MOJOK.CO – Aubameyang berada di titik genting. Performa Arsenal di lapangan sangat tidak membantu, pun dengan kerja manajemen yang jauh dari kata elegan.
Kontrak. Hitam di atas putih. Membuat pekerja menjadi sebuah “sub” di bawah mesin bernama manajemen. Hitam di atas putih. Memuat banyak pasal dan aturan, hak dan kewajiban yang mengikat dua pihak. Membuat satu pihak berkuasa atas pihak lain, di mana pihak lain bisa menuntut hak atas pihak yang berkuasa.
Bagaimana jika hak itu tidak dipenuhi, atau setidaknya, terancam tidak bisa dipenuhi? Pihak yang punya kuasa tidak bisa berbuat banyak tentu saja. Untuk satu dan lain hal, itulah yang sedang terjadi di antara Pierre-Emerick Aubameyang dan manajemen Arsenal. Ketika proses negosiasi kontrak baru terhenti karena berbagai masalah yang menyeruak.
Aubameyang kini berstatus kapten pertama setelah Granit Xhaka menjadi pesakitan. Sebagai kapten, dia akan menjadi semacam role model bagi banyak pemain. Terutama mereka yang dekat dengan dirinya atau menganggap pemain asal Gabon itu sebagai mentor. Aksinya pasti akan berpengaruh terhadap skuat.
Manajemen Arsenal tahu betul betapa pentingnya posisi Aubameyang bagi tim. Bukan saja kapten, dia adalah “sang penyelamat” musim ini. Tanpa gol dan performa mantan pemain AC Milan itu, bisa saja The Gunners kini berada di mulut jurang degradasi. Tanpa si Black Panther, Unai Emery sudah menerima surat pemutusan kerja sama.
Performa yang konsisten dan rajin menjadi juru selamat, Aubameyang punya daya tawar di mata para suporter. Bagaimana bisa Gooners mengkritik sang penyelamat ketika tidak bersikap sebagaimana mestinya? Meski itu salah, tetapi mengkritik sang penyelamat melahirkan kegamangan tersendiri. Rasa khawatir lantaran Arsenal bisa ditinggal kekasihnya musim ini.
Gooners, Unai, dan manajemen Arsenal berutang banyak kepada Aubameyang. Kontribusinya tidak main-main. Selama September 2019, dia selalu mencetak gol di setiap laga. Dan, semua gol yang dicetak punya bobot yang luar biasa berat.
Gol penyama kedudukan ketika melawan Tottenham Hotspur. Dua gol melawan Watford. Gol kemenangan lewat tendangan bebas ketika melawan Aston Villa. Gol penyama kedudukan ketika melawan tim calon degradasi musim ini, Manchester United.
Selama Oktober dan November 2019, Aubameyang hanya membuat satu gol. Satu gol penting yang dirusak oleh pergantian pemain Unai Emery. Satu gol melawan Wolves, di mana Arsenal layak kalah malam itu. Ketika dia tidak dalam performa terbaik, Arsenal sudah tidak pernah menang lagi di Liga Inggris selama satu bulan.
Selama 12 laga Liga Inggris, Arsenal baru membuat 116 peluang. Kalah banyak dibandingkan Aston Villa (118), Brighton (119), dan Everton (119). The Gunners tertinggal jauh dari Manchester City yang sudah membuat 199 peluang, Chelsea dengan 157, Liverpool 155, dan Manchester United 132.
Dari sedikitnya peluang yang tercipta, Aubameyang sudah membuat delapan gol. Untuk sementara, pencetak gol terbanyak musim lalu bersama Mo Salah dan Sadio Mane itu duduk di peringkat empat daftar pencetak gol Liga Inggris. Saya harap catatan statistik di atas sudah cukup menggambarkan betapa pentingnya posisi si pemain bagi tim.
Maka, ketika Aubameyang menggunakan media sosial untuk “menyerang”, fans bersikap wajar. Sikap yang berbeda ditunjukkan kepada Granit Xhaka. Memang, perlu diakui, Xhaka sudah bersikap terlalu jauh. Membuang ban kapten, tidak segera keluar ketika diganti, sampai membuang jersey ketika berjalan ke lorong stadion.
Saya setuju dengan pendapat Patrick Vieira kalau fans sudah terlalu “kasar” kepada Xhaka. Vieira juga berkata kalau banyak mantan pemain sudah kejam betul kepada Xhaka. Pendapat yang “wajar” bagi seseorang yang kini menjadi pelatih. Vieira bukan komentator pertandingan yang lebih leluasa mengomentari sikap pemain.
