Catatan Kepala SukuTulisan ini adalah respons atas tulisan Arman Dhani. Di media lain, tulisan seperti ini mungkin tidak akan dimuat karena ‘membantah’ apa yang sudah dipilih oleh sebuah institusi media tersebut. Tapi, bagi Mojok, pendapat Dedik Priyanto perlu diberi ruang.Pertama, karena boleh saja orang punya pendapat lain. Kedua, tulisan Dedik memang pas untuk Mojok. Orang boleh saja punya argumen untuk yang pertama, tapi jika tidak diikuti dengan kemampuan kedua, tidak akan kami beri ruang. Sebab kami harus menghormati pembaca setia kami, yang berkunjung untuk menikmati tulisan-tulisan gaya Mojok.Hormat kami untuk orang-orang yang punya kepala berbeda, harus terus kami upayakan dengan segala cara. Dan upaya terbaik untuk hal itu adalah memuatnya. Namun, semua pendapat Dedik tidak menggugurkan pilihan Mojok sebagai sebuah institusi yang telah mempercayakan pemilihan buku terbaik 2015 kepada Dhani.Demikian.
Seorang kawan memberikan tautan artikel “Lima Buku Terbaik 2015”, sepersekian detik selepas baca, saya berkomentar: buruk sekali pilihan Arman Dhani. Tentu saja semua orang bebas untuk memberikan pendapat tentang buku terbaik menurutnya, tapi, saya kira, selebtwat cum kritikus buku paling hits seplanet Namek macam Dhani harusnya lebih jitu memilah buku terbaik. Jika tidak, bisa panjang urusan.
Kekeliruan Dhani, misalnya, bisa kita lihat pada pendapatnya tentang karya Haruki Murakami yang ia sebut medioker. Tidak perlu menjadi Murakami-esque untuk bisa membedakan bahwa yang ribut kala pengumuman nobel saban tahun adalah fanboy Murakami, bukan Murakami. Itu dua hal yang sangat berbeda.
Jika Dhani tidak sibuk mengejar dedek-dedek berambut pendek yang ntap seperti Viny JKT48, tengoklah karya Murakami seperti After Dark, Wind Birp Up Chronicle atau dua karya terbarunya, The Strange Library dan Colourless Tsukuru Tazaki and His Years of Pilgrimake, bukan yang sengaja ia tulis sebagai karya populer semacam Norwegian Wood. Dari sana pula kita bisa melihat beda Murakami dengan penulis lain di generasi ini, ia selalu berupaya mencipta cara bercerita yang baru.
Walaupun begitu, ada beberapa hal yang saya sepakat dengan Dhani, misalnya, tentang tidak banyaknya buku bagus yang muncul di tahun ini. Hal ini tentu lebih meresahkan daripada perkara jodoh Pak Menteri Gita Wiryawan. Beberapa buku yang disuguhkan Dhani memang menarik, misalnya, bagaimana ia membicarakan buruknya cerita pendek di media massa dan hadirnya A.S. Laksana dengan bukunya Si Janggut Mengencingi Herucakra sebagai jalan lain untuk menikmati cerita bagus. Juga kolaborasi menyenangkan Emte dan Aan Mansyur dalam Melihat Api Bekerja. Namun, perihal pemilahan karya Harper Lee, Go Seth a Watchman, kita harus mendudukkan lagi persoalan ini.
Kita sepakat bahwa buku bagus adalah buku yang cara menyajikannya juga menarik, selain isinya tentu saja. Dan Harper Lee—terlepas dari pelbagai kontroversi penerbitannya—tidak memberikan lagi kebahagiaan dan cara bertutur laiknya To Kill a Mockingbird dalam membingkai perkara HAM dan rasisme. Selain itu, Go Seth a Watchman menunjukkan belum matangnya Harper Lee sebagai seorang penulis.
Begitu halnya dengan Kambing dan Hujan atau buku yang lain dalam daftar Dhani. Ini bukan perkara kredo sastra tinggi, seperti yang ditekankan Dhani, melainkan bagaimana seharusnya sebuah buku ditulis, terlepas itu cerita desa-kota-patah-hati-jatuh-
Untuk itu, mengingat Dhani sudah begitu sibuk untuk memberi tanda tangan dan melayani jumpa fans bukuya yang baru terbit, saya akan memberikan alternatif daftar buku terbaik 2015 yang luput ia perbincangkan.
5. Startupedia – Annis Uzzaman
Coba tanyakan para pegiat bisnis rintisan (startup) sejagat, buku ini adalah buku paling bagus yang ditulis dalam bahasa Indonesia tahun ini. Buku ini berisi hal taktis untuk membangun kerajaan startup. Ditulis oleh seorang venture capital (pemodal startup) bernama Anis Uzzaman, buku ini merupakan kitab suci bagi mereka yang ingin berhasil di bisnis teknologi.
