MOJOK.CO – Jogja konon jadi tempat yang ramah di kantong bagi wisatawan domestik. Untuk membuktikannya saya coba berkeliling di pusat kota Jogja hanya dengan hanya mengandalkan uang 50 ribu.
Banyak yang mengasumsikan bahwa Jogja masih menjadi daerah wisata yang menawarkan berbagai hal dengan harga yang murah jika dibandingkan dengan kota lain. Untuk membuktikan apakah Jogja masih dapat dimasukan ke dalam kota dengan taraf hidup yang rendah atau tidak, saya mencoba untuk berjalan-jalan di kota ini dengan menyiapkan selembar uang 50 ribu rupiah.
Tempat yang saya jadikan sebagai titik awal perjalanan adalah Stasiun Tugu Jogja. Pertimbangan saya didasari karena Stasiun Tugu melayani kereta api perjalanan jarak jauh maupun kereta jarak pendek, sehingga bisa diasumsikan Stasiun Tugu adalah titik dimulai para wisatawan domestik berkunjung ke Jogja.
Pagi itu sekitar jam 10, terlihat Jalan Malioboro masih sepi dari pedagang pinggir jalan. Perlu diketahui sebelumnya, Jalan Malioboro hanya selemparan celana saja dari Stasiun Tugu, sangat dekat. Jadi, sudah lumrah jika Stasiun Tugu merupakan tujuan para wisatawan domestik disbanding stasiun lain. Ya jelas, begitu turun sampai kereta, Jalan Malioboro yang melegenda itu sudah di depan mata.
Terik matahari membuat saya sadar bahwa perut ini belum diisi. Jadi, sebelum memulai perjalanan saya menyusuri Jalan Malioboro, saya memutuskan untuk berhenti dan mencari-cari menu apa yang dapat saya santap dengan uang 50 ribu di kantong.
Sialnya, ketika melakukan survey-survey kecil-kecilan, berbagai warung di pinggir jalan yang ada di sepanjang Stasiun Tugu sampai Jalan Malioboro, saya tidak menemukan makanan dengan harga yang pas.
Paket nasi ayam dihargai lebih dari 15 ribu, sempat ada keinginan juga untuk menyantap gudeg, tapi harganya di atas 10 ribu—bahkan ada yang mencapai 20 ribu. Saya mengurungkan niat makan di sana, sebab harga semahal itu belum dihitung termasuk minum. Niat makan enak segera saya alihkan ke “yang penting kenyang”.
Akhirnya saya memilih mampir di salah satu angkringan di Jalan Malioboro. Dengan asumsi mentok-mentok kocek yang harus saya keluarkan tidak lebih dari 8 ribu. Saya memang sengaja tidak bertanya-tanya dulu kepada penjual, untuk memastikan saja, apakah saya kena “pukul harga” atau tidak. Saya ambil dua nasi kucing, satu telur puyuh, ditambah es teh.
Setelah menyimak lingkungan sekitar serta menghabiskan nasi kucing di depan saya, rupanya saya sadar bahwa prediksi saya keliru. Ketika bertanya harga yang harus saya bayar, penjual angkringan menjawab dengan mantab, “Sepuluh ribu, Mas.”
Yah, okelah. Untuk makan sederhana gitu, dua nasi bungkus kecil dan satu lauk plus minum, 10 ribu cukup lumayan.
Saya kemudian sadar, manajemen keuangan kali ini harus lebih diperketat.
Saya lalu melanjutkan perjalanan menyusuri Jalan Malioboro di siang yang cukup terik. Saya pikir perjalanan bakal sedikit teduh, eh ternyata cukup menguras keringat juga. Apalagi dengan keberadaan pohon rindang di pinggir jalan tidak cukup banyak di sepanjang trotoar, membuat saya harus pintar-pintar memilih langkah.
Beruntungnya, toko-toko di sepanjang Jalan Malioboro dapat membantu saya menghadapi teriknya mentari dengan memberikan kesejukan angin yang berasal dari pendigin ruangan (AC) mereka. Jadilah saya berjalan dengan cara mepet-mepet toko-toko itu. Lumayan, bisa meredakan panasnya matahari. Apalagi beberapa toko kaki lima belum buka pada jam-jam segitu, jadi ruas jalan tersebut cukup lengang.
Saya kemudian berhenti di destinasi wisata pertama: Museum Benteng Vredeburg.
Saya hanya cukup membayar 3 ribu perak, saya sudah bisa memiliki akses masuk untuk menikmati koleksi museum tersebut. Dengan harga kurang dari seperempat harga makan nasi angkringan tadi, saya sudah diizinkan untuk menikmati peninggalan sejarah serta menikmati berbagai diorama yang dipajang di empat lokasi.
Selesai mengelilingi Museum Benteng Vredeburg perjalanan saya lanjutkan menuju Masjid Gedhe Kauman. Kebetulan hari itu hari Jumat, jadi saya mencari lokasi untuk jumatan. Cukup dengan jalan kaki selama 9 menit saya sudah sampai di masjid legendaris tersebut.
