Peningkatan jumlah mahasiswa mewarnai Purwokerto hari-hari ini. Hal ini tentu menjadi kabar baik. Pendidikan bisa menjadi landasan akan masa depan yang lebih cerah. Namun, di sisi lain ada sebuah kenyataan yang membuat saya prihatin. Keprihatinan yang saya maksud adalah meningkatnya jumlah pengamen dan pengemis.
Menurut saya, ini seperti menjadi beban moral bagi sebuah daerah. Yah, supaya yang mendapat harapan akan masa depan bukan mahasiswa saja. Namun, semua orang berhak maju dan hidup layak di Purwokerto.
Realitas Purwokerto hari-hari ini
Saya ingin mengajak pembaca berjalan di sekitar area Grendeng. Area tersebut adalah lokasi bermukimnya banyak mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed). Di sana, Anda bisa melihat realitas Purwokerto sesungguhnya. Grendeng berisi ratusan rumah saling himpit dan gang-gang sempit mendominasi.
Di satu sisi, keberadaan universitas menjadi sebuah kabar gembira bagi investor. Banyak rumah makan mewah berdiri, kafe estetik bertebaran, penginapan kelas wahid menghiasi. Namun, di sisi lain, banyak masyarakat lokal tersisihkan.
Banyak di antara mereka hanya bisa menjadi buruh di kafe, rumah makan, dan penginapan milik investor luar. Mereka menjadi “budak” di rumah sendiri.
Bagi warga lokal Purwokerto yang tidak memiliki modal akhirnya hanya bisa mengakses pekerjaan dengan upah rendah. Misalnya, mereka hanya bisa menjadi tukang parkir. Dan yang kini semakin sering saya lihat, banyak yang menjadi pengamen jalanan dan pengemis.
Realitas yang terpampang nyata menimbulkan sebuah pertanyaan. Sebenarnya apa gunanya kemajuan pendidikan jika masyarakat lokal semakin terpinggirkan?
Baca halaman selanjutnya: Pemerintah tidak boleh membiarkan fenomena ini terus terjadi.