Apakah untuk menjadi normal, seseorang harus menjadi ekstrovert? Kupikir ini mengenai sudut pandang setiap individu. Namun, dari pengalamanku yang menyadari bahwa aku adalah bagian dari kepribadian introvert sejak lebih dari empat tahun lalu, banyak orang di sekitarku yang memaksaku menjadi lebih terbuka. Dalam artian bersosialisi dan tak sedikit yang memancingku untuk banyak bicara.
Diam memang tak selalu menghasilkan emas. Sejujurnya tuntutan orang-orang yang berkepribadian berseberangan denganku terasa cukup menjengkelkan. Aku tidak berani melawan, karena selalu terjebak dalam perasaan tak enak hati atau takut menyakiti perasaan orang lain.
Sering aku karena introvert menjadi korban ejekan, terkadang banyak momen diabaikan, tapi aku juga terlalu takut membalas, itu karena aku takut akan menjadi kesepiaan.
“Aneh.” Ungkapan singkat yang membuatku langsung menjaga jarak pada orang yang mengatakannya. Aku memang cukup sensitif, meski tidak menunjukkannya secara langsung.
Rasanya tiada pilihan, jika aku membiarkan sifat pendiam ini begitu mendominasi. Puncaknya, aku senang tersenyum tanpa merasa itu adalah sebuah ketulusan. Di sisi lain aku lebih suka bertemu orang baru, dan mendadak menjadi orang yang berbeda.
Namun, sekali lagi, itu bukanlah hubungan yang didasari oleh rasa nyaman, tapi seperti tuntutan standar sebagai makhluk sosial.
Mungkin, aku hanya tak beruntung mengenai pertemanan, tapi di sisi lain aku bangga bisa menjadi bagian dari kepribadiaan ini.
Mulut jarang bersuara, tapi hati selalu mengucapkan kata semangat dan motivasi untuk terus hidup.
Seperti terciptanya laki-laki dan perempuan, bukankah adanya ekstrovert dan intovert menyatakan bahwa seharusnya kita hidup berdampingan?
Nova F
Kab. Tanah Laut, Desa Jorong, Kalimantan Selatan, [email protected]