Di hadapan timnas Indonesia U-23 dan Shin Tae-yong saya berlutut dan berdoa. Saya mendoakan mereka menjadi titik terang dan solusi sepak bola Indonesia.
Kepala ini terasa begitu penuh, seperti ada gemuruh. Adalah 26 Desember 2010, di Bukit Jalil, ketika timnas Indonesia mengkhianati saya. Final yang seharusnya bisa berakhir dengan suka cita, malah berakhir lara, dan meninggalkan bau busuk dugaan dosa. Sejak saat itu, saya berhenti mencintai timnas Indonesia, dari senior, U-23, sampai kelompok usia.
Beberapa tahun berselang, orang-orang tua tamak membawa Evan Dimas dan kawan-kawannya untuk “Tur Nusantara”. Timnas usia muda, bak kawanan sirkus, dipamerkan ke penjuru negeri. Mereka dimandikan dengan pujian dan lampu sorot televisi, untuk kemudian meninggal di kompetisi papan atas.
Saat itu, saya hanya bisa membatin. Sudah benar saya berhenti mencintai timnas Indonesia. Perasaan kacau ini juga merembet ke kompetisi kita. Apa yang bisa diharapkan dari sebuah liga yang masih mengizinkan klub palsu dan pembunuh tetap berlaga di Liga 1? Tidak ada! Kompetisi sepak bola Indonesia, tidak akan pernah lepas dari kejanggalan yang dimaklumi karena kita bangsa “penonton”, bukan “pemain” bola.
Daftar Isi
Timnas Indonesia U-23 dan perkara Shin Tae-yong
Sekitar minggu lalu, salah seorang kawan mengirim pesan. Dia menanyakan akan nonton timnas Indonesia U-23 di mana? Katanya lagi, tim asuhan Shin Tae-yong ini lagi bagus-bagusnya. Pokoknya berbeda dengan yang dulu. Saya membalas pesan itu secepat kilat. Saya bilang begini: “Udah pensiun nonton timnas, apalagi timnas Indonesia U-23.”
“Kenapa?” Tanya dia.
“Cuma ngasih kekecewaan.”
“Bukankah kamu sudah sering kecewa sama Arsenal? Seharusnya sudah terbiasa.”
“Kecewa dari Arsenal memang sakit. Tapi, kecewa karena timnas, sakitnya tak hilang satu dekade.”
Dia mengakhiri obrolan itu dengan sebuah kalimat menggoda. “Coba aja dulu nonton cuplikannya. Timnas Indonesia U-23 bagus, kok. Shin Tae-yong oke. Dia juga lagi diserang terus sama Towel, kesukaanmu dulu.”
Sial! Dia masih ingat obrolan kami dulu sekali. Bahwa memang benar bahwa Bung Towel adalah salah satu komentator kesukaan saya. Apalagi kalau bukan karena suaranya yang empuk dan nyaman di telinga. Namun sekarang, dia sudah berubah. Mulutnya menyembur kebencian, tidak ada nalar, dan tidak lagi mengedukasi.
Tapi saya tidak sedang ingin menulis tentang Bung Towel yang brengsek itu. Saya tergoda oleh godaan teman saya tadi. “Coba aja dulu nonton cuplikannya. timnas Indonesia U-23 bagus, kok.” Dan, tanpa menunggu waktu lama, saya melahap beberapa cuplikan laga timnas Indonesia U-23 di Piala Asia U-23.
Sepak bola yang saya cintai
Saya cukup beruntung pernah kenal dan lalu dekat dengan beberapa penulis taktik semasa masih bekerja di Fandom. Lewat pertemanan itu, saya belajar begitu banyak hal soal sepak bola yang benar. Ah, mungkin kata “benar” terlalu berat di sini. Izinkan saya membuatnya menjadi sederhana menjadi: sepak bola yang enak untuk ditonton.
Kenapa begitu? Biasanya, dan ini menurut saya, sepak bola yang enak ditonton adalah sepak bola yang dimainkan dengan benar. Dan persetan juga dengan tiki-taka. Ia bukan taktik dan sepak bola indah tidak ada kaitannya dengan istilah itu.
Semuanya soal positional play atau skena taktik menyebutnya juego de posicion. Boleh juga menyebutnya “permainan posisi” dan saya tidak akan menyalahkan kamu atas terjemahan bebas nan serampangan itu.
Dan, permainan posisi itu yang saya rasakan ketika melihat beberapa cuplikan timnas Indonesia U-23 di bawah asuhan Shin Tae-yong. Intinya begini: para pemain timnas Indonesia U-23 bermain di posisi yang benar, membuat mereka bisa bertahan as a team dan menyerang dengan jumlah pemain yang cukup. Aliran bola lancar karena pemain ada di ruang yang benar. Enak sekali.
Di Liga Indonesia, mungkin hanya 2 kali saya bisa menikmati sepak bola yang enak. Pertama, Sriwijaya FC ketika dilatih Kas Hartadi. Kedua, PSIM Yogyakarta bersama Erwan Hendarwanto. Sayangnya, cara bermain yang seharusnya bisa menjadi identitas, hilang begitu saja.
Oleh sebab itu, saya bersyukur terjaga sampai tengah malam untuk menyaksikan timnas Indonesia U-23 melawan Korea Selatan U-23. Saya merasa menemukan kembali sepak bola yang saya cintai. Kepada Shin Tae-yong saya harus berterima kasih. Dia bertahan di bawah banyak tekanan, dan sukses membentuk pemain-pemain muda menjadi “sesuatu”.
Semoga timnas Indonesia U-23 juara
Saya ingin timnas Indonesia U-23 juara. Boleh di Piala Asia U-23 kali ini atau kompetisi apa saja yang mereka ikuti. Ini bukan soal kebanggaan atau nasionalisme. Saya ingin mereka juara, supaya kerja keras pemain dan Shin Tae-yong mendapat ganjaran terbaik. Kerja keras itu mudah, yang sulit adalah konsisten.
Kerja keras Shin Tae-yong dan anak-anak muda di timnas Indonesia U-23 ini berbeda bagi saya. Mereka mau membentuk diri sendiri dan masuk ke jalan sepak bola yang benar. Saya muak dengan parade umpan jauh ketika mendapat pressing keras dari lawan. Sakit perut saya melihat para pemain timnas sudah lelah di menit 65.
Saya juga ingin timnas Indonesia U-23 dan Shin Tae-yong juara supaya suara-suara sumbang seperti Bung Towel mati ditelan anjing. Kita tahu ada sesuatu di balik kebodohan Bung Towel. Sesuatu yang menjadi hantu bagi sepak bola Indonesia sejak dulu. Hantu yang menikmati setiap tetes rupiah dari keringat dan darah fans sepak bola.
Saya ingin timnas Indonesia U-23 dan Shin Tae-yong juara karena mereka bermartabat. Saya ingin menyeka luka dan dosa Bukit Jalil dengan status juara. Luka itu sudah menjadi borok dan saya harus mengamputasi cinta untuk timnas.
Oleh sebab itu, di hadapan timnas Indonesia U-23 saya berlutut dan berdoa. Saya mendoakan mereka menjadi titik terang dan solusi sepak bola Indonesia. Semoga dari mereka, dan Coach Tae-yong, sepak bola yang benar menjadi tajuk utama dari palagan kotor sepak bola Indonesia.
Penulis: Yamadipati Seno
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Minta Shin Tae-yong Out? Kok Lucu Sampean
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.