Saya hanya akan membuang energi jika menjelaskan sejarah Tjokroaminoto. Mari mengamini bersama bahwa pria kelahiran Ponorogo ini adalah guru bangsa nan hebat, pemimpin yang visioner, seorang suhu yang legowo bahkan ketika murid kesayangannya nyempal dari nilai-nilai yang diajarkannya. Mari bicarakan film Guru Bangsa Tjokroaminoto saja.
Di sebuah siang yang panas, istri saya mengajak nonton film Tjokroaminoto. Sebagai seorang neolib, eh, nasionalis tulen, tentunya saya mengiyakan. Di bioskop saya memandang sederet nama besar: Garin Nugroho, Christine Hakim, Didi Petet, Reza Rahadian, Sujiwo Tejo, Maia Estianty, alm. Alex Komang, Ibnu Jamil and last but not least, Chelsea Islan yang mewakili generasi saya—tapi yang seumuran saya itu ortunya Chelsea. Dengan sutradara, produser dan sederet bintang top, tentunya saya merasa film ini akan sangat keren.
Menit pertama ketika adegan Tjokro diinterogasi di Lembaga Pemasyarakatan, saya masih yakin film ini akan bagus. Juga ketika film berjalan mengisahkan masa kecilnya, sungguh mengalir indah. Rasa yang sama ketika saya melihat film Soekarno dan Gie ketika mengangkat masa kecil mereka.
Saya juga sangat menikmati setting film yang indah, Reog Ponorogo dan proses pernikahan Tjokro dengan Soeharsikin. Sayang kenikmatan saya menonton terganggu oleh alur cerita setelahnya, ketika Tjokro memutuskan Hijrah ke Semarang. Saya tidak ke Toilet selama 1,5 jam pertama film, saya benar-benar khusyuk menonton. Tapi saya tidak tahu alasan Tjokro hijrah ke Semarang, tepatnya saya tidak mendapat penjelasan memadai dari film. Bekerja? Bekerja apa? Berorganisasi? Berorganisasi apa? Tahu-tahu Tjokro menjadi sosok terkenal, ikon perlawanan. Sementara istrinya yang sedang hamil ditinggal di rumah mertua.
Saya juga melihat Sujiwo Tejo agak lebay dalam berakting. Apalagi saat mengucapkan “Gombal amoh!” yang terasa di kuping saya seperti dibuat-buat. Sungguh berbeda dengan akting Tejo yang menyambit Soekarno kecil ketika asyik merayu noni Belanda. Aktingnya sebagai ayah Soekarno itu jauh lebih keren.
Setelah hijrah ke Semarang, Tjokro ke Surabaya. Ini lebih hebat lagi kadar membingungkannya. Jalan ceritanya dibuat hanya untuk orang cerdas atau bagaimana sih? Perasaan, saya gak bego-bego amat. Adegan di rumah Jalan Peneleh Surabaya itu sungguh membingungkan. Tjokro itu ngapain di Semarang sampai begitu kondang dan disambut meriah di Surabya? Rumah jalan Peneleh itu dibeli atau sewa atau bagaimana juga tidak jelas. Tiba-tiba ditempati. Tjokro juga mendadak didatangi dua utusan Haji Samanhudi yang meminta pertimbangan ketika Belanda membekukan Sarekat Dagang Islam.
Saya tak melihat bagaimana Tjokro membangun organisasi dan melayani rakyat sehingga begitu terkenalnya. Bahkan Jokowi pun butuh kerja keras sebagai walikota Solo dan Gubernur Jakarta baru kemudian ditopang pencitraan kuat untuk menjadi Presiden.
Tjokro mendapat julukan raja tanpa mahkota, tapi saya tidak tahu bagaimana julukan itu disematkan. Bahkan cerita mendamaikan krisis rasial 1912 antara warga asli dan keturunan China saja membingungkan. Akar krisis rasial samar-samar penyebabnya. Saya malah sulit mencernanya. Tjokro yang tengah asyik menonton semacam Opera sekonyong-konyong diberitahu jika di luar sedang terjadi chaos, lalu dia bergegas keluar. Dengan tangan kosong dia memerintahkan para perusuh yang telah berhadap-hadapan untuk menurunkan senjata, hanya bermodal teriakan berikut wajah garang. Tampak menggampangkan sekali. Kalau saja semudah itu, cukup selesai dengan teriakan, tentunya tidak akan terjadi tawuran antara Berlan lawan Matraman.
