, dan prediksi aliansi Jon-Daenerys akan memungkasi cerita. Jon mewakili “ice” dan Daenerys merepresentasikan “fire”. Ingat tagline GoT: A Song of Ice and Fire. Secara otak atik gathuk, klop sudah semua. Inti cerita sudah tertangkap.
Jalan cerita yang mulai kelihatan hitam putihnya begini membuat GoT tak menarik, karena jadi predictable. Maka, GoT harus dikembalikan pada khitahnya. Tokoh-tokoh yang mulai diduga “baik”, harus “dirusak”.
Sansa Stark, yang semula perempuan lembut nan sopan, akan mencurangi Petyr Baelish, Sengkuni-nya GoT, meski orang yang pernah memacari ibunya (dan kayaknya kini menyukai Sansa) itu telah membantunya dalam perang merebut Winterfell dari klan Bolton. Jadi, Sansa membalas susu dengan tuba (di tangan Littlefinger sebenarnya tak ada yang benar-benar susu; ingat, ia pernah mencurangi bapaknya Sansa). Tapi, omongan Littlefinger tetap tersisa mengiang-mengiang di telinga Sansa: Jon, betapapun, bukan seorang Stark. Jadi, anak kedua Ned itu akan berintrik mengkhianati Jon.
Arya sudah melakukan tirakat menjadi manusia tanpa wajah di Braavos dan bertuhankan Kematian, dengan daftar orang-orang yang mau ia bunuh. Kecuali kepada Jon yang telah menghadiahinya Needle, Arya sepenuhnya mengadopsi mata Hobbesian: orang lain adalah serigala. Brutalitas sudah dan akan dilakukan Arya.
Namun, agar iramanya tetap seimbang, hal-hal yang membahagiakan penonton perlu dikasihkan. Misalnya, Hodor ternyata tidak mati. Penonton nanti akan terpana. Lalu Brandon mampu melakukan warging ke “naga es”, yang beda dari naga api Daenerys. Ingat kata-kata Gagak Bermata Tiga kepada Brandon: “Kamu tak akan bisa berjalan lagi, tapi kamu nanti akan terbang.”
Juga, biar linimasa cerita tampak sophisticated, Brandon Si Pembangun yang menjadi nenek moyang Stark ternyata adalah Brandon yang sama dengan yang lumpuh itu. Brandon bisa memasuki mesin waktu dan bisa melakukan tindakan di dalam waktu lampau, meski tak bisa mengubah takdir. Melalui karakter Bandon, paham fatalisme mendapatkan simbolisasi. Dan, sebagaimana terhadap Hodor (“Hold the door”), ucapan “Burn them all” dari si raja gila Aerys Targaryen ternyata adalah perbuatan Brandon di masa kini. Bingung? Kebingungan inilah yang justru bikin karakternya keren.
Lalu, sebagaimana tradisi tiap musim GoT, harus ada kematian pemeran kunci. Jamie Lannister sang Kingslayer akan menjadi Queenslayer, membunuh pasangan insesnya, Cersei. Jamie jadi raja dan akan melawan Brienne Tarth. Di titik ini akan ada konflik di batin Brienne yang cocok untuk membumbui cerita: antara membunuh yang dicintainya atau loyal pada klan Stark.
Varys juga mati. Kayaknya perannya mulai tak signifikan. Nggak apa-apalah mati. Theon Greyjoy juga mulai tak signifikan, maka mati. Baelish juga mati saja. Yang membunuhnya adalah Sansa, biar tampak karakter lembutnya sudah rusak. Satu naga Daenerys mati. Biar penonton marah sama pembuat cerita, Sandor Clegane atau The Hound yang mulai religius dan kelihatan bertaubat mati saja. Ini untuk melawan ekspektasi penonton bahwa dia akan bertarung dengan saudaranya, Gregor Clegane atau The Mountain.
Yang tetap dijaga sebagai peran paling kunci adalah Jon, Daenerys, dan Tyrion. (Tyrion ternyata seorang Targaryen, dan ini alasan utama mengapa ia sangat dibenci “bapak”-nya, Tywin Lannister, yang sudah dibunuhnya sendiri.) Tiga orang inilah kandidat yang relatif mendekati nubuat tentang Azor Ahai. Kalau salah satu mati, itu menjadi adegan kematian terbesar untuk musim ini.
“Pemeane ndang dientasi, Le!”
Tiba-tiba teriakan simbok membangunkan saya dari lamunan menjadi sutradara GoT. Duh, ternyata saya cuma wong mBantul. Padahal lamunan tadi sedang berada titik klimaks dan dikira dapat dipercaya.