Jika Dhani ingin membuat sebuah startup untuk balen, saya rekomendasikan buku ini sebagai kitab suci. Ajaklah saya untuk itu. Percayalah, kita akan jadi Sergey Brin-Larry Page berikutnya dan akan membuat orang-orang gagal-balen menjadi lebih mudah menjalani hidup di dunia yang fana ini.
4. Kamu: Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya – Sabda Armandio
Menjamurnya novel coming–of-age di luar negeri dengan ragam varian bertutur berbanding terbalik dengan cerita serupa di sini. Nama-nama seperti Stephen Chbosky dengan The Perks of Being Wallflower, Tim Sharp dengan The Spectacular Now, atau John Green denganThe Fault in Our Stars, bisa dengan mudah kita nikmati sebagai suara remaja membicarakan hidupnya. Sedangkan novel-novel remaja yang ada di sini kebanyakan masih mengikuti pola cerita cinta FTV yang lugu: bertemu-marahan-jadian-
Munculnya novel Kamu: Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya karya Sabda Armandio merupakan angin segar. Ia jenaka, cerdas, sekaligus kritis mengulik ruang psikologis remaja, lengkap dengan pilihan-pilihan di hidup dan pandangannya terhadap segala sesuatu. Jika saja saat masih remaja saya sudah membaca buku ini, tentu saya akan punya pandangan lain terhadap dunia–begitu pula Dhani, saya kira.
3. Identitas dan Kenikmatan – Ariel Heryanto
Apa yang membedakan Ariel Noah dan Ariel Heryanto? Untuk nama pertama, sila tanyakan kepada Kak Arlian Buaya sebagai penganut Noahisme, sedangkan nama yang kedua adalah penulis buku bagus ini.
Nama Ariel Heryanto tentu bukan nama asing bagi mereka yang suka membaca isu sosial, politik, maupun kebudayaan. Di buku ini, Ariel berusaha mengupas sisi identitas kelas menengah pasca Orde Baru terhadap budaya populer dalam menghadapi kebebasan global. Ia juga menyisir kontradiksi pada islamisme yang dianut oleh orang-orang kota, lengkap dengan analisis tren mereka seperti hijab-fashion dan lain-lain.
Jika ciri buku bagus adalah, seperti yang dibilang Dhani, yang renyah dibaca, saya kira buku ini juga demikian. Bedanya, tidak hanya renyah, melainkan juga penuh analisis bermutu tentang kondisi hari ini, khususnya masyarakat urban.
2. The Innovators – Walter Isaacson
Sulit untuk tidak menyertakan buku ini sebagai salah satu buku paling menarik tahun 2015, apalagi jika Anda sudah membaca biografi Einstein & Steve Jobs karya Walter Isaacson. Saya salah satu yang menunggunya hadir, dan ini jauh lebih berat daripada menunggu gajian tiba tiap awal bulan.
Buku ini memberikan kita standar yang asyik perihal menulis orang-orang yang mengubah dunia, dengan riset yang ketat dan tetap enak dibaca laiknya karya jurnalisme sastrawi. Innovator yang dimaksud oleh Isaacson adalah mereka yang membuat revolusi di dunia digital. Mereka ini adalah orang-orang yang sebenarnya mencipta ulang dari para penemu sebelumnya dan ada keterkaitan dalam dunia kosmik para penemu ini. Hal itu diceritakan dengan menarik oleh Isaacson.
Saya kira, jika Menteri Pendidikan Anies Baswedan sadar dan ngerti pentingya buku ini, maka buku ini akan ia tempatkan di sekolah-sekolah, dibaca oleh para siswa dan mereka akan mulai mencipta hal-hal baru. Sayangnya pemerintah lebih suka ngurusin politik absurd dibanding buku.
1. Tidak ada
Satu hal yang saya benar-benar sepakat pada Dhani, tidak adanya buku yang benar-benar menarik untuk dijadikan yang terbaik tahun ini, dan hal ini membuat saya terpaksa mengosongkan nomor pertama dalam daftar buku terbaik 2015.
Tentu saja ini boleh diisi buku dari Twitwar ke Twitwar karya Dhani yang disebutnya buku terbagus abad ini. Tapi, saya kira, kita perlu membaca lagi kutipan dari orang yang diejek oleh Dhani, Haruki Murakami, begini:
”Jika kau hanya membaca bacaan seperti kebanyakan orang baca, kau hanya akan mampu berpikir seperti yang mereka pikirkan.”