Demikian juga saat Tjokro terlibat dalam pendirian volksraad, kurang sekali penjelasan. Tahu-tahu volksraad, kemudian trio Semaoen, Darsono, Musso menentang cara-cara kooperatif volksraad dan memilih cara yang lebih radikal. Untung mereka tak lahir di zaman ini, bisa diblokir Rudiantara mereka. Saya lihat film ini mengarahkan bahwa pilihan Tjokro menempuh jalan kooperatif lebih baik daripada cara radikal.
Pilihan-pilihan kooperatif juga muncul dalam segmen perdebatan Agus Salim dan Semaoen mengenai titik pilihan perjuangan Sarekat Islam. Semaoen membawa isu agraria, Agus Salim membawa isu pendidikan. Perdebatan yang terjadi betul-betul (maaf) kacangan. Kendati kesimpulan perdebatannya tidak jelas, Semaoen terkesan ‘kalah omong’ dengan Agus Salim. Sahabat saya yang mengidolakan Semaoen, sebut saja namanya Paring Waluyo Utomo, pasti bakal mencak-mencak melihat guru (imajiner) ideologisnya dicitrakan kalah debat.
Tapi saya suka sekali akting Tanta Ginting sebagai Semaoen. Apalagi saat ia menyanyikan Internationale rasa Indonesia di kereta api. Terutama mimik wajahnya ketika melagukan syair: bangunlah jiwa yang lapar. Wajahnya menampakkan kesungguhan hati. Saya lupa Internationale yang dinyanyikan itu terjemahan versi KH Dewantoro, Yuwinu, atau Soepeno. Maaf, saya bukan fans berat PKI. Mungkin Windu Jusuf dan Iqbal Aji Daryono lebih tahu #halah.
Saya pun terhibur dengan kenyinyiran pembantu Tjokroaminoto. Mbok Emban yang bertubuh pendek memainkan peran dengan sangat baik, bahkan sempurna untuk perempuan Surabaya yang ketus namun setia. Di film ini aktingnya mengalahkan Christine Hakim, tentunya menurut saya. Kejutan dalam film adalah yang terhormat guru dari segala guru seni Ludruk Surabaya muncul sebagai kameo: Kartolo.
***
Saya rasa kesalahan menonton film ini ada di saya sendiri. Ekspektasi saya terlalu tinggi, berharap film fokus pada bagaimana Tjokro berjuang di Sarekat Islam hingga dipenjara. Bagaimana pergulatan batin Tjokro ketika anak-anak yang disayanginya mengambil jalan yang menurutnya ‘terlalu keras’ dan membahayakan rakyat. Tapi saya tak melihatnya. Malah muncul tokoh Stella yang diperankan dengan sangat biasa-biasa saja oleh Chelsea Islan. Saya tahu, menulis buruk tentang Chelsea Islan berakibat bakal dibuli Arman Dhani. Tapi terpaksa saya lakukan. Ini masalah nurani, saya harap Arman Dhani idolaku tidak tersinggung.
Namun demikian, saya tetap merekomendasikan kawan-kawan untuk menonton film ini. Siapa tahu impresi yang diperoleh setelah nonton berbeda dengan yang saya dapat. Yang lagi pacaran pasti senang karena durasinya dua jam lebih. Bayangkan, sepasang kekasih nonton film berdurasi panjang dalam ruang gelap dan filmnya membosankan. Ngapain coba kegiatannya? #UdahPutusinAja.
Walau tidak ada adegan yang bersifat ‘cinta-cintaan’ yang ya-gitu-deh, saya sarankan tidak usah mengajak anak untuk nonton dengan alasan memberi pelajaran nasionalisme sejak dini. Percuma, mereka tidak akan paham. Apalagi kalau ternyata orang tuanya juga bingung karena ahistoris. Ini benar loh, beberapa orang yang saya tanya tidak tahu siapa Semaoen. Malah dengan percaya diri menyalahkan saya: yang kamu maksud Asmaun atau Soemaun kali, Kok. Yung alah, ahistoris kok ya menyeluruh sampai seluruh membran otak.
Akhirul kalam, selamat menonton. Kecewa dan bahagia sila tentukan masing-masing. Tidak ada yang bisa memaksa perasaan kita mau suka atau tidak terhadap sesuatu. Iya, kita bukan Menteri Perdagangan yang bisa memaksa semua minimarket (suka ataupun tidak suka) untuk stop penjualan bir.