Menyesali masa lalu sepertinya menjadi tajuk utama perasaan saya sebagai buruh pabrik yang dulu begitu mendambakan pemimpin merakyat. Bukan dari kalangan bangsawan dan militer, muncul di antara politikus senior. Saat sudah mulai jenuh dengan intrik partai politik (parpol), Jokowi muncul membawa harapan tokoh yang bukan dari pimpinan parpol. Menjanjikan beragam program kesejahteraan rakyat miskin yang ditunjang dengan metode kampanye blusukan yang membius empati masyarakat.
Saya pun menjadi salah satu pengagum dalam kepiawaiannya menyoal komunikasi politik. Setelah merenung, tampaknya hanya siasat menjadi diktator ketika berkuasa. Oposisi direkrut dalam pemerintahan, bungkam saat rakyat menjerit kesusahan dan kelaparan. Di sisi lain, tim buzzer mengerahkan pasukan menyerang masyarakat di balik kecacatan logika tentang kesejahteraan, kemiskinan, dan keadilan.
Tidak ada lagi yang bisa dipercaya dalam agenda politik Jokowi. Memilih golput jadi dilema ketika memasrahkan pemimpin kepada orang jahat. Ketika sudah ikhlas memilih, malah dikibuli sama tokoh-tokoh politik yang pura-pura berpenampilan baik. Setelah menjabat, anarkisme kebijakan mudah diputuskan tanpa analisis mengenai dampak dan risiko terhadap rakyat. Di Indonesia yang katanya menganut asas demokrasi pancasila, rupanya rakyat tidak lagi punya peran selain dipermainkan oleh pemerintah.
Tentu saya bicara mengenai kebijakan kenaikan BBM yang berevolusi menjadi akronim Benar-Benar Mahal. Sebagai alumni jurusan Ekonomi Pembangunan, setiap kebijakan tentu punya risiko baik secara domestik maupun nasional. Kenaikan BBM tentu tidak bisa dipungkiri akan berdampak domino terhadap ekonomi. Bahan baku akan meningkat sebab adanya variabel transportasi.
Sementara untuk menutupi anarkisme kebijakan kenaikan BBM, pemerintah menyalurkan bantuan sosial yang harapannya mengurangi beban rakyat. Harga minyak dunia turun, harga BBM stabil. Harga minyak dunia naik, harga BBM melejit. Sedangkan anggaran APBN sibuk digunakan untuk pembangunan infrastruktur yang tidak secara penuh dinikmati masyarakat.
BBM terlanjur naik yang akan mengikuti harga-harga kebutuhan pokok. Sementara saya sebagai buruh pabrik harus bertahan di tengah gaji (UMR) yang pas-pasan. Masih menunggu sekira lima bulan ke depan untuk melihat seberapa signifikan kenaikan gaji dibanding masifnya kenaikan harga konsumsi. Atau mungkin malah tidak ada kenaikan UMR sebab adanya kongkalikong dengan pemerintah yang luber dengan janji.
Akhir jabatan
Belum genap berdemokrasi sebab usulan perpanjangan masa jabatan atau kampanye tiga periode, Jokowi malah santai membiarkan narasi tersebut bergulir yang punya potensi disahkan parlemen. Padahal harusnya ia bisa berbuat sesuatu tentang itu. Sudah dua periode menjabat, sudah cukup.
Namun, yang saya sesalkan adalah, Jokowi terkesan cuek menuju masa akhir jabatan (dengan asumsi dia hanya menjabat dua periode). Oleh karena tidak ada beban pencitraan, terlihat bahwa kebijakan yang ada hanya menjanjikan kesejahteraan kepentingan pribadi dan kelompok di pemerintahan. Tidak lagi mempertimbangkan kepentingan rakyat. Hingga kini, terkesan beliau sibuk pamer mahakarya Ibu Kota Negara (IKN) baru.
Periode ini, akan saya kenang sebagai penyesalan memilih pemimpin yang banyak janji namun hobi mengingkari.
***
Rakyat sebenarnya tidak begitu peduli terhadap prestasi penanganan inflasi, pertumbuhan ekonomi nasional, neraca perdagangan, atau ekspor-impor barang. Rakyat hanya butuh kebijakan yang tidak memberatkan beban hidup di masa depan. Percuma target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,2% dicapai kalau hanya untuk membeli kebutuhan dasar rakyat tidak cukup.
Bagaimana bisa maju ketika asas demokrasi tidak menempatkan posisi rakyat sebagai variabel fundamental pembangunan bangsa. Rakyat jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan karena dianggap mengganggu jalannya program penyengsaraan rakyat. Belum selesai menyeimbangkan ekonomi akibat pandemi, pemerintah sekonyong-konyong menaikkan harga BBM yang punya implikasi luas di berbagai sektor ekonomi dan sosial.
Di akhir masa jabatan, Jokowi cuek dan justru melakukan berbagai kebijakan yang sama sekali tidak pro rakyat. Setidaknya saya menjadi salah satu pencatat penyesalan pernah memilih Jokowi sebagai presiden.
Penulis: Joko Yuliyanto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Cukup Malin Kundang Saja yang Dikutuk, Pemerintah Jangan!