Satu hal dari Indonesia yang bisa dibanggakan sedikit berlebihan adalah soal kuliner. Dilatarbelakangi keragaman suku dan budaya, masing-masing daerah di Indonesia mempunyai makanan khasnya sendiri. Bagi masyarakat, makanan bukan sekadar pengisi perut, melainkan lebih dari itu.
Makanan adalah simbol tradisi yang mengandung makna mulai dari proses pembuatan sampai ketika siap untuk disantap. Makanan tertentu bahkan bisa menyiratkan simbol kebersamaan dan kehangatan. Hal ini dikarenakan beberapa jenis makanan disajikan dalam momen-momen perkumpulan keluarga, kerabat, dan hubungan lain.
Salah satu jenis makanan yang sering disajikan untuk dimakan bersama-sama adalah martabak. Memang tidak mutlak, tapi kebanyakan orang tidak membeli martabak untuk dimakan sendiri. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi fenomena ini. Misalnya karena porsi martabak yang memang relatif banyak serta kebiasaan kalangan tertentu yang menyajikan martabak dalam acara besar seperti hajatan.
Sejarah martabak
Seperti kebanyakan makanan lain, martabak juga mempunyai sejarahnya sendiri. Ada dua jenis martabak yang biasa dijumpai di Indonesia, yaitu martabak manis dan martabak telur.
Martabak manis identik dengan daerah Bangka Belitung sebagai daerah asal pembuatnya. Konon, martabak di Bangka disebut Hok Lo Pan (kue orang Hok Lo). Umumnya, martabak manis di Indonesia diisi dengan cokelat atau keju. Kini, martabak manis juga punya beragam variasi topping lainnya seperti kacang, ketan hitam, hingga taburan Oreo dan olesan Nutella.
Sementara martabak telur merupakan hasil akulturasi hidangan India yang disesuaikan dengan lidah orang Indonesia. Konon, ada seorang saudagar India yang menikah dengan seorang wanita asal Lebaksiu, Tegal, Jawa Tengah. Saudagar ini mahir membuat martabak dan disesuaikan dengan cita rasa orang Indonesia. Berdasarkan data yang dilansir dari Detik Food, saat ini hampir 80 persen warga Lebaksiu, Tegal, memiliki keahlian membuat martabak telur.
Martabak Tegal yang lebih dikenal sebagai Martabak Lebaksiu
Jika kamu termasuk penggemar martabak, kamu mungkin akan menjumpai beberapa “brand” martabak yang dipakai di gerobak untuk berjualan. Entah namanya diambil dari nama pembuat martabak itu sendiri, nama istri, bahkan nama daerah.
Biasanya yang paling sering kita jumpai adalah “Martabak Bangka” dan “Martabak Lebaksiu”. Hal ini tentu tak mengherankan mengingat sejarah martabak tadi. Meski sebenarnya tidak ada perbedaan antara keduanya, penggunaan nama daerah asal ini cukup menjadi sentimen bagi beberapa orang. Beberapa orang mungkin memedulikan bagaimana “Bangka” dan “Lebaksiu” bisa membantu mereka menentukan penjual martabak terbaik.
Sebagai seorang yang lahir dan besar di Tegal, saya cukup familier dengan martabak dan bisnis martabak. Kakak saya, kedua paman dari pihak ibu, dan ketiga paman dari pihak ayah saya hingga kini menjalankan bisnis martabak di daerah perantauan mereka. Begitu juga dengan tetangga saya, banyak di antara mereka yang memilih karier menjadi penjual martabak.
Sejak kecil, saya menyimpan pertanyaan besar, kenapa orang-orang di kampung halaman saya tetap banyak yang tertarik untuk menjalankan bisnis ini padahal sudah banyak sekali pesaingnya?
Mungkin hal ini hanya terjadi di daerah asal saya mengingat kisah sejarah tadi ikut andil dalam melahirkan ratusan hingga ribuan penerus bisnis martabak di Tegal. Tak hanya membuka usaha di Tegal, para pembuat martabak ini juga berjualan martabak hingga ke kota perantauan seperti yang dilakukan oleh saudara-saudara saya. Untuk sedikit meredakan rasa penasaran, saya mencoba menanyakan hal ini kepada salah seorang pedagang martabak Lebaksiu di daerah Pondok Melati.
Ketika saya tanyakan alasan memilih bisnis martabak, blio menjawab bahwa dirinya tumbuh di lingkungan yang memberi kemudahan akses untuk mempelajari pembuatan dan penjualan martabak Tegal. Setelah cukup menguasai, blio merasa mampu untuk menjalankan bisnis tersebut. Blio juga menambahkan bahwa bisnis martabak punya masa depan yang cukup baik mengingat martabak merupakan jajanan yang sudah ada selama puluhan tahun dan masih jadi favorit sebagian orang hingga kini.
Saya yakin, yang punya alasan serupa tak hanya pedagang martabak yang saya tanyai tadi. Saya telah mengamati sendiri bagaimana orang-orang yang punya bisnis martabak, terutama yang sukses, cenderung mewariskan bisnisnya pada saudara atau keturunannya. Hal inilah yang membuat Tegal seolah tidak akan terkena krisis martabak mengingat banyak orang yang masih gencar mempertahankan untuk berjualan martabak.
Penulis: Aulia Septia Wati
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA 6 Mi Ayam Jogja yang Unik untuk Perkaya Petualangan Rasamu.