Warung Tegal adalah sahabat saya. Baik saat di Jakarta maupun di Surabaya, warteg adalah jawaban ketika saya ingin menikmati makanan rumahan. Walau kadang tampilan makanannya kurang menarik dan tidak fresh alias hasil diangetin berkali-kali, warteg tetaplah penyelamat mereka yang ingin mengisi perut dengan harga lumayan miring.
Saya merasa ada perbedaan antara warteg di Jakarta dan Surabaya. Keduanya tampak mirip, mengangkat konsep warung yang menyajikan makanan rumahan dengan harga terjangkau. Namun, kalau diteliti lebih jauh dari segi bisnis, warteg Jakarta dan Surabaya jauh berbeda. Terutama perihal manajemen, marketing, dan budaya kerjanya.
Saya tertarik ngulik warteg di dua kota besar itu dengan pendekatan POAC (Planning, Organizing, Actuating, dan Controlling). Berhubung saya memang mempelajari ilmu tersebut dan ingin menerapkannya. Sebagai informasi, POAC umumnya digunakan untuk menyusun sekaligus melakukan asesmen terhadap pola manajemen di sebuah entitas bisnis.
Daftar Isi
Perencanaan warung Tegal di Jakarta lebih all out
Pertama, dari sisi planning atau perencanaan, di Jakarta warteg di sana umumnya punya perencanaan bisnis yang matang. Saya nilai begitu dilihat dari modal yang mereka sediakan nggak setengah-setengah. Lokasi yang dipilih oleh pemilik warteg pun sangat strategis. Misal, di dekat kantor, kampus, perkomplekan rumah yang digunakan sebagai kantor, dan kawasan padat penduduk.
Banyak dari mereka punya perhitungan juga mengenai apa saja menu yang laris, jam ramai, hingga pola konsumsi konsumen urban. Itu mengapa, warteg Bahari yang punya cabang di kawasan Jaksel dan Jakbar itu punya menu yang berbeda-beda. Warung Tegal mengikuti pola perilaku konsumen di kawasan setempat.
Sedikit berbeda dengan warung Tegal di Surabaya. Mereka memang punya perencanaan bisnis, tapi bersifat mengalir saja. Mereka lebih berfokus pada menyediakan makanan murah untuk mahasiswa dan pekerja. Tidak banyak riset yang mendalam karena segmentasi pasarnya terbatas hanya pada dua golongan tersebut.
Warteg Jakarta punya pembagian kerja lebih jelas
Kedua dari segi organizing atau pengorganisasian, warung Tegal di Jakarta biasanya punya tupoksi yang rapi dan jelas untuk tiap karyawannya. Terutama, warteg yang sudah berskala atau jaringan luas dari keluarga atau koperasi perantau. Ada pembagian tugas seperti siapa yang masak, melayani pelanggan, kasir, dan bersih-bersih.
Sementara di Surabaya, biasanya dijalankan dengan sistem yang lebih fleksibel di mana satu pekerja bisa bertanggung jawab terhadap beberapa tugas. Hal itu karena jumlah karyawannya yang terbatas atau nggak sebanyak warteg-warteg di Jakarta. Tidak banyak pembagian kerja atau sistem shift. Jika ada pegawai, biasanya masih kerabat. Kalau ada warteg di Surabaya yang baru buka, kebanyakan sistem pembayarannya pun berubah-ubah, misalnya awal makan dulu baru bayar, kemudian bisa beralih ke bayar dulu baru makan.
Cara mempertahankan pelanggan yang berbeda
Ketiga adalah proses actuating atau pelaksanaan. Demi menjaga kesetiaan pelanggan, warung Tegal di Jakarta cenderung memerhatikan aspek profesionalitas. Misal, pelayanan cepat dan efisien, tempat yang rapi dan bersih.
Warteg di Surabaya sebenarnya nggak jauh beda. Hanya saja, dalam menarik dan mempertahankan pelanggan, pemilik, pengelola, atau karyawan biasanya mengutamakan kedekatan personal dengan pelanggan. Kelonggaran seperti praktik perutangan masih ditemukan, meski benar-benar tersembunyi.
Pembeda signifikan warung Tegal di Jakarta dan Surabaya
Keempat atau terakhir adalah aspek controllingnya dalam hal ini adalah perihal pengawasan. Nah sejujurnya, aspek inilah yang tidak menunjukan perbedaan yang signifikan antara Warteg di Jakarta dengan di Surabaya. Proses evaluasi penjualan, control kualitas makanan, dan pengelolaan stok bahan baku dilakukan tidak terlalu terstruktur, hanya berdasarkan feeling, pengalaman, dan volume kebutuhan yang dilihat dari penjualan sebelumnya.
Pencatatan keuangan pun belum tersistematis dengan baik. Karena terus terang, Beberapa pemilik warteg mengaku belum terbiasa membuat laporan keuangan atau mencatat arus kas secara detail.
Selain beberapa poin pembeda pada pendekatan POAC, perbedaan lebih detail juga bisa dilihat antara Warteg Jakarta dan Surabaya ketika dibedah menggunakan konsep marketing mix (bauran pemasaran) yang mengenal prinsip 7P: product, price, place, promotion, process, people, dan physical evidence. Tapi, saya akan bedah beberapa yang jadi pembeda saja.
Pembeda lainnya
Dari sisi product, makanan warteg di Jakarta itu menawarkan variasi menu dari aspek rasa yang beragam tapi konsisten dengan ciri khas Jawa Tengah yaitu manis dan gak terlalu pedas. Sementara di Surabaya, dari yang saya coba di beberapa warteg, rasanya cenderung lebih asin, gurih, dan pedas.
Selanjutnya dari price (harga), menu makanan di warteg Jakarta sangat kompetitif biasanya diselingi dengan beberapa paket makan. Misal, paket Sabar (sarapan Bar-Bar) atau paket Pemadam Kelaparan, yang sering saya jumpai di beberapa warteg di Jakarta. Di sisi lain, warteg di Surabaya punya harga yang relatif lebih murah, hal itu karena saingan mereka dengan warung-warung kecil lainnya juga gak main-main. Masih sering ditemukan, nasi, sayur, telur cuma 7 ribuan.
Kemudian dari segi people atau pelanggan, warteg Jakarta sangat bervariasi. Kalian bisa dnegan mudah menjumpai pekerja kantoran elit baik swasta atau pemerintahan, anak sekolah, anak kampus, pekerja kasar, pekerja agensi, dan penduduk kelas bawah. Sementara di Surabaya, dominasi pelanggannya datang dari para mahasiswa, pedagang pasar, pekerja kasar, dan kalangan kelas bawah. Jadi cakupan pelanggannya tidak seheterogen yang di Jakarta. Hal itu dikarenakan opsi tempat makanan yang lebih murah atau sama dengan Warteg di Surabaya itu banyak. Jadi warganya punya banyak pilihan.
Warung tegal, baik di Jakarta maupun Surabaya, semacam jadi simbol urbanisasi, solidaritas antar warga yang heterogen. Warteg juga jadi gambaran dari perjuangan untuk bertahan dari kerasnya hidup di kota besar macam Jakarta dan Surabaya. Pada akhirnya, warung Tegal akan tetap menjadi oase kuliner rakyat di manapun lokasinya. Dengan catatan, mereka mampu menjaga kualitas, memahami selera konsumen lokal, dan melakukan penyesuaian terhadap perubahan zaman.
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA 3 Makanan yang Sekarang Jarang Ada di Warteg
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.