Bukan rahasia lagi bahwa gaji guru di Indonesia hanya seuprit dari hasil pendapatannya penulis esai di Mojok, itu pun dirapel. Seperti yang sudah-sudah, isu tentang gaji profesi ini kembali menguak di masa-masa yang, kalian tahu sendiri lah.
Bahkan Merdeka.com melaporkan bahwa rata-rata gaji guru PNS di Indonesia per tahun adalah Rp126 Juta, selevel lebih rendah dari gaji guru di India, yang sebesar Rp147 juta per tahun. Itu yang PNS. Belum lagi guru honorer yang gajinya di bawah Rp1 juta per bulan. Sebuah realitas yang pahit, tapi begitulah keadaannya.
Fakta yang lebih pahit lagi, gaji yang rendah ini juga berbarengan dengan kualitas mereka yang rendah. Ahli World Bank, pada 2021, menilai bahwa kualitas guru di Indonesia masih rendah. Sedangkan menurut rilis wordtop20.org, kualitas Pendidikan di Indonesia dua tahun terakhir ini masih betah di urutan ke-67 dari 209 negara. Padahal BPS Melaporkan jumlah guru layak ajar di Indonesia meningkat pada 2022/2023, naik 2,70%, yaitu sebanyak 3,31 juta.
Gaji rendah ditambah dengan kualitas pendidikan yang juga rendah seolah-olah jadi lingkaran setan di dunia pendidikan. Menuntut guru untuk berkualitas agaknya berat, mengingat pendapatannya tak mencukupi buat beli buku. Jangankan buku, kuota internet buat nonton video Youtube Guru Gembul saja belum cukup. Di sisi lain, menuntut kenaikan gaji bagi guru juga berat, mengingat kebanyakan mereka tidak berkompeten dalam mengajar.
Apa sebenarnya yang terjadi? Siapa yang memulainya terlebih dahulu?
Daftar Isi
Asal S1, bisa jadi guru
Saya akan memulainya dari tahun 2020, ketika dunia sedang dilanda pandemi dan pengangguran ada di mana-mana. Saat saya pulang ke kampung halaman, tak sedikit teman-teman saya yang tiba-tiba jadi guru bermodalkan ijazah S1. Ini buruk, karena kebanyakan mereka bukan S1 keguruan.
Karena sudah jadi kebiasaan, saya pun, yang kebetulan juga S1, lebih tepatnya jurusan Sastra Inggris, juga pernah disuruh jadi guru. Ya, sesuai dengan jurusan saya, saya disarankan untuk mengajar Bahasa Inggris.
Ya, saya memang lulusan Sastra Inggris. Dulu waktu di kampus saya pernah belajar 6 Tenses, Vocabulary, Ilmu Terjemahan, dan segala tetek bengek kebahasa-Inggrisan. Tapi masalahnya ada satu hal yang tak diperhatikan oleh orang-orang: kami tidak pernah diajarkan cara mengajar.
Mungkin ada yang bakal membantah, “Emang kenapa? Kan bisa belajar sambil melakukan?”
Ya, inilah penyebabnya kenapa lingkaran setan dunia pendidikan tadi terjadi. Ironisnya, profesi guru tidak ditempati oleh orang-orang yang bukan bidangnya. Semua orang, tanpa peduli apa latar belakangnya bisa menjadi guru.
Bayangkan orang nganggur tiba-tiba disuruh jadi pilot
Sayangnya hal yang sama tak berlaku bagi profesi yang lain. Bayangkan misalnya, orang yang nganggur tiba-tiba disuruh menjadi dokter bedah, jadi pilot, jadi polisi, dan jadi tentara. Saya rasa siapa pun bakal sepakat jika lembaga-lembaga yang saya sebutkan barusan diisi oleh sembarang orang, tanpa perbekalan dan sertifikasi apapun, pasti profesi-profesi tersebut akan diisi orang-orang yang tak berkualitas.
Diperlukan tenaga yang profesional untuk menangani orang sakit. Perlu orang-orang yang ahli untuk mengendalikan pesawat. Apalagi objek yang ditangani sesuatu yang menyangkut kemaslahatan orang banyak. Tapi sayangnya, konsep yang sama jarang berlaku di dunia pendidikan.
“Belajar sambil melakukan” pasti penuh dengan trial and error. Belajar bermain piano, kendati suaranya sumbang, tak bakal merusak piano. Tapi belajar mengajar di kelas, di mana di sana ada manusia-manusia yang sedang bertumbuh, baik secara psikis maupun fisik, tentu saja apa pun yang kita lakukan di kelas, pasti akan membekas sampai mereka tua.
Inilah yang jarang diperhatikan oleh insan pendidikan. Mereka cenderung menjadikan para murid sebagai kelinci percobaan para guru-guru yang baru nyoba-nyoba ngajar. Emang belum cukup selama ini para murid jadi bahan percobaan berbagai macam kurikulum? Ini mereka harus jadi bahan latihan mengajar para orang-orang nganggur yang terpaksa menjadi guru.
Semua orang bisa ambil PPG ini gimana ceritanya?
Mirisnya ini tak hanya terjadi lantaran para guru diisi oleh orang-orang yang tak dilatih jadi guru, tapi kurikulum dan pengajaran di jurusan Pendidikan di perguruan tinggi juga mendukung rendahnya kualitas guru. Mana buktinya? Ayo kita pertanyakan, mengapa lulusan S.Pd harus mengikuti Pendidikan Profesi Guru untuk menjadi guru? Tentu saja jawabannya adalah untuk menyeleksi insan-insan yang berkualitas dan berkompeten. Tapi apa gunanya mereka belajar empat tahun untuk jadi tenaga pendidik?
Itu artinya sistem sendiri seolah-olah tidak percaya dengan lulusan keguruan. Saya curiga penyebabnya adalah kurikulum di perguruan tinggi kurang mengajari calon guru untuk menjadi guru. Atau, seperti yang semua orang curigai, jangan-jangan benar mereka selama kuliah lebih diajarkan untuk jadi tenaga usaha sekolah, dibanding ilmu cara mengajar dengan baik.
Dan yang lebih mencurigakan lagi adalah, ternyata PPG tak cuma berlaku bagi lulusan keguruan. Semua jurusan juga boleh mengikuti yang namanya PPG Pra-jabatan. Ini sama halnya dengan, yang kuliah pendidikan harus kuliah dua kali, sedangkan semua jurusan cukup dengan pelatihan sekali, mereka bisa langsung jadi guru.
Dari beberapa masalah ini, kita jadi tahu bahwa dari awal tenaga pendidik tidak benar-benar dipersiapkan dengan benar. Dari mulai kurikulum yang diterapkan di perguruan tinggi keguruan, hingga siapapun bisa jadi guru, adalah lingkaran dilematis yang terjadi di dunia Pendidikan. Di satu sisi kita menuntut mereka jadi tenaga ajar yang berkualitas, di sisi lain, gaji mereka nggak naik-naik.
Jujur saja, ini yang membuat saya takut nganggur, karena khawatir nanti disuruh jadi guru. Bukan karena profesi ini hina, tapi jika saya jadi guru, maka jumlah guru yang tak kompeten akan bertambah satu.
Penulis: Rinaldi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Dear, Pemerintah, Gaji Guru Idealnya Segini, Harusnya Lebih Malah