Persoalan hidup harian bukan barang baru untuk diangkat sebagai tema dalam syair lagu dangdut.
Rhoma Irama pernah membawa masuk keluh-kesah-sengsara-nelangsanya kehidupan menjadi s’orang tunawisma dalam lagu “Gelandangan”. Juga kiat-kiat menghindari prahara rumah tangga dalam menghadapi ketiadaan buah hati setelah sekian lama menjalin biduk perkawinan dalam lagu “Mandul”.
Tema-tema macam ini tidak akan diangkat oleh grup-grup musik pop baik mainstream maupun indie, kecuali Wali yang memang hadir sebagai spesies yang yunik.
Sebaliknya, orkes koplo justru punya karakter spesial yang mustinya dipelajari oleh pelaku musik di seluruh dunia. Terutama soal songwriting. Para penulis lagu dalam kancah koplo tidak ada yang tidak jenius.
Agus Mulyadi pernah menulis bahwa lagu dangdut koplo bisa menjadi bahan kontemplasi. Sekarang, yang akan saya sorot adalah kedekatan lagu dangdut koplo dengan tema politik hidup harian (everyday politic).
Keluwesan dangdut koplo mengadaptasi tema hidup harian sangat well. Juga kecepatannya dalam merespons isu-isu kontemporer. Atau kalau bukan isu, ya istilah yang lagi tren. Buktinya lahir lagu-lagu semacam “DiReject”, “Om Telolet Om”, “Pokemon (Pokoke Move On)”, dan banyak lagi.
Tema-tema semacam “Gelandangan” milik Rhoma direproduksi oleh beberapa orkes melayu dangdut koplo di seantero NKRI menjadi seri panjang lagu “Ngamen” yang sampai saat ini sudah mencapai angka 20, bahkan lebih. Selain seri panjang lagu “Ngamen”, ada beberapa lagu dengan tema politik hidup harian yang menurut saya lebih spesifik, tajam, dan mashook. Contohnya empat lagu di bawah ini.
1. “Rumangsamu Penak”
Lagu ini lwarbyasa. Teks syairnya hadir dari polemik saling komentar para buruh migran di Facebook dan YouTube. Awalnya, seorang buruh migran bernama Teri Yanti mengunggah status yang terkesan mengejek profesi laki-laki yang bekerja sebagai kuli di dalam negeri. Hal tersebut membuat beberapa lelaki tersinggung, tidak terima, lalu membalas melalui berbagai unggahan video.
Di tengah perseteruan tersebut, hadir seorang buruh migran bernama Prista yang mencoba menengahi, dengan merekam curahan hatinya bahwa menjadi buruh migran tidak seenak yang dibayangkan oleh kaum lelaki yang bekerja di dalam negeri. Juga sebagai pengingat bagi Teri agar tidak sombong kalau sudah sukses kerja di luar negeri. Terdengar moralis? Kalau iya, itu salah saya.
Kata-kata yang keluar dari Prita ini kemudian disusun sedemikian rupa oleh songwriter kebanggaan kita semua, Nur Bayan, menjadi sebuah syair lagu.
Rumangsamu opo penak, Mas (yo penak)
Ditinggal bojo dewekan, Mas (yo penak)
Aku dadi TKI, mbabu neng luar negeri
Kanti niat ati nggo golek rejeki
Pikirmu enak, Mas (ya enak)
Ditinggal suami sendirian, Mas (ya enak)
Aku jadi TKI, membabu di luar negeri
Dengan niat mencari rezeki
Bayangno lehku kerjo neng negorone tonggo
Duit sing tak kirim ojo mbok entekno
Opo rumangsamu aku neng kene
Mung Facebookan karo dolanan hape
Bayangkan aku kerja di negara tetangga
Duit yang kukirim jangan kamu habiskan
Apa pikirmu aku di sini
Cuma Facebookan dan main hape
Dewe i lo, kudune ndungo
Mugo-mugo lancaro anggone makaryo
Piro-piro rejeki sing tak tompo
Tak simpen wae ora tak sombong-sombongno
Kita itu harusnya berdoa
Moga-moga lancar kerjanya
Berapa pun rezeki yang kuterima
Aku simpan saja tak perlu disombongkan
2. “Bojo Biduan”
Kamerad, situ pasti pernah sekilas membayangkan bagaimana jika Nella Kharisma atau Via Vallen atau Maqdhalena adalah jodoh yang dipersiapkan oleh Tuhan untukmu kelak; sebagai pendamping dalam kehidupan yang makin hari makin belangsak; yang akan ada garis surga di telapak kakinya bagi anak-anakmu; sebagai penopang dan penyemangat rapuh dan payahnya pribadimu.
