“Saya (Pemda DIY) nggak kuat ngragati (memodali) rakyat se-DIY,” ujar Sri Sultan HB X dilansir oleh CNN Indonesia.
Mungkin rakyat Jogja sempat degdegser ketika beberapa hari lalu Ngarso Dalem menyatakan untuk lockdown totally (bukan salah ketik). Bahkan ujaran blio ini dikemas menjadi konten apik di akun Kota Jogja. Berarti ungkapan untuk lockdown totally ini tidak main-main. Kalau cuma main-main, mana mungkin akun semulia itu membuat konten visual.
Apalagi kalau bicara Ngarso Dalem, pasti yang diungkapkan telah dipikirkan masak-masak. Apalagi Ngarso Dalem punya semboyan abadi “Sabda Pandita Ratu tan kena wola-wali”. Artinya sabda raja tidak boleh plin-plan. Tidak boleh mencla-mencle! Karena titah raja diibaratkan seperti lidah api. Apa yang diucapkan, itulah yang terjadi. Kan monarki gitu loh.
Tapi, baru beberapa hari, instruksi (bernada ancaman) ini segera direvisi. Yang sekarang Ngarso Dalem tekankan adalah PPKM mikro yang sudah beberapa waktu lalu dilaksanakan. Intinya jika harus ada lockdown, maka Pemprov DIY wajib membiayai hajat hidup masyarakat. Dan karena itu, wacana lockdown ini dibatalkan karena perkara biaya tadi.
Apakah ini mencla-mencle? Apakah Sultan tidak melihat potensi berbahaya dari peningkatan kasus positif COVID-19 di Jogja? Apakah Jogja sehumble UMR-nya, sampai Sultan harus terlalu jujur karena tidak bisa ngragati lockdown?
Kalau Anda adalah rakyat Jogja yang baik dan narimo ing pandum, seyogyanya anda memaklumi Ngarso Dalem. Karena tidak mungkin statement blio itu main-main. Bahkan ketika terkesan mencla-mencle, Ngarso Dalem sudah sangat konsisten sejak hari pertama.
Apakah pembatalan lockdown totally ini berarti Ngarso Dalem plin-plan? Tidak! Sejak awal blio menolak adanya lockdown. Tentu dengan quotes utama ,”Rakyat Jogja laper mengko”. Itu sudah diutarakan sejak September tahun lalu. Dan hari ini Ngarso Dalem menolak lockdown sebagai penyempurnaan konsistensi dalam melawan COVID-19.
Saking konsistennya, Jogja tidak pernah sekadar membatasi pergerakan pendatang yang memang potensial menularkan Covid-19. Mau libur Nataru, libur lebaran, sampai sekadar long weekend Jogja selalu penuh wisatawan. Bahkan banyak spot wisata bermunculan di tengah pandemi. Misal objek wisata pinggir pantai yang AMDAL-nya emboh itu.
Jogja juga tetap konsisten menolak lockdown ketika angka kasus positif Covid-19 terus naik. Bahkan seperti tidak ada masalah, Jogja tidak ambil tindakan nyata selain PPKM mikro. Dan ketika gagal, yang disalahkan tetap ketua RT dan RW. Wisatawan yang berpotensi besar menjadi kurir pandemi tidak pernah disalahkan. Toh mereka menggerakkan roda ekonomi.
Lihatlah, betapa Ngarso Dalem konsisten untuk tidak lockdown. Tentu dengan satu suara satu hati, “Rakyat Jogja laper mengko”. Dan karena semangat ini, lahirlah kreativitas nir-ilmiah dari rakyat Jogja. Dari sayur lodeh sampai keinginan mengarak Kyai Tunggul Wulung menjadi jawaban dari lonjakan kasus yang tidak menyegerakan lockdown ini.
Kalau perkara tidak bisa ngragati, rakyat Jogja juga perlu maklum. Kan memang Jogja itu nggak kaya-kaya banget. Buktinya banyak yang bercita-cita “gaji Jakarta, hidup di Jogja”. Sudah jelas kalau di mata orang, Jogja bukanlah tempat yang bergelimang harta. Toh UMR-nya juga kelewat kasihan.
Apalagi bicara pembangunan Jogja, waduh ini sangat krusial. Jogja butuh banyak lokasi baru yang mampu memperindah citra daerah istimewa ini. Dari membeli hotel untuk pusat UMKM, membeli dan merevitalisasi eks bioskop Indra, sampai merubah eks bandara Adi Sucipto jadi pusat UMKM (lagi) perlu biaya besar lho. Apalagi harus memoles Tugu Jogja tiap akhir tahun. Kalau tidak ada obrak-abrik Tugu setiap tahun, rasanya nggak Jogja banget.
Yah meskipun proyek-proyek tadi mangkrak, tapi tetap butuh banyak biaya. Dan yang pasti, mangkraknya proyek seperti eks bioskop Indra ini membuktikan kalau Jogja memang krisis dana. Jadi dana untuk lockdown bisa pikir dua kali dulu. Ada romantisasi yang harus dikejar!
Memang sih, Jogja punya dana keistimewaan yang tahun ini sudah hampir dua triliun rupiah. Tapi kan itu untuk dana kebudayaan. Danais jangan sampai dialokasikan seluruhnya untuk penanganan Covid-19 dan membiayai lockdown. Masak Jogja mau hidup tanpa kegiatan budaya meskipun sedang pandemi. Nanti gelar kota budaya bisa dipertanyakan dong.
Misal ketika kasus Covid-19 di Jogja mulai mengkhawatirkan, Ngarso Dalem tetap membuka dan meresmikan Yogyakarta Royal Orchestra. Meskipun 5M sedang digalakkan, toh mitoni salah satu cucu Ngarso Dalem kemarin tetap harus berjalan. Ngarso Dalem tetap konsisten menjaga predikat Kota Budaya di tengah pandemi. Luar biasa!
Maka sebagai rakyat Jogja, kita bersama-sama tahu diri saja. Jogja tidak mampu melaksanakan lockdown. Meskipun kita senang mengungkit-ungkit sumbangan Kraton Jogja kepada Indonesia yang jutaan gulden itu, sekarang sudah berbeda. Ada banyak yang harus dibiayai Jogja agar tetap romantis bagi wisatawan yang berpotensi memperparah pandemi.
Ya bagaimana lagi. Mari kita bersama-sama menjaga satu sama lain melalui pengawasan akar rumput. Kalau adda gelombang wisatawan, itu tidak akan menularkan Covid-19 kok. Yang harus kita ingat adalah Jogja tidak mampu lockdown, bahkan lockdown lokal seperti Kudus. Tapi tenang saja, masih ada sayur lodeh yang mampu mencegah pageblug!
BACA JUGA Jogja, Destinasi Wisata ‘Terbaik’ di Masa Pandemi dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.