Sedih banget nggak sih batal nikah gara-gara perabotan?
Mempersiapkan pesta pernikahan barangkali menjadi salah satu momen paling membahagiakan yang pernah dirasakan setiap calon pengantin. Yah, meski harus disibukkan dengan beragam agenda, mulai dari mencari hari baik, foto prewedding, fitting baju, sampai menyebar undangan, semua lelah itu akan dibayar lunas ketika berhasil bersanding dengan sang pujaan hati di pelaminan. Sungguh menyenangkan.
Saya juga pernah merasakan hal semacam itu, dong. Perasaan berbunga-bunga jelang hari istimewa tergambar jelas di raut wajah saya. Saking bahagianya, saya yang biasanya naik motor saat mau pergi ke masjid, sengaja jalan kaki (((tebar pesona))) berharap disapa dan ditanya tetangga sekitar mengenai persiapan pesta pernikahan. Bangga dong, calon pengantin og.
Di desa saya, Gunungkidul, memang situasinya seperti itu. Kalau ada tetangga yang mau lamaran, entah kenapa beritanya langsung nyebar sampai ke ujung perbatasan kampung. Bahkan, sekalipun lamaran itu belum terlaksana atau baru mau nyicil buka buku Primbon Jawa untuk menentukan hari baik, Pak RT, Pak RW, Kepala Dukuh, hingga Pak Takmir, sudah mendengarnya. Ajaib memang.
Ini yang saya alami sendiri. Setelah pacaran hampir tiga tahun, saya mantap (berencana menikah) sama perempuan asal… daerah di Jawa Tengah sana lah. Layaknya pria yang ngebet kawin pada umumnya, saya juga rela datang jauh-jauh dari Wonosari, menempuh jarak 302,6 kilometer menemui orang tua doi, lalu menyampaikan niat baik bahwa saya serius ingin mengikat janji suci dengan anak pertamanya yang cantik jelita itu…
Niat dan rencana baik nggak selalu berakhir sempurna
Setelah hari serta tanggal lamaran disepakati kedua belah pihak, episode penuh drama kehidupan pun dimulai. Awalnya sih semua berjalan baik-baik saja dan sebenarnya nggak ada kendala yang berarti. Seperti bapak-bapak pada umumnya, orang tua doi mulai menanyakan berapa jumlah saudara yang saya ajak saat lamaran, menanyakan perihal waktu keberangkatan, dan jenis cincin yang akan saya bawa. Tentu ini sangat wajar.
Nah, tepat seminggu sebelum lamaran, tiba-tiba pacar saya (baca: mantan yang menyakiti), mengirim daftar barang atau jajanan via WhatsApp yang harus saya bawa sebagai syarat lamaran. Mulai dari paket buah-buahan, camilan ringan, hingga aneka jenis roti mewah, yang kalau ditotal bisa tuh satu mobil pick up. Serius, bahkan mantan saya juga sempat mengirim contoh gambar mobil pick up yang berisi aneka jajanan melimpah. Niat banget.
Sampai di sini, saya masih sanggup membawa semua persyaratan lamaran, dan berpikir positif bahwa cinta sejak zaman Nabi memang butuh modal besar. Tapi, saya jadi berpikir dua kali untuk menikah dengannya ketika dia minta agar saat resepsi juga membawa seserahan berupa perabotan, mulai dari magicom, kulkas, hingga mesin cuci. Konon katanya, ini bagian dari tradisi mereka.
Setelah saya hitung-hitung, untuk seserahan saja, saya harus mengeluarkan biaya lebih dari delapan juta rupiah. Itu belum termasuk biaya transportasi, konsumsi untuk saudara selama perjalanan, cincin kawin, dan seperangkat alat salat, lho. Modyaaar!
Memang betul, kalau sudah cinta seharusnya nggak dikalkulasi, tapi untuk urusan tuntutan-tuntutan semacam ini, bukankah saya juga harus lebih realistis? Ini seserahan kan, bukan penjarahan?
Hubungan kami kandas di tengah jalan gara-gara perabotan
Buat mantan yang nun jauh di sana, ingat, saya bukan pria yang mampu menyeberangi lautan dan mendaki gunung demi cinta, kayak tokoh fiktif milik para pujangga. Saya cuma mas-mas buruh dari Gunungkidul yang digaji UMR Jogja. Mbok yo welas sitik ngono lho, Dik… BPKB Vario wis ning BRI iki. Demi cinta emang kudu adol ginjal po?
Setelah tiga tahun lamanya menjalin kasih dipenuhi mimpi-mimpi indah, hubungan saya dan dia akhirnya kandas di tengah jalan gegera perabotan. Dia memberi pilihan, kalau mau lanjut, ya saya harus memenuhi syarat-syarat itu. Sebagai manusia yang masih punya nalar akal sehat, jelas saya memilih bubar. Laha yo mending kandas daripada tewas!
Sebenarnya sakitnya sih nggak seberapa, tapi malunya sama tetangga sekitar itu, lho, yang… ah, sudahlah. Wis kadung tebar pesona ke sana ke kemari, kuping sak RT sudah dengar semua, sampai nyicil beli sepasang cincin di Toko Semar pula, lha kok malah ngadi-ngadi.
Pertanyaannya, cincin yang sudah telanjur dibeli ini mau dimasukkan ke jari siapa? Manuk pleci?!
Bukannya pelit, tapi…
Sebenarnya ini bukan cuma masalah beban berat nominal seserahan yang harus saya kasih saja, sih. Tapi, ada yang lebih subtil dari perkara ini, yaitu masalah kepercayaan sama pasangan dan kehidupan di masa depan. Logikanya, belum sah jadi pasangan suami istri saja sudah minta macem-mecam, gimana nanti kalau berumah tangga? Dengan gaji UMR Jogja yang cuma segini, yo jelas ndak mampu aku, Dik.
Terlepas dari itu semua, yang sampai saat ini masih mengganjal dan jadi pertanyaan adalah kenapa tak lama setelah hubungan kita berakhir, kamu langsung memutuskan nikah sama pria lain sih, Dik? Terus selama tiga tahun ini perasaan apa yang ada di hatimu? Jangan, jangan… ah, sudahlah. Btw, selamat menikah sama perabotan orang tersayang dan menjalani hidup baru. Ancene Asw.
Penulis: Jevi Adhi Nugraha
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Perabotan Rumah Tangga yang Wajib Dibeli Saat Menempati Rumah Baru.