MOJOK.CO – Paul Pogba tidak perlu menjadi pahlawan dengan menanggung semuanya jika kekasihnya, Manchester United, ternyata egois, bawel, dan gagal melindungi.
Paul Pogba tidak pernah membenci Manchester United. Dia seperti kekasih yang tengah merajuk kepada pasangannya. Dia memilih pergi ketika keadaan tidak membaik demi menjaga hubungan. Ketika kekasihnya memanggil dan membutuhkan, dia tidak pernah berpikir dua kali untuk kembali ke pelukan United.
Ketika memutuskan untuk pergi, Paul Pogba dianggap arogan, mata duitan, dan tidak sabaran. Khas pemain muda dengan ego tinggi. Padahal, menurut pengakuannya sendiri, hanya menit bermain dan kesempatan yang dikejar. Dua hal itu penting untuk Pogba karena menggambarkan keberhasilannya mendapatkan kepercayaan Sir Alex Ferguson.
Namun, yang dia dapatkan adalah kekecewaan….
Puncak kekesalan itu terjadi pada Desember 2011, Manchester United menjamu Blackburn Rovers. Selama sesi latihan, Sir Alex tidak pernah bosan mengingatkan Pogba bahwa dirinya sudah berkembang sampai sejauh ini. Jangan sampai kerja keras itu terbuang sia-sia. Sikap Sir Alex ini membuat Pogba yakin bahwa dirinya, akhirnya, mendapatkan menit bermain bersama tim utama.
“Paul Scholes sudah pensiun, Darren Fletcher cedera. Tidak ada lagi yang bisa bermain di lapangan tengah. Ketika saya berlatih dan mulai berkembang sedikit demi sedikit, pelatih tak pernah bosan mengingatkan saya bahwa saya sudah berkembang sejauh ini, untuk kemudian malah memainkan Rafael di lapangan tengah. Saya sangat kecewa. Bahkan di pertandingan itu saya tidak diberi kesempatan,” terang Pogba.
Memang, melihat pencapaian dan aura yang memancar, fans Manchester United akan kesulitan mengkritik Sir Alex Ferguson. Terlepas dari “kesempurnaan” sebagai pelatih legendaris, Sir Alex tidak jauh juga dari blunder. Tetap saja, bukan keputusan mudah ketika menyalahkan Sir Alex karena pada akhirnya United (hampir) selalu menjadi juara liga.
Namun, untuk kasus Paul Pogba, aman untuk kita simpulkan bahwa Sir Alex melakukan blunder. Keberanian Pogba untuk menerima tawaran Juventus menjadi bukti kekuatan mental dan kepercayaan dirinya. Untuk kedua kalinya, dia menginjakkan kaki di tempat asing dan menjadi juara pada prosesnya.
Paul Pogba dan pengaman yang dilepas Max Allegri
Manchester United membuat kesalahan ketika melepas salah satu “monster” ini ke Juventus. Namun, di sisi lain, mungkin United tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Pada waktu itu, tidak ada yang tahu secara pasti seberapa besar monster ini bisa berkembang, terlepas dari potensinya sejak membela Le Havre di Prancis.
Jawaban akan keraguan itu langsung terlihat di 15 menit awal sesi latihan perdana bersama Juventus. Hanya butuh 15 menit bagi rekan-rekan barunya kalau Pogba memang punya potensi besar.
Skuat Si Nyonya Tua saat itu diisi pemain-pemain veteran dengan capaian luar biasa. Para juara Piala Dunia. Lini tengah dengan perpaduan imajinasi dan nyali untuk berjuang dan menghidup falsafah lo Spirito Juve. Mendapat pengakuan dari mereka tentu penghargaan tersendiri bagi pemain muda.
Paul Pogba mendapati dirinya harus bisa mendobrak trio Andrea Pirlo, Arturo Vidal, dan Sang Pangeran Claudio Marchisio. Namun, dia tidak gentar. Mentalnya sudah terbentuk secara tuntas ketika memutuskan meninggalkan kekasihnya, Manchester United, untuk sementara waktu.
Ketika Carlos Tevez hengkang, nomor punggung 10 tidak punya tuan. Marchisio dianggap layak mengenakan nomor punggung keramat itu. Namun, dia menolaknya. “Memang benar bahwa pemain bintang mengenakan nomor punggung 10, seorang pemain yang bisa membuat fans bergairah.” Marchisio menolaknya dengan anggun.
Dengan penuh kepercayaan diri, Pogba meminta nomor punggung 10. Pemain yang baru berusia 22 tahun, dengan Pirlo, Vidal, dan Marchisio dianggap lebih layak, berani menuntut. Sikap seperti ini yang kembali disalahartikan. Sikap yang sama, yang membuatnya tidak dipercaya Sir Alex.
Padahal, jika melihatnya dari sudut pandang yang berbeda, sikap Paul Pogba hanya wujud kepercayaan diri. Memang, terkadang, batas antara kepercayaan diri dan arogan bisa setipis kertas. Satu hal yang perlu dicatat adalah Pogba paham konsep kepercayaan. Ketika dia mendapat kepercayaan, dia akan membayarnya sepenuh hati.
Antonio Conte, selama masa kepelatihannya bersama Juventus, membatasi menit bermain Pogba. Dia tidak ingin Pogba, yang masih berusia 20 tahun terlalu terekspos. Dua tahun kemudian, ketika Max Allegri menjadi pelatih, “rantai pengaman” yang mengikat kaki monster itu dilepas.
