Sebagai penikmat film ala kadarnya, saya merasa menonton sinema Indonesia tidak sekadar membutuhkan niat tapi juga nasib baik. Contohnya tahun ini (sebetulnya juga terjadi di tahun-tahun sebelumnya), keinginan menonton film banyak dipuji semacam Mencari Hilal gagal total karena bioskop begitu cepat menurunkannya dari layar.
Ketika film Ismael Basbeth itu tayang perdana, saya dikirim kantor berangkat kursus. Selesai tugas, eh, sudah tidak ada lagi bioskop di Jakarta menayangkannya. DVD resminya setahu saya belum edar. Nanti kalau saya nekat nonton lewat Torrent atau situs streaming, dianggap tidak mau mengapresiasi karya anak bangsa. Jiamput.
Belum lagi membicarakan film dokumenter dan film pendek independen yang tanggal penayangannya harus jeli diamati kayak menguber maling. Lebih banyak luput daripada yang bisa ditonton.
Ya Rabb, begitu banyak cobaan engkau berikan kepada hambamu yang ingin (((BERBUDAYA))) ini. Ya sudahlah, tahun ini saya memulung apa saja yang bisa diperoleh di bioskop. Sesekali saya beruntung masih bisa mendatangi acara pemutaran nonbioskop, sehingga marwah saya sebagai manusia (((BERBUDAYA))) sedikit terdongkrak.
Dari ingar-bingar film cerita Indonesia yang tayang sepanjang Januari sampai Desember, saya merasa ada kegairahan besar pelaku industri kita membuat film komersil, dengan gaya tutur sebisa mungkin mendekati film-film arus utama Hollywood, minimal dari sisi visualnya.
Kesuksesan The Raid dan Berandal agaknya pemicu tren ini. Cukup banyak film memasukkan unsur kekerasan, koreografi perkelahian, serta efek visual sebagai jualan utama. Bahkan, mungkin demi meraih lebih banyak pangsa pasar penonton, film semacam Skakmat dan Comic 8: Kasino King enteng saja mengoplos aksi-aksi gila dengan komedi yang menghibur, walau sepenuhnya mengabaikan logika.
Kasus lain, walau ceritanya ambyar, tapi film bertema ABRI cinta tanah air seperti Doea Tanda Cinta dan Jenderal Soedirman menyodorkan gulali gambar memanjakan mata terutama untuk adegan-adegan perangnya. Hal yang juga patut diapresiasi adalah semakin banyak film Indonesia menyodorkan skenario yang tidak klise-klise amat. Misalnya Lamaran, drama komedi yang bermain-main dengan skandal korupsi dan thriller politik. Atau Tiga Alif Lam Mim—film action dystopian yang tentu secara umum kacrut, kapan lagi penonton melihat setting Jakarta di masa depan dikuasai kaum liberal yang melarang orang salat berjamaah?
Yang justru paling mengganggu sepanjang tahun ini adalah mubazirnya film-film drama menceritakan kisah hidup mahasiswa atau pekerja rantau (kebanyakan beragama Islam) di luar negeri. Harapan si pembuat film sih menyodorkan kisah inspiratif, tapi karena temanya mirip-mirip, jadinya menjemukan. Tujuh tahun terakhir begitu berjubel drama semacam itu. Di satu sisi, film begituan mungkin menunjukkan betapa penonton Indonesia semakin kosmopolitan, aspirasi hidupnya transnasional.
Masalahnya, konflik cerita film-film ‘transnasional’ itu digarap teramat kedodoran. Kadang saya berpikir, cerita yang sama bisa digarap memakai latar kisah kasih LDR dua insan pekerja kerah biru di Kecamatan Juwangi dan Banyudono, Boyolali. Masalahnya, apakah produser yakin kampung halaman saya itu tak kalah seksi dibanding Den Haag, Beijing, atau Kairo?
