Selama menjadi rekruter yang salah satu tugasnya melakukan screening sekaligus me-review CV para pelamar kerja, saya sudah biasa melihat beragam jenis CV yang dikirimkan. Mulai dari CV para fresh graduate sampai pelamar yang sudah punya pengalaman mentereng. Ada yang simple dan minimalis, ada juga yang njlimet dengan berbagai variasi warna dan font tulisannya.
Apa yang dicantumkan dalam CV pun punya keunikan tersendiri. Ada yang apa adanya—mencantumkan sesuai dengan pengalaman kerja sebelumnya, ada juga yang diada-adain. Dibikin mentereng seolah punya pengalaman yang shining, padahal hanya bluffing—secara harafiah, artinya menggertak. Dalam hal ini, bluffing CV berarti pelamar kerja melebih-lebihkan apa yang dilakukan pada pengalaman sebelumnya. Bisa juga mencantumkan posisi/jabatan yang seharusnya biasa, menjadi seakan-akan luar biasa. Tujuannya jelas agar mencuri perhatian para HRD.
Sampai dengan saat ini, praktik bluffing masih sering dilakukan oleh para pelamar kerja. Misalnya seperti ini:
Contoh pertama, Ngadiman punya pengalaman kerja sebagai PIC selama satu minggu dari tim marketing di lapangan. Secara keseluruhan, tentu saja role yang Ngadiman lakukan berbeda dengan leader atau supervisor. Namun, di CV yang paling update, Ngadiman mencantumkan posisi “Supervisor Marketing” dengan durasi selama satu tahun sebagai salah satu pengalamannya.
Contoh kedua sekaligus yang paling sering kali terjadi, Karno mencantumkan jabatan CEO untuk suatu bidang usaha yang pernah digelutinya. Tentu saja ini sangat “wah”. Sayangnya, setelah dilakukan background check, ternyata Karno hanya menjadi distributor usaha online. Jangan salah paham. Dalam hal ini, yang menjadi sorotan utama bukan skala atau jenis usahanya, melainkan upaya untuk mengaburkan realitas dari pengalaman kerja atau apa yang dilakukan sebelumnya. Alih-alih menuliskan apa adanya, malah diada-adain.
Contoh ketiga, sering kali ditemui pada profil LinkedIn. Patul punya pengalaman magang satu tahun menjadi reviewer CV di suatu perusahaan. Namun yang terjadi, Patul mencantumkan juga pengalaman menjadi interviewer, assessment staf, dan trainer di bagian Learning and Development.
Ketiga contoh tersebut mungkin terkesan sepele dan masih banyak hal lain yang bisa dijadikan contoh dari praktik bluffing. Namun, bisa berdampak buruk pada image pelamar kerja yang bersangkutan. Apalagi jika HRD sampai melakukan background check ke perusahaan sebelumnya atau orang tertentu. Terlalu berisiko. Cara seperti ini sangat tidak disarankan saat melamar pekerjaan secara aktif maupun pasif (seperti yang terjadi pada kasus bluffing di profil LinkedIn). Pokoknya, jangan. Jika ngotot pengin melakukan hal ini, celaka 12 tinggal menunggu waktu saja. Saya serius.
Kelemahan metode bluffing CV ini sudah jelas hanya memberi impresi di awal dan ada kecenderungan tidak jujur atau apa adanya. Saat proses interview dilakukan, apalagi berlanjut ke tahapan background check, semuanya jadi ambyar dan tidak ada artinya sama sekali. Belum lagi ketika ditanya mengenai rincian deskripsi pekerjaan yang dilakukan sebelumnya. Kalau tidak bisa jawab atau tidak ada persiapan, usaha untuk shining dengan cara bluffing di hadapan HRD akan gagal total, malah bisa babak belur karena ulah sendiri.
Bagaimanapun modifikasinya, bluffing pada CV, profil LinkedIn, atau bahkan situs pencarian kerja sangat tidak disarankan. Ketimbang melakukan hal yang riskan seperti ini, akan jauh lebih berkesan jika pelamar kerja bisa melampirkan portofolio. Atau sekalian saja melampirkan paklaring sebagai bukti pernah bekerja untuk posisi tertentu. Bisa juga dengan melampirkan sertifikat untuk hardskill tertentu. Asli, impresinya lebih bisa dipertanggungjawabkan.
Persoalan lainnya adalah HRD punya beberapa cara untuk memastikan keabsahan yang tercantum pada CV klean-klean sebagai pelamar kerja. Itulah kenapa menjadi diri sendiri apa adanya dan tanpa tipu-tipu selalu bisa diandalkan saat mengikuti proses interview.
Dengan menjadi diri sendiri, bercerita sesuai dengan kapasitas diri dan pengalaman kerja sebelumnya, tidak akan membuat kita berpikir sambil mbatin, “Setelah ini harus jawab apa lagi, ya? Ngelesnya gimana, nih?” saat berbincang dengan HRD. Wong yang ditanya saja tentang diri kalian dan pengalaman kerja sebelumnya, kok.
Kalau kemampuan yang kalian miliki cocok dengan apa yang dibutuhkan perusahaan, sesederhana apa pun yang kalian lakukan di kantor sebelumnya, pasti akan menjadi bahan pertimbangan. Setidaknya bisa di-review lebih lanjut oleh HRD, lah.