Paul Pogba membayar kepercayaan Allegri dengan:
Dari 150 pertandingan bersama Juventus, Pogba membuat 40 gol, 15 asis, rata-rata umpan sukses 85 persen, umpan kunci dengan rata-rata 1,5 per pertandingan, takel sukses dengan rata-rata 2,2 per pertandingan, 20 kartu kuning selama empat tahun, rata-rata dua duel udara sukses, 69 ribu meter area jelajah, dan membawa Juve ke final Liga Champions 2013.
Paul Pogba selalu tampil baik ketika dimainkan di banyak posisi. Dia bisa beradaptasi dengan peran box-to-box, gelandang bertahan, gelandang kiri dalam skema gelandang diamond, dan gelandang serang. Semenjak dimainkan lebih ke depan, kemampuan Pogba semakin lengkap.
Sebuah kelebihan yang membuat berat ekspektasi semakin bertambah. Membuatnya merasa harus selalu bisa “memproduksi hasil positif” setiap kali mendapat kepercayaan.
Sebuah sikap yang kini “membunuhnya” ketika sang kekasih, Manchester United, memanggil pulang….
Manchester United yang egois dan gagal melindungi
Kepulangan Pogba ke Manchester United diwarnai pecahnya rekor dunia transfer pemain. Satu lagi pelengkap tak perlu terhadap beban ekspektasi. Melengkapi legenda United yang terlalu bawel dan seperti enggan berpikir.
Carl Gustav Jung, pencetus psikologi analitis pernah bilang bahwa kegiatan berpikir adalah pekerjaan yang sulit dilakukan. Oleh sebab itu, banyak orang yang lebih suka menghakimi. Begitulah para legenda United. Bawel dan enggan melihat masalah Pogba dari sudut yang lebih luas.
Kenapa Pogba bisa mendobrak keberadaan trio Pirlo, Vidal, dan Marchisio di Juventus? Kenapa Pogba menjadi bagian penting dari sistem Max Allegri?
Jawabannya karena dua hal: kepercayaan dan sistem di atas lapangan.
Pesepak bola dan sistem seharusnya tidak boleh dipisahkan. Keduanya saling melengkapi. Lionel Messi bisa begitu dominan bersama Barcelona di era Pep Guardiola karena dibantu sistem. Begitu juga dengan Cristiano Ronaldo berkembang menjadi poacher paling mematikan bersama Real Madrid karena sistem.
Paul Poga bermain di banyak posisi dan mengemban banyak peran bersama Juventus. Sistem membantunya untuk terus konsisten di level tertinggi. Dia tidak “dipisahkan” dari tim. Pogba adalah team player, meskipun secara individu memang sangat brilian.
Apa yang terjadi ketika Pogba dipisahkan dari tim dan dianggap selalu bisa mengubah jalannya pertandingan menjadi menguntungkan untuk Manchester United? Pertama-tama, dia akan terasing. Menjadi lebih rentan terhadap kritik salah sasaran. Kemudian, dia akan kehilangan kepercayaan diri dan inkonsistensi mulai merayap naik.
Sejak era Jose Mourinho hingga Ole Gunnar Solskjaer, citra Paul Pogba bergeser dari salah satu arketipe pemain modern menjadi selebgram ahli bikin tarian selebrasi gol. Pada titik ini, kepercayaan diri yang beda tipis dengan arogansi ikut dipermasalahkan. Maka lengkap sudah, Manchester United tidak pernah bisa melindungi kekasihnya sendiri.
Serangan-serangan dari para legenda tak pernah surut. Mulai dari Roy Keane, Paul Scholes, hingga Gary Neville. Hanya “bermain baik” saja tampaknya tidak pernah cukup di mata para legenda ini. Paul Pogba harus bisa melakukan semuanya secara sempurna.
“Saya dituntut untuk bisa bermain sebagai gelandang bertahan, gelandang serang, hingga striker. Jika saya dituntut untuk menjadi pemain penting di setiap pertandingan, saya akan melakukannya dengan senang hati. Namun, ada kalanya pesepak bola tidak bermain baik,” ungkap Pogba.
Jika Pogba menjadi sasaran kritik bodong, seharusnya nama Ole Gunnar Solskjaer ikut disebut di sana. Hanya karena dirinya adalah salah satu legenda, kesayangan media Inggris, dan tidak banyak tingkah, Ole seperti selalu terhindar dari kritik. Padahal, sistem yang dia bangun memang tidak membantu pemain.
Terutama di lapangan tengah, di mana Pogba jelas membutuhkan sokongan. Ketika Fred hampir selalu konsisten musim lalu, Ole enggan menggunakan susunan tim paling seimbang (Fred, Pogba, Bruno Fernandes) secara ajeg. Kini, ketika Donny van de Beek bergabung, pemain “itu-itu saja” yang dipakai Ole.
Ketika Manchester United gagal, dengan sangat mudah Paul Pogba menjadi sasaran. Ketika United dalam performa terbaik, segala pujian dialamatkan ke pelatih dan beberapa pemain saja.
Menjadi seorang pemimpin memang membuat seseorang menjadi sangat rapuh. Dari luar terlihat kuat dan bahagia. Namun, ketika lampu sorot berpaling, dia akan terduduk di sudut ruangan dan menangis sejadinya.
Sepasang kekasih seharusnya saling melindungi. Sepasang kekasih seharusnya berkorban satu sama lain. Jika hanya satu pihak yang “dikorbankan”, pertalian cinta ini tidak lebih dari sekadar pembantaian karakter.
Paul Pogba tidak perlu menjadi pahlawan dengan menanggung semuanya jika kekasihnya, Manchester United, ternyata egois, bawel, dan gagal melindungi.
BACA JUGA Graeme Souness Harus Menyiapkan Meja yang Besar Ketika Mengkritik Paul Pogba dan tulisan-tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.