“Nggak papa upah rendah asal harga tanah juga turun.” Kira-kira demikian salah satu komentar di media sosial perkara upah minimum Jogja. Wah, ada yang menarik dalam komentar tersebut. Saya jadi bertanya-tanya, ‘mana yang lebih penting’ bagi pekerja Jogja?
Selain komentar tadi, ada juga yang berkomentar, “Upah rendah bisa mendatangkan investor. Nanti banyak lapangan pekerjaan.” Komentar ini juga menarik. Sama seperti komentar sebelumnya, saya makin penasaran. Apa sih yang lebih dibutuhkan oleh pekerja Jogja?
Saya tertarik menelaah perkara ‘mana yang lebih penting’ ini. Tentu telaah saya ini sangat dipengaruhi sudut pandang dan pemikiran pribadi. Hasil telaah saya yang berujung pada artikel ini juga bukan way to life Anda semua. Jadi, ndak perlu marah-marah pada isi artikel ini. Lagi pula ada gelombang bahasan ‘mana yang terbaik’ di Terminal Mojok. Dari botol bekas sampai keripik kentang saja bisa diperdebatkan. Jadi, apa salahnya menentukan apa yang lebih dibutuhkan pekerja Jogja saat ini? Hehehe.
Lapangan pekerjaan
Saya mulai perbandingan ini dari opsi yang menurut saya paling tidak bermanfaat. Apakah penambahan lapangan pekerjaan adalah kebutuhan utama para pekerja khususnya di Jogja?
Banyak yang mengamini upah rendah Jogja demi kepentingan investasi. Dan itu adalah logika paling menyebalkan. Pertama, upah minimum tidak hanya bertumpu pada urusan investasi dan mimpi-mimpi kemajuan setelahnya. Upah minimum diputuskan berdasar kriteria hidup layak. Paham?
Cukup ngenes jika kita memandang diri harus nrimo ing pandum hanya demi lapangan pekerjaan. Jogja bukan daerah yang jalan di tempat. Selain kota wisata, Jogja adalah jujugan muda-mudi yang ingin berkuliah. Maka, tidak perlu mimpi perkara lapangan pekerjaan. Kecuali ada perang dunia atau terdengar terompet sangkakala, barulah Jogja menuju krisis lapangan pekerjaan. Memang bukan berarti pekerja Jogja tidak butuh lapangan pekerjaan lebih. Namanya pekerja pasti membutuhkan lapangan pekerjaan. Tapi saya memandang bahwa lapangan pekerjaan bukanlah kebutuhan utama. Tetap ada yang lebih dibutuhkan selain kerja, kerja, kerja, dan tifus. Eh.
Tanah murah
Wah, siapa yang tidak nyinyir melihat harga tanah Jogja yang meroket? Apalagi dengan pembangunan hotel dan apartemen yang ngadi-ngadi. Banyak pihak yang menuntut adanya regulasi “istimewa” perihal kepemilikan tanah ini. Saya juga pernah membaca keluh kesah pekerja, “Nggak papa gaji kecil asal tanahnya murah.”
Saya tidak memandang perkara kepemilikan tanah sebagai hal sepele. Kebutuhan dasar manusia tetaplah sandang, pangan, dan papan. Tapi, tanah murah tetap bukan solusi brilian karena bisa menimbulkan masalah baru.
Dengan regulasi macam apa pun, tanah murah akan menjadi buruan kawanan investor. Terbukti dengan regulasi di Jogja perkara pelarangan tanah basah alias tanah pertanian menjadi tanah pemukiman. Tetap saja banyak sawah yang beralih fungsi menjadi perumahan. Tiwas nandur pari, tukule investasi. Yang terjadi tidak akan berbeda dengan hari ini: akses pekerja untuk mendapat hunian layak akan terjegal permainan kapitalis. Oleh karena itu, menurut saya apa yang lebih dibutuhkan pekerja Jogja adalah:
Upah layak
Mohon dibaca saksama. Upah layak, bukan upah tinggi. Upah layak berarti cukup untuk memenuhi kebutuhan sampai taraf kebutuhan hidup layak. Dan menurut saya ini lebih penting daripada dua mimpi ndakik-ndakik di atas.
Dengan upah layak, maka masalah mendasar pekerja Jogja bisa diselesaikan. Upah layak menjamin pekerja makan cukup, tidur nyaman, dan berpakaian pantas. Belum lagi tersokongnya kebutuhan penunjang lainnya. Selain itu, upah layak akan meningkatkan perputaran ekonomi. Dengan upah layak, tentu menjadi peluang bisnis. Peluang bisnis membuka lapangan pekerjaan baru. Lebih dari itu, bisnis hari ini tidak akan terpaku pada wisatawan dan mahasiswa pendatang.
Terasa tho saat pandemi, banyak bisnis yang kehilangan konsumen. Sedangkan masyarakat Jogja juga harus berpikir ulang untuk membelanjakan upah yang bisa dibilang humble ini. Jika warga Jogja mendapat upah layak, perputaran uang di Jogja tidak melulu dari dompet wisatawan menuju dompet endorsement.
Konklusi
Menurut saya, upah layak tetap lebih worth it dari dua opsi lain. Selama upah minimum masih belum layak, menggenjot wacana tanah murah dan lapangan pekerjaan bertambah hanya menambah keruwetan.
“Tapi bukankah upah minimum sudah sesuai KHL?”
“Buruh kok banyak nuntut?”
“Nanti dikasih gaji gede juga kurang!”
Terus-terusno komen seperti itu, cah bagus!
BACA JUGA Filsuf Kedai Kopi, Berdebat Filsafat Layaknya Dinosaurus Peradaban yang Harusnya Punah dan artikel Prabu Yudianto lainnya.