Kebanyakan orang saat ini datang ke toko buku bukan karena ingin membeli buku, ada yang sekedar ingin foto-foto, ada pula yang cuma ingin duduk menghabiskan sore atau ikut arus FOMO yang lewat di sosial media.
Apakah ini aneh? Tidak juga. Justru dari situ, sering kali ketertarikan pada buku tumbuh perlahan dan tanpa paksaan.
Ruang yang Tidak Menuntut Apa-Apa
Logikanya sederhana, orang tidak bisa dipaksa mencintai buku. Ketertarikan selaku lahir dari penasaran. Karena itu, membiarkan orang datang ke toko buku hanya untuk melihat dan memotret bukanlah masalah. Kadang dari niat iseng muncul obrolan kecil: tanya buku apa yang sedang dicari. Persis seperti obrolan di warung—pelan, cair dan tanpa tekanan.
Cara semacam ini juga yang membuat toko buku tetap relevan sebagai ruang sosial, bukan sekedar tempat jual beli, tapi juga menjadi halaman yang selalu menemani setiap hari.
Di Mojok Store, misalnya sore hari sering kali dipenuhi keluarga dan para gen Z. Mereka duduk di halaman rumput, menggelar tikar, membaca buku, atau sekedar hanya menemani anak bermain.
Buku tidak selalu dibuka dengan niat serius. Kadang ia hadir sebagai pintu masuk obrolan yang menciptakan relasi dengan baik. Soal FOMO dan foto-foto, tak ada yang perlu dipersoalkan. Tidak semua orang harus datang dengan tujuan intelektual.
Selama tidak membuat onar, toko buku adalah ruang bebas. Ia terbuka bagi siapa pun yang ingin membaca, nongkrong atau sekedar singgah.
Keramaian Toko Buku Bukan Alasan untuk Menjauh
Hal yang sama juga terasa di Warung Sastra. Keramaian bukan sesuatu yang layak ditakuti. Kadang orang justru menunda datang karena melihat suasana ramai. Padahal, masuk saja tidak apa-apa, selalu ada sudut untuk menyendiri.
Di ruang-ruang semacam ini, literasi tidak selalu hadir dalam bentuk sunyi. Ia juga hidup lewat diskusi dan tanya jawab, bahkan lewat kegiatan yang sekilas tampak jauh dari buku.
Karena sejatinya buku di sini tidak berdiri sendiri sebagai pusat, melainkan teman. Ia menemani proses, bukan menggurui. Bahkan orang yang awalnya hanya ikut karena penasaran, akhirnya menemukan makna di tengah kegiatan yang tampak sederhana.
Mungkin itulah yang sering dilupakan. Toko buku buka tempat yang menakutkan. Ia bukan ruang eksklusif untuk orang-orang yang sudah tahu ingin membaca apa, melainkan tempat yang ramah bagi mereka yang datang dengan kebingungan atau sekedar ingin menghabiskan waktu.
Kalaupun tidak membeli buku, tidak ada yang salah. Bisa saja ada hal lain yang bisa dibawa pulang mulai dari ide, kenalan baru atau sekedar rasa tenang. Karena literasi tidak selalu tumbuh dari keheningan. Kadang, ia justru lahir dari keramaian, obrolan, dan sore yang tidak direncanakan.