Tapi, sebelum situ melanjutkan andaian-andaian mbelgedhes macam itu, situ musti tahu konsekuensi dan risikonya memiliki istri s’orang biduan dangdut terkemuka.
Pancen gaweane dadi artis panggungan
Ning kono ning kene nyanyi karo bergoyang
Mulo biasane bengi yen kondur tanggapan
Pengen langsung sare wegah dijak dolanan
Memang begini kerjaannya artis panggung
Ke sana sini nyanyi sambil goyang
Makanya kalau malam pulang acara
Maunya langsung tidur males diajak “main”
Sing marai kuatir atine wong lanang
Manggung mrono mrene cari perhatian
Opo maneh yen nganggo klambi sing cingkrang cingkrang
Genit mripate, goyangane merangsang
Yang bikin khawatir hatinya lelaki
Manggung ke sana sini cari perhatian
Apa lagi ditambah pakai baju menggantung
Genit matanya, goyangannya merangsang
Mulane wong lanang sing uripe isih legan
Kudu siap mental yen ngrabi biduan
Mergane wis akeh banget sing kedadean
Pegatan jalarane mung cemburuan
Makanya laki-laki yang masih lajang
Harus siap mental kalau menikahi biduan
Karena sudah banyak kejadian
Bercerai hanya karena cemburuan
Lagu ini menceritakan dengan jernih segala tantangan dan konsekuensi yang harus situ hadapi dalam mengarungi biduk perkawinan dengan biduan. Belum lagi pandangan patriarkis dalam lagu ini yang muncul tipis-tipis yang kemudian membuat situ harus paham bahwa hal tersebut bukan cuma menyengsarakan kaum perempuan, kaum lelaki pun tak luput. Situ bisa mendekati lagu ini dengan men studies atau feminism atau apa pun. Boleh.
3. “Jamu Pegel Mlarat”
Lagi-lagi setting diambil dari ruang keluarga. Di tengah impitan kemiskinan yang semakin akrab, sepasang suami istri berdialog. Suami sudah bekerja habis-habisan, tapi tetap miskin. Sang istri telah bosan ditagih hutang dari warung-warung langganan. Keingingan untuk kaya cuma bual-bualan. Ukuran kekayaan yang muncul dalam lagu ini pun terbilang sangat stereotipikal.
Sakjane aku wis ora kuat
Sakjane aku wis pegel mlarat
Kepengen nduwe sedan mengkilap
Duit sak miliar lan omah tingkat
Sebenernya aku sudah nggak kuat
Sebenernya aku udah capek melarat
Pengin punya sedang mengilap
Duit semiliar dan rumah tingkat
Golekno jamu pegel mlarat
Sopo ngerti mene dadi konglomerat
Carikan jamu capek melarat
Siapa tahu habis itu jadi konglomerat
Selain karena kebutuhan rima “at-at”, ukuran ini juga seperti racauan anak kecil jika suatu hari nanti jadi orang kaya. Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan sehingga solusi yang muncul dari lagu ini pun hanya berharap seandainya ada jamu yang bisa menyembuhkan kemelaratan: Jamu Pegel Mlarat. Silakan dengar sambil baca “Mengapa Kapitalisme Menyebalkan.pdf”.
4. “Aku Cah Kerjo”
Pangapurane awakku ra tau nyanding sliramu
Mergo tuntutan kerjoku nganti ora nduwe wektu
Wektu kanggo ngancani ugo ngeterke nyanyi
Kowe kudu ngerti lungaku golek rejeki
Maaf aku nggak pernah datangi kamu
Karena tuntutan kerja aku sampai tak punya waktu
Waktu untuk menemani dan mengantar nyanyi
Kamu harus tahu, pergiku mencari rezeki
Inilah kerja yang membuat manusia terasing. Untuk jatuh cinta saja mereka harus bersusah payah. Manusia musti kerja untuk memenuhi kebutuhannya. Tapi kerja membuatnya menjauh dari dirinya sendiri. Merecoki pasangan kasmaran. Mencipta praduga-praduga yang tak beralasan pada sepasang kekasih. Membuat mereka saling meragukan. L’exploitation de l’homme par l’homme.
Yang bisa direfleksikan dari lirik empat lagu tadi adalah, bukan pada sastrawan, realisme sosial Indonesia hari ini justru ada di tangan penulis lirik, khususnya penulis lirik lagu dangdut koplo. Ya, realisme sosial Indonesia hari ini ada di tangan Nur Bayan dan kawan-kawan.