Dalam dunia penerbitan, kepemilikan karya termasuk karya terjemahan perlu mendapatkan perlindungan hukum agar tidak terjadi penyalahgunaan atau pelanggaran hak cipta. Salah satu langkah penting adalah dengan mengurus hak cipta (copyright) bagi penerbit yang ingin menerjemahkan karya tulis dari luar negeri.
Namun, muncul pertanyaan penting: apakah benar penerbit di Indonesia sudah mengurus copyright dengan cara yang benar?
Pertanyaan ini menjadi topik menarik dalam salah satu diskusi buku di Festival Mojok 2025, yang menghadirkan Ronny Agustinus dari Marjin Kiri dan Naufil Istikhari dari Cantrik Pustaka. Keduanya membahas isu seputar hak cipta, etika penerbitan, serta kesadaran moral dalam industri buku Indonesia—topik yang jarang dibicarakan tetapi sangat relevan di tengah maraknya penerbitan karya terjemahan.
Mengurus Hak Cipta di Tengah Biaya dan Administrasi
Obrolan dibuka dengan pertanyaan apa yang menjadi motivasi Marjin kiri dan Cantrik untuk mengurus hak cipta pada hal untuk mengurusnya itu dibutuhkan biaya yang sangat mahal?
Rony Agustinus menjelaskan bahwa pengurusan hak cipta ini akan memiliki dampak jangka panjang yang baik, apalagi di era sekarang yang segala sesuatunya makin terhubung dan dan gampang diperiksa. Selain tidak terbelit hukum yang panjang dan jauh lebih mahal lebih baik membangun koneksi yang nyaman.
Sementara itu, Naufil Istikhari dari Cantrik melihat pengurusan hak cipta bukan hanya sebagai kewajiban hukum, tetapi juga sebagai tanggung jawab moral. Ia menegaskan, Kalau kita menolak karya kita dibajak, tapi di sisi lain kita sendiri membajak karya orang lain, itu kontradiksi moral yang besar. Mengurus hak cipta adalah bentuk self-correction bagi penerbit. Menurutnya, etika dalam penerbitan adalah pondasi agar dunia literasi Indonesia tumbuh dengan sehat dan berkelanjutan.
Antara Estetika Bisnis dan Moral
Obrolan kemudian mengalir ke arah yang lebih dalam: bagaimana penerjemahan tidak hanya menjadi soal estetika dan bahasa, tetapi juga tantangan bisnis yang cukup rumit. Proses penerjemahan memerlukan naluri literer, kemampuan negosiasi, serta rekam jejak profesional yang baik agar dapat dipercaya oleh pemegang hak asli.
Dari Ronny Agustinus dan Naufil Istikhari, audiens belajar banyak tentang hak penerjemahan, proses negosiasi, serta dinamika etika yang menyertai penerbitan karya asing di Indonesia. Keduanya sepakat bahwa proses panjang ini, meskipun melelahkan dan mahal, adalah pengalaman berharga yang membawa dampak positif jangka panjang—baik untuk penerbit, penulis, maupun ekosistem literasi secara keseluruhan.
Pada akhirnya, pembicaraan tidak hanya soal lisensi, tapi juga soal integritas. Bahwa dunia penerbitan yang sehat dimulai dari kejujuran terhadap karya orang lain. Mengurus hak cipta mungkin tidak selalu menguntungkan secara instan, tapi membangun sesuatu yang jauh lebih penting.