Apakah Aubameyang harusnya mendapatkan perlakuan yang sama? Bagi saya pribadi, dia perlu mendapatkan kritik keras. Sama kerasnya seperti yang diterima Xhaka. Kamu sudah tahu latar belakangnya?
Manajemen Arsenal meminta si pemain untuk tidak terlalu dekat (atau menjalin komunikasi) dengan AFTV dan Troopz, seorang fans Arsenal yang sangat vokal. Dua musim yang lalu, manajemen Arsenal sempat menegur AFTV dengan keras. Manajemen bahkan melarang para pencari ad sense itu untuk tidak menyematkan nama “arsenal” untuk nama kanal mereka di Youtube dan media sosial lainnya.
The Athletic menulis kalau pemain lainnya dan para staf merasa terganggu dengan kebiasaan Aubameyang menyukai unggahan AFTV, terutama yang menyerang Unai dan Xhaka. Si pemain merespons dengan keras.
Lewat akun Instagram pribadinya, Aubameyang menulis: “Saya baru saja sampai di Gabon dan mendengar semua omong kosong ini. Saya akan tetap berbicara dengan siapa saja, kapan saja saya mau, dan jika ada yang tidak suka…kamu tahu sikap saya.”
Aubameyang secara terbuka menyerang rekannya, manajemen, dan jurnalis. Dia memang tidak “menyerang” fans seperti Xhaka. Namun, bagi saya, ini bukan material seorang kapten.
Saya mencoba memahami suasana hati si pemain. Bagaimana rasanya ketika kamu sudah bermain semaksimal mungkin, tetapi tim tetap mengecewakan. Kata “tim” merujuk kepada semua elemen yang melekat kepada Arsenal. Ya pelatih, rekan, dan manajemen. Secara psikologis, pemain seperti Auba akan mengejar kesempurnaan. Ambisi, memang harus dimiliki semua pesepak bola profesional.
Ketika dikecewakan oleh pelatih dan rekan, sangat normal apabila kamu mencari pelarian. Tentu rasanya sangat menyenangkan ketika bertemu “teman” yang satu frekuensi. Seperti Aubameyang dengan Troopz dan AFTV. Pada titik ini, saya mencoba memahaminya. Seperti yang saya jelaskan di awal. Kita akan kesulitan untuk melempar kritik kepadanya.
Namun sekali lagi, yang dilakukan Auba bukan sikap seorang kapten. Seharusnya, dia tidak membawa masalah ini ke media sosial, tetapi menyelesaikannya di dalam “ruang ganti”. Kritik yang sama juga berlaku untuk manajemen. Tidak seharusnya teguran kepada kapten bisa bocor ke media. Bagaimana bisa David Ornstein mendapatkan informasi itu jika manajemen tidak solid?
Saya merasa ada sedikit cacat manajemen. Cara mereka menangani masalah Aubameyang dan internal tidak elegan. Meskipun hanya sedikit, cacat ini sangat terasa karena fans Arsenal sudah terbiasa dengan penanganan masalah internal yang cukup baik dari Arsene Wenger dan manajemen terdahulu.
Manajemen juga tidak seharunya menyebut kritikan fans dengan istilah “noise”. Kita bisa menerjemahkannya menjadi ‘suara sumbang’ atau ‘berisik’. Kita bisa dan tidak salah. Fans bukan lagi penikmat sepak bola semata. Fans sudah melek taktik dan cara bermain. Membela Unai sedemikian rupa bukan langkah yang bijak. Fans tidak buta.
Setelah satu setengah musim, perbaikan apa yang bisa dicapai dari “cara bermain tanpa ide”? Frank Lampard baru menangani Chelsea selama setengah musim tetapi sudah kelihatan ide yang ingin dia bangun. Sebetulnya, fans sadar dengan ekspektasi. Fans tidak menuntut Arsenal langsung juara asal ide dan karakter tim terbangun dengan kokoh terlebih dahulu.
Manajemen menjadi seperti takut dengan fans dan bersembunyi di ketiak Unai. Ketika kelak gagal total, manajemen tinggal berkilah dengan sebuah surat pemecatan yang sangat terlambat.
Aubameyang berada di titik genting. Sangat lumrah ketika dia minta dijual di Januari 2020 karena performa yang tidak membaik. Menunggu itu sangat melelahkan dan sebagai manusia kita tidak berbuat banyak.
Sebetulnya masalah Arsenal bukan masalah pelik. Mereka hanya butuh tegas dan lebih elegan. Bukan hanya menomorsatukan citra. Jika gagal total di lapangan dan banyak pemain penting hengkang, citra seperti apa yang akan dipertahankan?
BACA JUGA Arsenal dan Emery Berutang Banyak Kepada Aubameyang atau tulisan YAMADIPATI SENO lainnya.