Hari paling bersejarah bagi dua insan yang berkomitmen untuk bersama selamanya adalah sebuah pernikahan. Ngomong-ngomong soal pernikahan ini, pasti ada saja hal yang diributkan. Kalau punya budget lebih ya paling pusing milih wedding organizer mana yang oke, kalau punya budget yang pas-pasan ke bawah ya pusing ngirit-ngirit di segala aspek. Apalagi pernikahan kan sebuah momen sekali seumur hidup. Alih-alih mau merayakan kebahagiaan, tapi kok malah pusing sendiri?
Perhitungan dalam menentukan jumlah tamu undangan juga memerlukan siasat yang tepat. Ada pasangan yang memilih untuk mengundang banyak tamu untuk dapat merayakan kebahagiaan mereka bersama. Ada yang memilih untuk mengundang tamu yang dekat saja supaya lebih privasi dan khidmat. Kedua tipe tersebut lagi-lagi menimbulkan problem. Ngundang banyak tamu belum tentu budget-nya cukup, ngundang sedikit tamu nanti dapat pertanyaan, “Kok nggak diundang?” Apalagi kalau ada tipe manusia yang suka nyinyir, “Jangan-jangan hamil duluan makanya nggak ngundang banyak orang.”
Dari beberapa hasil pengamatan dan pengalaman saya ke kondangan, yang paling banyak di nyinyir adalah urusan perut. Yap, bab katering ini selalu jadi bahasan yang nggak pernah lewat. Pernah suatu ketika saya menemani teman saya ke salah satu kondangan temannya. Belum berangkat saja teman saya sudah meributkan jangan sampai telat! Nanti nggak dapat kambing guling!
Sebagian besar pesta pernikahan yang saya hadiri sih konsepnya standing party. Mungkin karena saya tinggal di kota besar. Sudah sangat lumrah datang ke kondangan dan ada banyak stand makanan. Mau makan tinggal antri, dapat makan, laper lagi, antri lagi, gitu aja terus sampai kenyang. Sungguh mirip dengan konsep restauran all you can eat yang sekarang sedang hype. Bedanya kalau di kondangan bayarnya terserah yang ngamplopi aja.
Baru-baru ini saya diundang ke pesta pernikahan salah satu saudara jauh. Saya pun tidak begitu mengenal, tapi menemani orang tua saya saja. Baru mau masuk gedung nih, saudara saya yang lain sudah nyeletuk, “Loh? Bukan standing party nih?” Memang, di pesta pernikahan ini seluruh tamunya akan duduk. Terus makanya gimana? Jangan khawatir… tetep dapet makan. Saudara saya yang lain bilang kalau di sini sistemnya ‘piring terbang’. Loh? UFO dong?
Piring terbang ini bisa dibilang cukup unik. Sebelum makanan dihidangkan ke para tamu undangan, akan ada parade katering. Jadi, para petugas catering ini akan baris mengitari para tamu undangan tentunya dengan dentuman lagunya Cita-Citata, Goyang Dumang.
Setelah selesai parade, makanan mulai dibagikan. Bahasa kerennya sih dimulai dari appetizer, main course, sampai dessert. Entah memang petugas katering nya kurang sigap atau bagaimana, barisan kursi saya dan barisan kursi belakang tidak mendapat semangkuk dessert yang berisi es puter dan puding karena petugas yang membagikan terlewat. Tamu undangan yang lain sudah banyak yang bergegas pulang, di sinilah per-ghibahan dimulai. Tamu undangan yang duduk di belakang saya mulai menyingung perihal tidak kebagian es puter.
Permasalahan es puter pun tidak berhenti sampai situ. Sewaktu saya berjalan ke arah parkiran, ada saja dari rombongan keluarga lain yang ngedumel karena nggak kebagian sop matahari. Kasusnya sama, terlewat begitu saja dari mas-mas katering. Sampai-sampai membahas,
“Suaminya insinyur, istrinya dokter. Lha ini pestane kok kecil?”
Yang lain nyeletuk, “Dokter anyaran.”
Bagi saya yang belum menikah, saya sampai berpikiran bahwa apakah makanan di pesta pernikahan merupakan sebuah standar yang memang harus dipenuhi? Kalau gitu, pengantin nggak perlu dandan di MUA yang bikin pangling, nggak perlu dekorasi dan photobooth pakai korden menjuntai, nggak perlu sewa band pengiring, yang penting katering melimpah, tamu datang lalu kenyang.
Bahkan, saat ini sedang tren review makanan di kondangan. Biasanya si dilakukan sama para food vlogger yang diundang ke pesta pernikahan food vlogger yang lain. Ini kan acara nikahan, kenapa jadi bahan buat konten YouTube?
Suguhan makanan di pesta pernikahan ini sudah seperti standar yang harus dipenuhi oleh yang punya hajat. Intinya, makanan di pesta pernikahan ya harus lengkap, enak, banyak, dan bisa dibayar amplop kosongan. Yang penting kenyang!
Perhitungan jumlah makanan yang dipesan ini sebenarnya dan seharusnya kan sudah bisa dihitung. Kalau ngundang 200 tamu ya dikali 2 saja karna biasanya tamu undangan kan datang berdua. 200 porsi x 2 = 400 porsi. Kalau mau dilebihin ya 450 porsi untuk jaga-jaga. Kalau makanan sudah habis sedangkan tamu masih banyak yang belum datang? Ya coba ditengok kanan-kiri, ada nggak yang diam-diam bungkus makanan, atau ada orang yang nggak dikenal tiba-tiba datang?
Bukan hanya porsi, standarisasi rasa makanan juga mengudang ghibah dari tamu.
“Siomaynya alot, bumbu kacangnya keasinan.”
Sudah untung diundang, nyemplungin amplop berapapun si pengantin juga nggak tahu. Makan all you can eat kapan lagi ya, kan? Masih aja komentarin rasa makanan. Itu yang nikah, di atas panggung apa kupingnya nggak panas?
Mau pernikahan mewah ataupun sederhana, tujuan utama tamu di undang ke hajatan ini adalah agar turut merasakan kebahagiaan dan mendoakan si pengantin. Semoga rumah tangga yang baru dibangun ini selalu sakinah, mawaddah, warohmah. Baru juga awal membina rumah tangga, pesta udah jadi bahan ghibahan. Kalau mau makan enak dan sepuasnya, ya di restauran all you can eat. Tapi bayarnya nggak bisa pakai amplop kosongan loh, ya.
Hadeh, warga +62~
BACA JUGA Jenis-Jenis Orang di Dunia Per-kondangan-an atau tulisan Talitha Ardelia lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.