Wisuda jadi momen yang ditunggu banyak mahasiswa. Tidak sedikit yang rela pontang-panting, bahkan menghalalkan segala cara, demi bisa lulus kuliah dan mengikuti wisuda. Tidak mengherankan, seremoni kelulusan memang diatur sedemikian rupa supaya jadi kenangan tak terlupa. Mulai dari memakai jubah dan topi toga, mendapat bunga, hingga berfoto bersama keluarga dan teman-teman.
Akan tetapi, euforia itu lebih banyak dirasakan pada wisuda mahasiswa S1 atau sarjana. Sementara wisuda mahasiswa S2 atau magister kebanyakan tidak dirayakan semeriah itu. Padahal, kalau dipikir-pikir lagi, menyelesaikan studi magister tidak kalah sulit dibanding sarjana. Lantas apa yang membuat wisuda S2 tidak seheboh wisuda S1 ya?
Orientasi studi yang berbeda membuat perayaan wisuda yang berbeda pula
Di Indonesia menempuh S1 sudah jadi semacam alur hidup. Setelah seseorang melewati pendidikan formal selama belasan tahun dari SD hingga SMA, kurang afdal rasanya kalau tidak lanjut ke jenjang pendidikan tinggi. Saking populenya gelar sarjana, kalian dapat dengan mudah menemukan lulusan S1 di Indonesia.
Menjamurnya sarjana di Indonesia bukan tanpa sebab. Selain banyak lowongan kerja yang mensyaratkan lulusan S1, kini sarjana jadi semacam status sosial. Tidak heran, ketika seseorang mencapai titik ini, banyak orang akan merayakannya. Selain memang capaian (sekecil apapun itu) patut dirayakan, wisuda perlahan berubah menjadi tuntutan sosial.
Beda cerita dengan wisuda magister atau S2. Studi lanjut dipandang lebih sebagai pilihan daripada tuntutan sosial. Itu mengapa, mereka yang lanjut S2 kebanyakan adalah orang-orang yang memang sudah menentukan jalan hidup atau karier. Biasanya sih, mereka yang lanjut S2 hendak berkarier di dunia akademik dengan menjadi dosen atau peneliti. Bisa juga mereka memang membutuhkan ilmu tambahan untuk pekerjaannya atau persyaratan naik pangkat. Pokoknya jenjang magister jadi semacam salah satu cara mencapai tujuan daripada jadi tujuan akhir. Itu mengapa, momen kelulusannya kurang begitu dirayakan.
Ekspektasi masa depan yang berbeda membuat lulusan S2 enggan berfoya-foya
Lulusan S1 mayoritas masih idealis, penuh mimpi, hingga belum punya banyak beban hidup. Itu mengapa lulusannya memandang wisuda sebagai gerbang menuju kebebasan yang perlu disambut meriah. Sedikit dari mereka yang tahu bahwa dunia kerja tidak kalah menyiksa dari menempuh studi.
Lagi pula, kalau merasa kurang cocok dengan dunia kerja, mereka bisa kembali lagi ke dunia studi dengan cara menempuh studi S2. Terdengar seperti pelarian memang, tapi itulah yang banyak terjadi seperti sekarang ini.
Berbeda dengan lulusan S2, mayoritas dari mereka pernah mencicipi dunia kerja. Terlebih, dari sisi usia, kebanyakan lulusan S2 sudah berkeluarga. Itu mengapa, prioritas mereka adalah ilmu selama studi dan lulus. Wisuda lebih dipandang sebagai selebrasi yang nggak perlu-perlu amat. Bahkan, tak jarang, undangan wisuda hanya berakhir menjadi pengingat di kalender yang terlewat begitu saja karena terbentur jadwal kerja.
Dinamika perkuliahan turut membentuk perspektif mahasiswa dalam melihat wisuda
Merampungkan kuliah S1 bukan hanya soal gelar, tapi juga potret perjuangan bersama teman satu angkatan. Banyak kenangan terukir seperti masa-masa ospek dan KKN hingga ingatan lembur mengerjakan tugas bersama. Jalinan emosional yang terbentuk selama bertahun-tahun akan memunculkan keterikatan serta kesepakatan tak tertulis untuk lepas berbarengan dari dunia kampus.
Bandingkan dengan atmosfer wisuda S2 ketika lingkup pertemanan menyempit hanya sebatas kenalan sesama satu program studi. Ditambah lagi, obrolan seringkali hanya berkisar pada materi kuliah atau tenggat tugas. Tidak ada sejarah keluyuran bersama selepas jam kuliah yang justru memunculkan tunas persahabatan. Dinamika sosial mahasiswa S2 yang cenderung lebih individualistis mengaburkan kehangatan antar angkatan.
Pada akhirnya, kenangan wisuda S1 mungkin akan selalu terpatri sebagai babak awal yang penuh semangat bagi mereka yang masih dipenuhi idealisme masa muda. Namun, atmosfer wisuda S2 yang tampak lebih hening sejatinya menggambarkan kedewasaan intelektual sebagai pembelajar yang mesti memberikan sumbangsih signifikan. Sebab, kenangan yang paling berharga sesungguhnya bukan berupa riuh tepuk tangan, melainkan keyakinan akan bekal ilmu yang siap diamalkan.
Penulis: Paula Gianita
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Sisi Gelap Kuliah S2 yang Tak Diketahui Banyak Orang
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.