Episode Putcast kali ini menghadirkan dua narasumber dengan perspektif yang berbeda, namun saling melengkapi: Prof. Masduki, akademisi yang puluhan tahun meneliti media, demokrasi, dan komunikasi politik, serta Rimba, penulis muda yang memahami dinamika budaya digital dan pola pikir generasi baru. Keduanya datang di momen yang tepat. Sebab Putcast membahas isu yang sedang memecah opini publik: wacana pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.
Sekilas, isu ini terlihat sederhana—hanya soal gelar. Namun diskusi ini membongkar lapisan yang jauh lebih rumit. Pertanyaan utamanya adalah:
“Bisakah kita menyebut Soeharto pahlawan, ketika Reformasi 1998 lahir sebagai koreksi atas pelanggaran HAM dan otoritarianisme Orde Baru?”
Prof. Masduki memulai dengan menjelaskan bagaimana Orde Baru mengendalikan media. Berita disensor, opini berbeda dibungkam, dan narasi sejarah dibentuk sepihak. Media menjadi alat kekuasaan. Stabilitas yang terlihat pada masa itu sesungguhnya dibangun melalui represi, rasa takut, dan hilangnya ruang bagi suara oposisi. Ia menegaskan bahwa pola pengendalian informasi seperti itu tidak langsung hilang setelah Reformasi.
Rimba kemudian membawa diskusi ke konteks kekinian. Menurutnya, di era digital, narasi yang sederhana dan emosional lebih mudah diterima publik. Media sosial bergerak terlalu cepat, sementara ruang untuk berpikir kritis semakin sempit. Akibatnya, sebagian generasi muda lebih mudah percaya pada gambaran romantis tentang “stabilitas Orde Baru,” tanpa tahu harga yang harus dibayar generasi sebelumnya: kebebasan yang dirampas, kontrol ketat negara, dan kekerasan politik.
Putcast ini tidak mencoba memberikan jawaban hitam-putih. Justru sebaliknya, diskusi ini mengajak kita melihat sejarah sebagai medan perebutan narasi. Sejarah bukan hanya soal mengingat masa lalu, tetapi juga soal siapa yang berhak menuliskannya dan menentukan mana yang dianggap benar.
Ketika gelar pahlawan diberikan tanpa penyelesaian kasus pelanggaran HAM dan tanpa kejujuran pada sejarah, maka yang dipertaruhkan bukan hanya ingatan kolektif—melainkan arah masa depan bangsa.