Suasana masjid itu terasa layaknya masjid-masjid di hari Jumat pada umumnya. Beberapa toko yang berjualan di kiri kanan pagar Masjid Kauman memang ada yang tutup, sengaja karena pedagangnya hendak salat jumat. Namun banyak juga pedagang kaki lima yang masih buka dan tetap berjualan seperti biasa.
Entah kenapa, di sekitar masjid ini suasanya begitu Muhammadiyah. Semakin terasa kental karena ada toko Suara Muhammadiyah yang menjual aneka produk buku-buku dan majalah terbitan Muhammadiyah. Selain itu masjid tersebut juga dekat dengan SD Muhammadiyah Kauman, sehingga masjid yang jadi tujuan saya ini juga banyak didatangi oleh anak-anak SD.
Usai salat Jumat, tujuan saya selanjutnya adalah Kraton Yogyakarta. Untuk masuk ke Kraton memang uang yang saya keluarkan harus lebih banyak dibanding ketika masuk Benteng Vredeburg. Meski ya tidak cukup mahal juga, cuma sebesar 5 ribu perak.
Di sana saya bisa menikmati artefak-artefak ala-ala Kraton yang sebenarnya saya nggak ngerti-ngerti amat juga. Koleksi baju-baju tradisional yang dipasangkan pada boneka manekin, koleksi mobil dinas Sultan Hambekubuwono IX, dan foto-foto Sultan dari satu generasi ke generasi membuat saya cuma melongo heran.
Di tengah melihat-lihat koleksi Kraton yang dipajang saya sempat menguping pembicaraan salah satu pemandu wisata yang sedang menemani turis. “Raja (Sultan) di sini memang beragama Islam, tapi abdi dalemnya memiliki agama yang macam-macam, Hindu, Budha, dan lain-lain.” Oke, mungkin informasi ini penting untuk menunjukan nuansa toleransi di dalam Kraton.
Mengakhiri kunjungan di Kraton Yogyakarta, saya lihat isi dompet untuk mengecek bagaimana keadaan keuangan perjalanan saya kali ini. Rupanya saya baru mengeluarkan uang sebanyak 18 ribu. Dan akan bertambah lagi karena saya kembali merasa lapar. Ya jelas, berjalan dari Stasiun Tugu ke Kraton itu cukup melelahkan, jarak kedua tempat ini juga tidak bisa dibilang dekat.
Sempat ingin makan gudeg, tapi harga di sekitaran Kraton malah jauh lebih mahal daripada di dekat Stasiun Tugu tadi. Maka saya urungkan kembali untuk makan gudeg. Saya lalu lebih memilih lotek dengan harga 10 ribu.
Walaupun saya ingin merasakan sensasi makan makanan khas Jogja, namun rupanya perut lapar tidak peduli dengan sensasi dan nuansa tempat wisata. Jadi daripada saya makan gudeg tapi nggak bisa pulang, maka lebih baik saya pilih lotek.
Usai makan siang, saya mencoba berjalan kembali dengan tujuan tempat wisata selanjutnya: Tamansari.
Karena sedari pagi sudah jalan kaki cukup jauh, saya ingin naik transportasi umum saja yang tersedia di sekitaran Kraton. Untuk merasakan nuansa daerah wisata seperti Jogja secara utuh, saya berniat untuk naik andong. Jadilah saya bertanya mengenai harga yang harus saya bayar untuk berkeliling kawasan Kraton.
Saya tahu, naik andong itu tidak murah, tapi saya tetap terkejut ketika si kusir memberi tahu saya tarifnya yang sampai 100 ribu. Waduh, uang saya tidak cukup. Jalan kaki lagi saja kalau begitu.
Perjalanan sampai ke Tamansari memang tidak terlalu jauh, tapi cukup menguras energi juga. Apalagi saya sudah jalan dari Stasiun Tugu ke Kraton. Masuk ke Tamansari saya kena tarif 5 ribu perak. Berkeliling sebentar lalu kembali pulang ke titik awal saya berangkat. Naik bus? Dengan jalan kaki lagi.
Menyelesaikan hari itu saya berhitung-hitung berapa biaya yang sudah saya keluarkan. Untuk berwisata dan makan di Yogyakarta, saya menghabiskan 33 ribu dengan catatan rela menikmati itu semua dengan berjalan kaki. Cukup melelahkan dan menguras banyak energi.
Seperti sebuah ritual, sewaktu melewati Jalan Malioboro di sore hari dalam perjalan pulang saya memutuskan membeli gantungan kunci bertuliskan “Pernah ke Jogja” seharga 3 ribu perak. Setidaknya dengan gantungan kunci ini saya merasa sahih sebagai orang yang pernah ke Jogja. Uang 50 ribu saya dari pagi pun tersisa 14 ribu. Lumayan, masih bisa saya gunakan untuk naik Prameks kembali ke domisili saya di Solo.
Betul memang, uang 50 ribu saya cukup untuk berwisata di Jogja. Cukup murah memang, meski perjalanan saya harus dibayar dengan energi yang terkuras karena harus berjalan dari Stasiun Tugu, menyusuri Jalan Malioboro, Kraton, sampai Tamansari, lalu balik lagi ke Stasiun Tugu dengan jalan kaki. Meski tidak habis lebih dari 50 ribu, sepertinya saya masih perlu menyisihkan uang untuk pijat kaki sampai kampung halaman.