Sejak kuliah di Solo, pun setelah pindah ke Jogja, saya punya banyak jejaring marbot masjid yang sangat berharga. Saya sendiri bukan marbot, dan sampai menikah akhirnya nggak pernah jadi marbot, tapi semua privilege marbot telah saya rasakan secara menyeluruh. Jadi, saya ini kira-kira bisa dikategorikan dalam ikhwan yang beruntung lah ya, beda tipis sama nggak tahu malu sih. Lha wong nggak ikut bersihin masjid, malah selalu kebagian berkah jasmani dan rohani dari kegemaran ngerusuhin para marbot.
Persinggungan pertama saya dengan marbot terjadi di Solo, salah satu senior di organisasi kampus yang saya ikuti adalah marbot masjid di kawasan belakang UNS. Di sana ada tiga kamar khusus untuk marbot, tentunya gratis mereka tempati selama menjadi marbot. Setahu saya sih mereka tidak dibayar, hanya saja diizinkan menggunakan seluruh fasilitas yang ada di lingkungan masjid.
Masjid di daerah belakang kampus Kentingan itulah yang sering kali jadi tempat pelarian saya kalau lagi males banget sama sumpeknya kos binaan. FYI, saya memang salah satu mantan penghuni kos binaan yang kayaknya sih nggak di UNS doang, tapi di seluruh kampus besar berbagai kota Indonesia sangat lumrah dan menjamur konsep kos terprogram semacam ini. Lain kali akan saya ceritakan bagaimana kos binaan menguasai peta perpolitikan kampus.
Kembali pada bahasan marbot, selain bebas tinggal barang satu dua malam, keuntungan lainnya yang saya dapat tentu saja bisa puas membaca koleksi buku beraneka tema milik senior saya itu. Beberapa kejadian lucu pernah dituturkan senior saya itu, misalnya tentang betapa aman kendaraan motor yang terparkir di dalam masjid, meskipun gerbang nggak digembok, motor nggak dikunci porok.
Pernah suatu kali tetangga samping masjid kecurian kendaraan, padahal gerbang rumahnya tertutup, motornya terkunci. Sementara ini motor-motor para marbot yang jelas-jelas pasang badan nggak dikunci stang, malahan nggak disentuh sama sekali dan tetap aman sampai subuh menjelang. Subhanallah, antum memang dilindungi Allah, Akh!
Setelah pindah ke Jogja demi melanjutkan studi, saya bahkan lebih sering berinteraksi dengan marbot masjid. Alasannya sederhana, marbot yang mendiami masjid di daerah Baciro dekat Stadion Mandala Krida itu, adalah kawan seperjuangan saya ketika masih jadi anggota rohis unyu-unyu di SMA dulu. Di sana buku bacaan saya lebih banyak lagi, tiga sisi dinding kamar marbot isinya rak tinggi menjulang, buku semua, wong ini marbot nyambi jualan buku dari penerbit.
Kemewahan lainnya yang saya dapatkan kurang lebih sama lah ya, dengan kenalan marbot di Solo. Tidur gratis, kalau sumuk di kamar bisa pindah ke masjid, di atas permadani empuk, dilengkapi AC alami dari banyaknya ventilasi masjid. Apalagi sepanjang tidur dibarengi dengan kegiatan berpahala sampai pagi, bersedekah darah pada nyamuk-nyamuk yang dengan setia menemani malam-malam saya.
Keuntungan lainnya, tentu saja seperti masjid-masjid pada umumnya di Jogja, selalu ada sajian berbuka puasa gratis. Bedanya, di masjid tempat kawan saya bermukim ini, makanannya selalu yang turah-turah, cukuplah sampai waktu makan sahur nanti. Pasalnya, masjid yang satu ini letaknya memang agak menjorok ke dalam, kalau tidak mau disebut terpencil. Meskipun demikian, nggak jarang dapat nasi kotak sisa pelatihan anak-anak lulusan IPDN yang lokasi pusdiklatnya nggak jauh dari sana.
Selain tiga kamar yang memang disediakan untuk menunjang kehidupan marbot, terdapat pula satu dapur lengkap dengan kompor dan kulkasnya. Buat saya yang selama di Solo nggak pernah masuk ke kos-kosan elit berfasilitas lemari pendingin, adanya refrigerator di dapur marbot kawan saya ini sungguh surga dunia. Apalagi buat saya yang memang peminum berat air dingin. Kulkas gratis ini sangat menyehatkan keadaan finansial saya yang sebelumnya selalu terkuras karena membeli es sehari lebih dari tiga kali di warmindo.
Saya pernah tinggal berbulan-bulan di masjid dekat Stasiun Lempuyangan ini, bukan untuk itikaf ya, tetapi karena kos-kosan saya di daerah Pogung sudah habis masa berlakunya. Dasarnya memang ikhwan gadungan, bukannya bantu-bantu kegiatan dakwah dan membersihkan masjid, saya malah ikut enak-enaknya saja.
Terakhir, karena memang lokasinya hanya berjarak tiga menit dari stasiun, sudah nggak terhitung lagi frekuensi titip motor yang saya lakukan di masjid ini. Demi menghindari biaya parkir inap tiga ribu rupiah per hari di lokasi penitipan motor depan Lempuyangan. Kebetulan waktu itu saya memang kerap bolak balik Jogja–Solo–Pemalang.
Kini, kedua marbot yang sudah saya anggap sebagai saudara itu telah hidup di kontrakan masing-masing. Mereka sama-sama telah menikah dan hidup bahagia dengan istri dan anaknya. Uniknya, bisnis yang hingga kini menopang dan menyambung hidup mereka adalah jualan buku online. Usaha mulia sebagai penyambung ilmu yang saya yakin kelak akan jadi wasilah di akhirat sana.
BACA JUGA Pengalaman Nggak Enak Saat Kerja Jadi Marbot Masjid dan tulisan Adi Sutakwa lainnya.