Mendengar kata Poso, tentu tidak bisa kita lepaskan dari ingatan masa lampau bahwa di tempat ini, pernah terjadi kerusuhan besar yang didasari akan identitas agama. Dengan ribuan korban jiwa serta banyak harta benda yang porak poranda.
Masa lalu Poso yang begitu mencekam, tidak membuat saya gentar untuk datang ke sana mencari pengalaman dan membuka mata bahwa Indonesia itu bukan hanya di Pulau Jawa. Di Poso saya bekerja di salah satu penginapan di pinggir aliran Danau Poso, dekat jalan Trans Sulawesi. Namun karena kejadian hari Minggu lalu, saya pun sadar bahwa ingatan masa lalu tentang kerusuhan Poso ini masih melekat jelas di benak masing-masing warganya.
Hari Minggu, seperti biasanya sebagai orang Nasrani yang taat, tapi tidak taat-taat banget saya pergi ke sebuah gereja yang baru kali itu saya masuki, karena saya bangunnya kesiangan dan kebetulan ada gereja yang baru akan memulai ibadah.
Saya pun memacu motor dinas yang dikasih pinjam sama bos, berupa Honda Win, tanpa STNK, dan plat nomor. Sampai di pintu gerbang ada penjaga yang berjaga saya pun menyapanya dan tak lupa saya memarkirkan motor saya di samping bangunan gereja tersebut.
Dengan gagah, saya pun memasuki bangunan gereja, karena entah kenapa hari itu rasanya perasaan saya senang sekali, yang akhirnya membuat tingkat kepedean saya naik drastis. Berjabat tangan dengan penerima tamu dan duduk di bagian tengah gereja. Kesan saya gerejanya luas dan jemaatnya banyak, tidak seperti gereja di desa saya sudah bangunannya kecil, yang datang itu lagi, itu lagi.
Sambil menunggu kebaktian dimulai saya cek-cek sosial media, buat menghitung orang Nasrani yang riya akan ibadahnya dengan menggunggah stories dengan gambar mimbar gereja dan di pojok dituliskan Happy Sunday. Satu, dua, hingga kurang lebih sepuluh stories dengan konten yang saya tuliskan di atas, ada dalam daftar stories saya pagi itu.
Kebaktian pun dimulai, pendeta memasuki mimbarnya diiringi dengan nyanyian. Sialnya karena baru pertama kali bergereja di tempat itu, saya tidak tahu lagunya, jadilah saya hanya berdiri diam mengikuti lagu dengan khidmat dan bersenandung di dalam hati.
Setelah pujian selesai, saya pun kembali duduk untuk mendengarkan khotbah dari Pendeta yang temanya pagi itu tentang ketulusan dalam melakukan segala hal. Intinya jika segala hal dilakukan dengan tulus, maka Tuhan akan memberkati langkah berikutnya secara terus-menerus.
Saat sedang khusyuk mendengarkan khotbah, tiba-tiba saja dari belakang ada yang mencolek saya. Om-om dengan badan besar, muka sangar dan kacamata hitam yang tergantung di atas topinya. Dalam batin, sudah mak tratap lah pokoknya, walaupun saya yakin, saya tidak melakukan kesalahan sedikit pun.
Om-om itu pun menanyakan apa isi tas yang saya bawa. Saya pun menjelaskan bahwa di dalam tas tersebut ada dompet, handphone, dan sialnya saya lupa mengeluarkan paku dan lakban, karena sehari sebelumnya saya mendapat tugas memperbaiki beberapa kerusakan kamar penginapan.
Hasil akhir lakban dan paku itu pun dibawa pergi oleh om-om itu. Hati saya tenang. Saya kembali mendengarkan khotbah dan beberapa kali membuka handphone saya untuk membaca nas alkitab yang digunakan pak pendeta untuk melengkapi khotbahnya.
Kebaktian pun berjalan lancar, sampai doa penutup, saya kembali dipanggil, kali ini oleh bapak satpam dari gereja. Bapak Satpam mengajak saya untuk bertemu dengan Bapak Polisi yang berjaga di luar. MAK DHEG!!!! Bingung, takut, lemas, semua bercampur jadi satu. Saya kepikiran wah bakal jadi apa saya ini, masa gara-gara paku dan lakban, saya sampai harus berurusan dengan Polisi? Bisa-bisa saya langsung dideportasi ini ke Pulau Jawa, karena membuat masalah di Poso. Mending dideportasi, kalau di penjara di Poso, bagaimana cocot tetangga akan berbunyi?
Saat keluar pun, ada seorang jemaat yang mengintimidasi saya dengan berkata, “heh kamu ya, kamu! Mana teman-teman kamu yang dari tadi dikontak lewat handphone?” Sambil menatap marah ke saya. Tetapi karena saya tidak merasa bersalah dan melihat orang itu marah tapi mukanya jadi lucu, jadinya saya malah cengar-cengir (mohon maaf ya, bapak yang saya maksud).
Polisi sudah siap di pos jaga dan menginterogasi saya. Tempat saya bekerja, bosnya siapa, ke sini sama siapa, buat apa paku serta lakban, kenapa motor tidak ada STNK nya, hingga saya pun diminta KTP. Inilah titik balik saya, “Pak saya tidak mungkin membuat keributan di tempat ibadah saya Pak.” Akhirnya polisi itu percaya dan meminta maaf karena salah paham, dan tak lupa meminta saya untuk menitipkan tas di pos jaga untuk mengurangi kekhawatiran jemaat yang ada di dalam gereja. Saya pun patuh, lagipula yang jaga Polisi ini. Saya pun kembali ke dalam gereja dan mengikuti prosesi kebaktian hingga selesai.
Walaupun ada saja kejadiannya, berkebaktian di gereja baru, jujur saya mendapatkan hikmah dari kejadian ini. Iya, saya langsung terkenal, tanpa perlu mengenalkan diri terlebih dahulu. Ya, meski terkenalnya lewat cara yang nyeleneh. hahaha
Di sisi lain, saya pun bisa merasakan trauma orang Poso akan kerusuhan masa lalu yang pernah terjadi. Ketakutan itu tidak akan pernah hilang, mungkin hingga akhir hayat. Akhirnya menimbulkan paranoid terhadap orang baru, serta hal-hal baru yang muncul. Maka dari itu, saya hanya berharap agar Indonesia tidak akan pernah lagi meletus kerusuhan dengan identitas agama, maupun identitas lainnya, karena bekas kerusuhan itu bukan hanya kerusakan materiil saja, namun juga merusak psikologis yang membekas bagi korban kerusuhan tersebut. (*)
BACA JUGA Pengalaman Misterius dan Tidak Masuk Akal yang Betulan Kejadian Selama Tinggal di Kalimantan atau tulisan Gabriel Bezaleel Matahari lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.