Intinya, tulisan ini adalah pesanan mendadak kru mojok dalam rangka memilih karya pilih tanding 2015. Maka saya memilih empat film cerita panjang, yang menurut saya paling kuat dari puluhan judul yang edar. Tentu empat ini dibatasi hanya film yang pernah saya tonton saja. Walaupun sebenarnya menarik juga berlatih membuat ulasan film imajiner, seperti sering dilakukan teman-teman FAKI atau FUI, yang belum sempat nonton tapi rajin menuding film-film tertentu memicu kemungkaran dan azab Ilahi.
Berikut empat film tahun ini yang sebaiknya ditonton untuk menjaga minat kita menyaksikan sinema Indonesia:
A Copy of My Mind
Joko Anwar adalah sutradara yang selama ini berjihad memperjuangkan style di atas substansi. Film baginya adalah modus reka percaya. Setting film-filmnya cenderung antah berantah dan penonton cukup menikmatinya saja selaiknya naik wahana roller coaster di taman hiburan. Dan tanpa ekspektasi apapun, saya tiba-tiba menonton film panjang ke-5 dalam kariernya Joko ini, ia menyajikan thriller politik realis bertungkus lumus dengan semua hal yang kita kenal sebagai Indonesia.
Azan kala subuh, lika-liku pekerja urban, pemilu, tradisi pembajakan film, sampai suap-menyuap di penjara. Asyiknya, semua persoalan yang menimpa dua karakter utama, Sari (Tara Basro) dan Alek (Chicco Jerikho), termasuk juga problematika Indonesia sebagai sebuah bangsa, dituturkan begitu mengalir.
Kendati begitu, harus dakui upaya menghubungkan cerita orang biasa dengan pakem thriller yang cenderung bombastis kurang mulus di film ini. Inti ceritanya, Sari, seorang pekerja salon kecantikan, mendapat pekerjaan yang mengharuskannya melayani seorang klien di dalam penjara. Gadis perantau ini, yang sangat menggemari film, nantinya bersua Alek yang sehari-hari bekerja sebagai penerjemah teks DVD bajakan. Kecintaan pada film itu akan membuat Sari terlibat masalah besar.
Kisah Sari, kabarnya, adalah bagian pertama dari trilogy urban yang bersambung ke A Copy of My Heart dan A Copy of My Soul. Tahun 2015 barangkali memang hokinya Joko Anwar. Selain A Copy of My Mind  yang sangat menyegarkan, khususnya bila Anda mengikuti karier Joko, tahun ini tayang juga serial Halfworld di TV kabel.
Ada pula suplemen karya eksperimental Joko memerankan dirinya sendiri di Melancholy is a Movement yang bisa memberi kita perspektif seorang sutradara memandang hidup.
Siti
Film Indonesia yang kerap beredar di sirkuit festival, seringkali dipenuhi simbol, alusi, metafora, segala macam metode penceritaan subtil, yang intinya tidak langsung menghujam ke inti persoalan. Saya tidak alergi pada kosa gambar atau gaya tutur eksperimental. Namun rupanya, menyegarkan sekali ketika sutradara sekaligus penulis skenario Eddie Cahyono bertaruh sepenuhnya melalui pendekatan realisme.
Salah satu fragmen yang paling kuat adalah adegan polisi-polisi di Pantai Parangtritis menyita alat-alat karaoke ilegal. Sebagai imbalan mengembalikan peralatan tersebut, polisi itu minta jatah karaoke gratis, hostess paling cantik, dan pasokan minuman keras tanpa henti. Sangar belaka, dan uniknya, sangat lucu ketika disaksikan. Apalagi ketika para pekerja karaoke berunjuk rasa ke kantor polsek menuntut peralatan kerja mereka dikembalikan. Adegan ini sangat kuat karena dituturkan secara realis.
