Jualan sempol juga harus pakai strategi, dong!
Dalam memanfaatkan konsumen sebagai komoditas ekonomi, penjual memanfaatkan tiga strategi paling populer dalam pelabelan harga untuk sebuah produk. Pertama, decoy effect atau kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi efek umpan. Sebuah strategi memikat konsumen untuk menentukan pilihan pada produk ketiga yang justru lebih mahal dari dua harga produk sebelumnya.
Sederhananya, konsumen diberi tiga pilihan harga untuk produk yang sama. Namun, ada penambahan item pada setiap pilihan yang secara otomatis menambah harga produk. Misal, harga sebuah buku adalah Rp3.000, lalu sebuah pensil adalah Rp2.000. Sedang untuk gabungan keduanya (efek umpan) menjadi Rp4.500 saja. Sebuah strategi yang melibatkan logika dan psikologi dalam satu waktu.
Kedua, adalah strategi angka 9. Secara sederhana, harga barang pada angka ribuan, ratusan, dan puluhan diberi label 9 untuk menyamarkan kepada konsumen. Padahal harga sebenarnya dari produk tersebut tidak terpaut dengan harga genapnya. Misal harga barang Rp20.000 menjadi Rp19.999 atau menjadi Rp20.999. Strategi ini sendiri paling banyak diterapkan pada swalayan dan pusat perbelanjaan yang sekiranya para pembelinya tidak butuh untuk menawar. Pasalnya, saya sendiri tidak membayangkan strategi serupa diterapkan di pasar-pasar tradisional.
Strategi paling populer yang ketiga, adalah anchoring. Sebuah strategi menawarkan harga tertinggi terlebih dahulu untuk sebuah produk yang utuh. Lalu memberi pilihan harga lebih murah tapi dengan kekurangan-kekurangan tertentu. Intinya penjual mendikte pembeli untuk membeli produk dengan harga yang lebih mahal sekalian. Istilahnya, kalau bisa beli yang mahal kenapa harus yang murah? Sebuah strategi menguras kantong agar lebih cepat habis.
Ketiga strategi ini sudah begitu familier. Setiap ke swalayan atau ke pusat perbelanjaan selalu dihadapkan pada pilihan yang seperti tidak ada jalan lain untuk kembali. Otak dan logika kita seolah dimanipulasi. Hal yang sama bahkan sudah sampai merambah kepada platform belanja online.
Namun, tahukah bahwa dari ketiga strategi psikologi ekonomi paling populer yang saya sebutkan di atas, dua di antaranya telah sangat sering digunakan oleh para penjual jajanan?
Di kompleks tempat tinggal saya dan mungkin juga Anda, terutama jika berdekatan dengan wisata kuliner dan semacamnya, akan sering bertemu dengan penjaja makanan ringan macam pentol atau sempol. Berbeda dengan yang berlaku di swalayan atau pusat perbelanjaan, bahkan sebelum kita benar-benar sadar soal harganya kita seolah sudah dimanipulasi oleh para penjual itu.
Jadi, biasanya para penjual jajanan itu menjual jajanan mereka dengan harga yang murah. Biasanya kalau pentol, hanya Rp500/biji. Kalau sempol biasanya Rp1.000/tusuk. Nah, ini jadi awal penjual jajanan manipulasi kita sebagai konsumen. Strategi anchoring sudah berhasil diterapkan kepada kita. Tanpa disadari kita diberi harga standar dulu yang sebenarnya itu adalah harga original dari produk mereka. Kita hanya diberi pilihan untuk membeli atau tidak membeli. Namun, kalau sudah terlanjur memanggil ya pastinya membeli, dong? Masa penjual sempol dipanggil cuma karena iseng?
Nah, setelah pikiran kita mulai dikuasai, kita akan kembali dimanipulasi dengan strategi decoy effect. Tapi lagi-lagi dengan cara yang sangat halus. Bahkan tanpa perlu ada tawaran kepada kita. Tidak perlu ada sodoran pilihan ketiga. Dan kita masih belum sadar bahaya itu. Jika dipikir, ada logika dan psikis yang coba dimainkan sekaligus para penjual jajanan ini.
Misal saja, harga satu tusuk sempol hanya Rp1.000. Kita, terutama kaum dewasa, saya yakini akan gengsi jika hanya membeli satu atau dua tusuk. Apalagi untuk sempol, abang-abang penjualnya masih harus memasaknya barang 10 sampai 15 menit. Untuk anak kecil mah mungkin akan cuek aja. Toh mereka memang tidak atau belum terpengaruh strategi ini secara eksplisit. Anak-anak masih terpaku pada minta dibeliin atau nangis sejadi-jadinya.
Hal yang sama tidak terjadi kepada orang dewasa. Kita seperti diwajibkan untuk membeli lebih dari yang seharusnya. Ya paling standar, Rp5.000, lah. Ini seolah seperti panduan, kalau membeli kurang dari Rp5.000 sepertinya memang kurang dan tidak etis aja gitu. Kalau membeli lebih dari Rp5.000 takut kebanyakan (apalagi kalau yang makan kamu doang).
Dalam sebuah survei random kepada teman-teman saya perihal harga sempol Rp1.000/tusuk ini, mereka rerata memilih untuk membeli minimal Rp5.000 (lima tusuk) jika sedang “ngidam” jajan tersebut. Kurang dari Rp5.000 menurut mereka sebenarnya masih wajar. Paling nggak Rp3.000, lah (tiga tusuk). Ada gengsi yang mereka jaga sebagai orang yang sudah remaja atau dewasa.
Hal yang sama sebenarnya juga terjadi pada jajanan lain macam pentol, tahu bulat, dan jajanan yang terlihat sepertinya sangat murah untuk satu item. Namun, sebenarnya tidak jika kita bisa melihat secara keseluruhan.
Dalam dunia ekonomi, entah makro atau mikro, pemberian label harga yang sesuai sebenarnya sedikit banyak menentukan apakah produk kita akan laku atau tidak. Makanya banyak pedagang yang setiap hari menentukan harga baru yang dirasa cukup layak untuk produk mereka.
Padahal ya berdagang juga bukan hanya soal label harga. Hal lain macam promosi juga ikut menentukan apakah produk kita akan laku atau malah ditinggal konsumen lama. Bisa tengok apa yang terjadi dengan odading Mang Oleh, yang rasanya anjay banget itu!
BACA JUGA Jual Pulsa Adalah Bisnis Sampingan Terbaik Dekade Ini dan tulisan Taufik lainnya.