Banyak cara untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia yang jatuh di bulan Agustus ini. Kantor-kantor, baik pemerintah maupun swasta, sibuk bersolek. Upacara dipersiapkan dengan matang. Parade baris-berbaris pun dilaksanakan dengan meriah. Begitu juga dengan aktivitas naik gunung.
Selain peringatan birokratis, banyak pula yang memilih prosesi yang lebih hebat—mengibarkan bendera Merah Putih di dasar laut maupun di puncak gunung, misalnya. Dibilang “banyak” karena sejak beberapa tahun terakhir, peringatan hari kemerdekaan dengan cara demikian seolah menjadi hal yang biasa. Terutama dengan bantuan teknologi yang semakin mempermudah manusia hari-hari ini.
Mendaki gunung memang menyenangkan. Ada kebanggaan tersendiri ketika kita bisa berada di tempat yang jauh lebih tinggi daripada tanah yang biasanya kita injak. Sebuah novel (yang kemudian difilmkan) mengenai lima sekawan yang akhirnya berhasil mencapai puncak gunung tertinggi di Jawa dan merayakan sakralitas upacara bendera di sana semakin menguatkan hal tersebut. Lantas orang pun ramai-ramai mengikuti jalan tersebut.
Mereka lupa setidaknya dua hal. Yang pertama, lima sekawan di dalam novel tadi, meskipun dibilang terinspirasi dari kisah nyata, tetaplah manusia-manusia fiksi. Banyak hal terpaksa dipoles agar cerita terlihat lebih menarik. Dan yang kedua, meskipun tampak mudah, alam selalu memiliki bahayanya sendiri.
Saya teringat pada cerita seorang guru Geografi sewaktu di kelas X SMA. Beliau sering memberi “ancaman” kepada siswa agar lebih memperhatikan penjelasan beliau, terutama bagi orang-orang yang gemar mendaki gunung. Katanya, para pendaki yang meninggal di gunung adalah mereka yang memilih tertidur pada waktu pelajaran berlangsung. Tentu saja hal itu hanya candaan karena seringkali anomali menampakkan wujudnya di alam bebas. Kecelakaan bisa saja terjadi meski para pendaki mempersiapkan diri sebaik mungkin. Tapi bahwa beliau menyelipkan nasihat di balik ancamannya tak bisa dikesampingkan begitu saja. Beliau kemudian berkata bahwa para pendaki gunung tak perlu terlalu khawatir karena menurutnya melakukan prediksi iklim di gunung lebih mudah daripada menebak kapan petasan yang baru saja dibakar akan meletus. Tuhan toh takkan menciptakan sebuah ilmu tanpa ada manfaatnya.
Masalahnya, tidak semua orang waspada mengenai hal itu. Banyak yang masuk kategori seperti yang guru Geografi saya sebutkan: lebih memilih tertidur daripada mempelajari hal-hal yang justru sangat berguna. Saya pernah satu kelompok pendakian dengan orang demikian. Rasanya, aduh mak, menyusahkan saja. Jangankan dimintai tolong membawa perlengkapan kelompok, membawa barang pribadinya yang hanya sebuah tas daypack saja dia kesulitan. Malah tasnya yang terpaksa harus dibawa oleh beberapa anggota kelompok bergantian.
Sampai sekarang saya heran mengapa orang-orang macam ini memaksakan diri naik gunung yang notabene bukan spesialisasinya? Apakah keindahan gunung demikian menarik hatinya sehingga dia rela bertebal muka merepotkan kawan-kawannya—yang sebetulnya sudah repot sendiri? Apakah hasrat eksibisionismenya sebegitu besarnya, sehingga dia ingin sekali terlihat keren dengan berfoto-foto di atas gunung lalu mengunggahnya di media sosial?
Ini bukanlah larangan bagi orang-orang yang ingin mendaki gunung. Apalagi ikut meramaikan pro dan kontra yang telah menahun tentang ramainya para pendaki di hari kemerdekaan sehingga menyebabkan gunung jadi kotor dan ekosistemnya terganggu. Apalah arti kemerdekaan dan kebebasan jika di antara kita masih ribut saling melarang. Yang perlu diingat barangkali adalah ujaran lawas bahwa di atas gunung semua sifatmu akan diperlihatkan. Apakah kau adalah seorang yang egois ataukah mudah diajak bekerja sama. Apakah kau pekerja keras ataukah pemalas yang hanya ingin terlihat rajin. Kawan-kawan kelompok akan mengenalmu dengan jelas ketika kau mendaki bersama. Jika kau tak memiliki rasa malu seperti para politisi yang gemar ngomong berbusa-busa di depan televisi, tak apa. Teruskan saja.
Namun, jika kau cukup sadar diri dengan kekuatanmu sendiri yang tak seberapa, kau pun masih bisa memperingati hari kemerdekaan dengan cara lain. Kau bisa mencontoh saya, misalnya. Buat saya, merdeka berarti bebas bangun siang, cuci muka sekadarnya, lalu meneruskan membaca buku yang belum selesai semalam sembari menikmati secangkir teh hangat. Bagaimana?