Tentu masih ada melodrama dalam cerita Siti (Sekar Sari) menghidupi keluarganya yang ambruk dihantam bermacam masalah. Semuanya masih dalam batas wajar, tak sampai berlarat-larat. Keputusan Siti menjadi biduan karaoke di Parangtritis tak direstui keluarga, terutama suaminya, Bagus, yang lumpuh akibat kecelakaan kapal, menjadi salah satu penyulut konflik dalam cerita ini. Masalah kian pelik, lantaran seorang polisi sektor Parangtritis jatuh cinta pada Siti, menawarkan dilema moral yang sulit ditampik penonton.
Filosofi Kopi
Saya tidak banyak membaca karya-karya Dewi Lestari meski tafsiran sinematis adaptasi film-film dari ceritanya sering mencuri perhatian. Pun demikian film Filosofi Kopi. Angga Dwi Sasongko kembali membuktikan diri sebagai penafsir cerita yang ulung setelah tahun lalu sukses melalui Cahaya dari Timur.
Kolaborasi Angga dan Jenny Yusuf selaku penulis skenario menghasilkan cerita yang enteng, tapi sangat masuk akal dan enak diikuti. Laiknya menyesap secangkir kopi yang diracik secara pas. Dua pengusaha kopi, Ben (Chicco Jerikho) dan Jody (Rio Dewanto)—kepribadian mereka bertolak belakang—sedang jatuh bangun mengelola bisnis kedai kopi, tiba-tiba dikejutkan oleh kedatangan seorang pria paruh baya.
Muncul kemudian tantangan bagi keduanya untuk menghasilkan kopi terenak, demi imbalan sejumlah uang. Plot menukik menjadi pencarian kopi yang diklaim paling sempurna di kaki Gunung Ijen. Dan karakter-karakter utama pun pada akhirnya, semakin dewasa karenanya. Ini adalah film tentang rasa dan hal-hal yang sulit dicandra, ketimbang parade kopi yang tentu mudah kita cecap secara indrawi.
Justru di situ menariknya. Dua tahun berturut-turut, film bertema besar kuliner malah berhasil mengajak penonton membicarakan hakikat menjadi manusia sambil tetap menghibur. Tahun lalu, Tabula Rasa sukses melakukkannya. Tahun ini giliran Filosofi Kopi.
The Fox Exploits The Tigers Might
Inilah film yang paling menggedor kesadaran saya tahun ini. Sineas Lucky Kuswandi menyentuh topik yang sangat sensitif: represi militer, diskriminasi etnis Tionghoa, sampai fantasi seks sekaligus mengajak penonton membingkai ulang definisi seksualitas.
Cerita berporos pada karakter Aseng dan David. Mereka pelajar SMP yang bersahabat, tinggal di kawasan tangsi militer pada awal 1990-an, ketika Orde Baru masih kuat bercokol. Laiknya anak muda seusia mereka, Aseng dan David sangat tertarik pada seks, fantasi mengenai seks, dan penelusuran pada tubuh masing-masing. Masturbasi bareng, membayangkan Eva Arnaz, sampai menjajal tendensi homoerotisme dalam diri.
Tapi, tak sekadar menyeberangi garis tabu, film pendek ini berani membicarakan para pemegang bedil dari sudut yang menarik. Ayah David adalah jenderal, sering menerima setoran barang-barang selundupan. Sedangkan keluarga Aseng berdagang minuman keras, sambil rutin memberi uang kepada para tentara supaya bisnisnya dilindungi.
Pada klimaksnya, film ini meledak menjadi gugatan tajam atas penindasan militer di Indonesia, dalam balutan adegan seks ganjil, ketika Aseng merebut pistol milik bapak David. Film ‘Tiger…’ akan lebih pas jika disaksikan berangkai dengan Sendiri Diana Sendiri karya Kamila Andini dan Kisah Cinta yang Asu dari Yosep Anggi Noen. Ketiganya sama-sama membicarakan seksualitas dalam kebudayaan Indonesia secara dewasa dan segar.