Bagai sebagian orang, waktu adalah tanggal gajian. Bagi sebagian yang lain, waktu adalah emas. Tapi bagi orang Jawa waktu adalah puting atau hitungan yang tidak hanya menandai haru tapi juga membaca nasib bahkan umur manusia.
Itulah yang terasa pada episode sebat dulu kali ini. Dari soal pentingnya perubahan soal waktu, kenapa bulan-bulan tertentu sering dihindari, sampai kenapa saat malam anak-anak tidak boleh keluar.
Obrolan ini yang dibawakan pada episode ini sebenarnya sederhana. Bermula dari kepercayaan masyarakat desa soal mitos-mitos zaman dulu. tapi seperti lazimnya obrolan Jawa, ia tak pernah berhenti di permukaan. Pembicaraan pelan-pelan masuk ke wilayah yang lebih dalam mulai dari hubungan manusia, alam, dan waktu.
Waktu Bulan Suro
Dalam banyak pandangan masyarakat, bulan suro sering kali dianggap angker dan banyak larangan. Tapi ternyata, larangan ini tidak sesederhana dan tanpa alasan.
Misalnya jangan membuat hajatan saat bulan suro. Secara historis suro bertepatan dengan muharram-tahun baru Jawa dan Islam. Pada masa ini negara sedang menarik napas bukan berpesta atau juga dikenal dengan bulan tanpa panen. Jika seseorang nekat menggelar hajatan, konsekuensinya jelas adalah hutang
Dalam logika Jawa lama, hajatan tanpa panen adalah jalan menuju kesulitan. Maka lahirlah laku prihatin—menahan diri bukan karena takut bala, tapi karena sadar kondisi.
Parnotomongso kalender dari sawah
Dari Suro, obrolan masuk ke Pranotomongso, sebuah sistem penanggalan musim Jawa. Bukan 12 bulan kalender, melainkan 12 Wongso dengan umur hari yang berbeda-beda.
Ada mongo ketiga yang panas maksimal, tanah kekeringan. Ada rendeng, musim hujan penuh tambahan pangan serta ada mareng dan labuh, masa peralihan yang sering dilupakan orang,
Petani Jawa dulu tahu betul tentang alam dan menjadikan alam sebagai teman untuk dibaca bukan dilawan.
Petung Jawa sebagai Cara Mengerti Hidup
Pada akhirnya, petung bukan soal angka mistik atau hari sial, ia adalah bahasa jawa untuk membaca pola hidup. Kapan menahan diri, kaan bekerja kera dan kapan mundur.
Melihat tahun ini dengan petung terasa masuk akal. Kita berhitung bukan untuk meramal masa depan, tetapi mengevaluasi diri. Apa yang sudah kita tanam, itu yang kita panen.
Karena dalam pandangan Jawa, hidup yang selaras bukan hidup yang paling cepat, tapi hidup yang tahu kapan harus berjalan, kapan harus berhenti dan kapan harus prihatin pada orang lain maupun diri sendiri.









