Beberapa hari terakhir kabar rencana kenaikan tarif Transjakarta santer terdengar. Tarif Bus Rapid Transportation (BRT), salah satu tulang punggung transportasi publik di Jakarta dan daerah penyangga, akan naik menjadi antara Rp5.000-Rp7.000. Selama ini, tarif transjakarta dipatok flat Rp3.500 dan belum pernah mengalami kenaikan selama 20 tahun terakhir.Â
Sebagai pengguna setia Transjakarta (TJ), saya sungguh terbantu akan keberadaannya. Bayangkan, dengan kocek Rp3.500, saya bisa bepergian dari Tangerang ke Jakarta Pusat. Kalau saya naik sebelum jam 7 pagi, tarifnya cuma Rp2.000 malah. Padahal, dua daerah ini cukup jauh. Nggak heran kalau bus lain mematok tarif hingga Rp15.000.Â
Itu mengapa, saya sebagai pengguna setia cukup memahami wacana kenaikan tarif Transjakarta. Beban subsidi TJ sudah cukup memberatkan, jadi ongkosnya pun sudah saatnya dinaikkan. Wacana perubahan yang hampir menyentuh 50 persen ini jelas mengundang pro dan kontra. Saya di tim pro dengan 4 catatan penting ini.Â
#1 Armada ditambah agar penumpang tidak menunggu terlalu lama
TJ merupakan primadona bagi warga Jakarta, tak terkecuali wilayah penyangga sekitarnya (Bodetabek). Integrasi dengan moda lain pun menjadi nilai plus TJ yang memudahkan mobilitas pengguna. Namun, ada satu hal yang membuat saya agak kecewa dengan TJ, yaitu waktu menunggu yang panjang
Saya sering menunggu TJ terlalu lama. Padahal, di Google Maps kita bisa lihat interval waktu armada satu dan yang lainnya. Sayangnya, tidak semua sesuai kenyataan di lapangan. Bilangnya 8 menit lagi bus datang tapi 15-20 menit kemudian baru muncul. Mungkin jumlah armada mempengaruhi ini, jadi saya harap sih naiknya ongkos TJ dapat dibarengi dengan penambahan armada baru.
Kalau boleh request, penambahan jumlah bus listrik diutamakan. Armada yang sudah usang dan jadul sebaiknya ditiadakan demi kenyamanan bersama. Aman lah mau naik 100% juga asal pengguna merasakan service yang excellent.
#2 Evaluasi driver Transjakarta agar tidak ada lagi yang ugal-ugalan
Hal buruk yang sering saya alami bersama TJ adalah dapat driver yang nyetirnya nggak nyantai. Bisa jadi karena ada jalur busway sendiri, jadi seenaknya membawa penumpang. Lain halnya jika naik TJ via tol, meski macet ya tetap berusaha selip sana sini. Selain itu, ngerem mendadak menjadi kebiasaan mereka, ya nggak semua tapi kebanyakan begitu.
Saya percaya PT Transjakarta tidak asal merekrut pramudi, ada kualifikasi yang harus terpenuhi. Sebelum terjun ke lapangan, mereka diberikan pembekalan termasuk bagaimana cara menyetir TJ yang benar dan bersahabat. Tapi kenapa masih ada yang ugal-ugalan? TJ kan salah satu transportasi publik unggulan Pemprov DKI yang harus mencerminkan hal-hal positif.
Jika ingin menaikkan ongkos TJ, minimal drivernya nggak serampangan saat di jalan. Keselamatan dan kenyamanan pengguna adalah prioritas utama.
#3 Kualifikasi driver sebaiknya yang mengerti semua rute di Jakarta
Pernah nggak kamu naik kendaraan umum, tapi rasanya kayak diculik? Saya pernah mengalami hal aneh ini di TJ. Untuk kenang-kenangan, saya menuliskannya juga di Terminal Mojok. Saat itu naik TJ rute Pulogadung-Monas tapi supirnya nggak paham jalan karena (alasannya) baru di jalur tersebut. Alhasil, kami dibawa berkeliling Jakarta Pusat dan berakhir di Monas lagi.
Nah, kejadian kayak gini semestinya tidak ada di kamus Transjakarta ya. Sekelas transportasi andalan warga kok bisa nggak tahu rute di Jakarta Raya ini? Kalau memang pindah ke koridor lain, ya sebelumnya pelajari dulu petanya. Atau, bisa tanya penumpang dan bukan menciptakan drama mengunci kami di dalam bus. Kalau tarif TJ naik tapi kualitas drivernya masih ada yang kurang, ya buat apa.
#4 Revitalisasi halte Transjakarta yang kurang nyaman
Meskipun sudah banyak halte TJ yang mewah dan nyaman, saya masih menemukan beberapa pemberhentian yang kurang apik. Ada yang ruang tunggunya sempit dan ada pula kalau musim hujan ya penumpang ikutan basah. Selain itu, untuk TJ Tangerang misalnya, saya agak malas naik ini karena halte seadanya di pinggir jalan. Ditambah lagi waktu tunggu yang lama, aduh ingin komplain di medsos rasanya.
Halte itu termasuk fasilitas utama pengguna bus karena kami butuh tempat menunggu yang layak. Nggak perlu mewah dengan spot foto estetik atau bertingkat layaknya mall. Cukup dengan area duduk yang luas dan ada atapnya biar nggak kehujanan atau kepanasan. Ongkos mau naik 100% nggak masalah buat saya, ya asalkan halte-halte kecil direvitalisasi untuk kenyamanan bersama.
Jika tarif Transjakarta jadi naik, semoga keempat hal di atas pun segera direalisasikan. Saya yakin dengan begitu akan semakin banyak warga yang rajin naik TJ dan kemacetan di ibu kota pun akan berkurang. Semoga saja ya …
Penulis: Rachelia Methasary
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA 5 Penderitaan Warga Tangerang yang Sehari-hari Naik Transjakarta Koridor T11.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















