Candi Borobudur yang letaknya di Kabupaten Magelang ini merupakan peninggalan Dinasti Syailendra, wangsa Buddha yang diresmikan sekitar abad ke-9 Masehi. Candi ini bertipe punden berundak, bangunan ibadah khas Nusantara yang diadopsi untuk pembangunan situs bersejarah ini.
Memang, Candi Borobudur sudah berusia 1 milenium lebih, menjadi saksi bisu ritual keagamaan sejak berdiri, ditumbuhi semak belukar karena eksodus masyarakat Mataram Kuno, hingga ditemukan kembali di era penjajahan dan dipugar besar-besaran setelah Indonesia Merdeka. Pantas jika rumah ibadah ini ditetapkan sebagai warisan budaya oleh UNESCO.
Seiring berjalannya waktu, Candi Borobudur bukan lagi hanya menjadi tempat ibadah umat Buddha saja, juga menjadi destinasi wisata turis lokal atau asing. Kita di sana sering bertemu dengan beberapa biksu atau umat Buddha yang melakukan ritual pemujaan, benar-benar wujud toleransi.
Di ambang bahaya
Di balik pesona dan kemegahan peninggalan leluhur kita ini, Candi Borobudur berada di ambang bahaya. Bukan karena dikhawatirkan roboh saja karena kebanyakan dikunjungi masyarakat, melainkan keausan batu dan vandalisme.
Balai Konservasi Borobudur telah melaporkan adanya laju keausan yang cukup masif. Lantai lorong mengalami keausan dengan laju sebesar 0,042 cm/hari. Untuk tangga naik, laju keausannya sebesar 0,175 cm/tahun. Tangga turun lebih parah lagi, yaitu sebesar 0,2 cm/tahun. Itu masih setahun, bayangkan jika terjadi selama bertahun-tahun: tambah tipis, ditambah lagi dengan kebanyakan sol alas kaki yang sifatnya merusak batuan.
Menurut balai konservasi tersebut, data pengunjung yang menaiki Candi Borobudur mencapai sekitar 58 ribu pengunjung per hari in case hari libur. Bayangkan, jumlah segitu sudah membuat laju keausan semakin besar.
Insiden vandalisme juga tidak kalah heboh. Banyak arca, relief, ornamen, atau struktur candi dirusak. Ada yang patah, bahkan ada yang menggores sesuatu, padahal itu sangat dilarang karena merusak warisan peradaban lampau. Jika dibiarkan, warisan tersebut akan hilang, kita tidak akan bisa melihatnya lagi.
Pembatasan pengunjung sudah tepat
Mulanya, tiket masuk akan dinaikkan menjadi 750 ribu Rupiah di Juni 2022 agar bisa membatasi pengunjung yang menaiki Candi Borobudur. Namun, wacana tersebut dibatalkan karena banyak yang kontra. Sebagai gantinya, dikeluarkanlah kebijakan pembatasan 150 pengunjung per 15 menit untuk mengurangi beban dan keausan, di samping penggunaan upanat, alas kaki yang lebih ramah batuan candi.
Sebenarnya, pihak pengelola sudah berupaya untuk menyelamatkan Candi Borobudur dari kerusakan yang semakin parah akibat keausan dan vandalisme. Hanya saja, kebijakan selalu berubah kalo dibenturkan dengan ekonomi. Ya begitulah Indonesia, giliran ada alasan ekonomi, semua jadi kurang bijak.
Saya sangat setuju dengan upaya pembatasan pengunjung dan penggunaan alas kaki khusus untuk menaiki candi Buddha ini. Mengingat usianya sangat tua, sudah waktunya situs bersejarah ini mulai dibatasi pengunjungnya yang akan menaikinya. Jika batu peninggalan masa lalu rusak dan berkurang, menggantinya dengan batu baru bukan keputusan yang bijak, malah mengurangi keasliannya.
Pembatasan pengunjung yang menaiki Candi Borobudur ini sudah seharusnya dilakukan, bahkan harusnya dari dulu. Candi ini sudah aus yang cukup parah, terutama di tangga karena mendapat gaya gesek dan tekanan. Pembatasan ini juga bertujuan agar siapa saja yang ingin melakukan vandalisme berpikir berkali-kali.
Kebijakan pembatasan pengunjung Candi Borobudur sebenarnya sudah terlambat karena batuan mulai rusak di sana-sini. Tapi, lebih baik terlambat untuk mencegah kerusakan yang semakin masif daripada tidak ada pembatasan pengunjung sama sekali.
Penulis: Mohammad Faiz Attoriq
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Panduan Menjawab di Mana Letak Candi Borobudur agar Kalian Nggak Salah Tag Lokasi di Instastory